Lantai baru, dinding baru, jendela baru, semangat baru. Begitulah kira-kira yang dirasakan Imah di pagi menjelang siang hari itu. Setelah beres membantu Ratih mengemas kue, dengan sukacita Imah mengepel lantai yang sudah dilapisi keramik berwarna putih bersih sambil menyanyikan lagu yang dipopulerkan oleh Ebiet G. Ade, berjudul titip rindu buat ayah. Ia membersihkan tiap debu dan bekas percikan semen yang mengering di permukaannya. Meskipun wilayah yang direnovasi hanya bagian ruang tamu dan bilik kamar depan, namun hati Imah sudah sangat gembira tiada tanding. Mensyukuri nikmat yang mereka dapat setelah bertahun-tahun memasak kue sampai tak tentu tidur. Ditambah lagi dengan kejadian kemarin, melihat Mira yang babak belur dikeroyok pasangan suami isteri, Roni dan Ramlah. Benar-benar mengangkat beban di hatinya hingga berkurang secara signifikan. Tidak pernah sebelumnya ia merasa selega ini.
Senyum sumringah tak kunjung luntur dari bibirnya semenjak mula pertama mengepel. Perasaan lelah karena berulang kali mengganti air keruh, tidak lagi dirasanya. Ia terus saja bersenandung ria seraya meremas kain pel basah, kemudian menggosokkannya lagi ke lantai. Perlahan-lahan dari pintu depan, mundur ke belakang, ke arah pintu masuk dapur. Energi di tubuhnya bagai tak habis-habis walaupun ia hanya mengerjakannya sendirian. Sementara nek Siti, sama seperti kegiatan di hari sebelumnya, ia lagi-lagi menyapu daun-daun mangga yang berguguran. Ia suka berjemur di bawah sinar mentari ketika sedang hangat-hangatnya. Semacam terapi guna meregangkan otot yang kaku setelah terbaring selama berjam-jam di malam hari.
Tiba-tiba dari sebelah kiri rumah Imah, seorang anak laki-laki yang tampaknya belum mandi, berlari-lari kecil seraya menjilat-jilat es krim corong rasa cokelat di tangan kanannya. Jangankan menyapa, sekedar melirik sebentar ke samping , pun ia enggan. Padahal ia tahu benar di sana ada nek Siti yang sedang menyapu. Diperlakukan demikian, jelas membuat nek Siti merasa geram. Penyakit menggerutunya kumat lagi, “pagi-pagi sudah makan eskrim, mencret nanti kau baru tau rasa.”
“Wak uwong, kata ayah ke rumah kami dulu uwak. Ada penting,” ujar Putra dengan intonasi yang menyeret-nyeret bak syair sumbang. Spontan Imah terperanjat kala mendengar suara dari sesosok anak kecil yang menginterupsi nyanyiannya itu. Tak sadar, tahu-tahu sudah ada anak bungsu Linda berdiri tepat di ambang pintu depan. Sedang memelet-meletkan lidahnya untuk mengikis gundukan kecil eskrim dengan wajah tak berdosa.
“Oh iya wak iya, sedikit lagi uwak ke sana ya,” sahutnya kemudian setelah beragam latahan terlontar dari mulutnya.
Usai mendapatkan jawaban, Putra langsung bergegas kembali ke rumahnya, menyampaikan kalimat terakhir yang ia dengar ke ayahnya. Lalu untuk sementara waktu, ia akan terbebas dari tugas-tugas yang dititahkan kepadanya. Sehingga ia bisa asyik bermain lagi dengan teman-teman sebayanya.
***
“Assalamu’alaikum, ada apa ini ramai-ramai?” Imah memasuki rumah Linda dan Yahya dengan perasaan canggung, sebab selama beberapa milidetik pandangannya tak sengaja bertubrukan dengan mata Linda. Kenangan buruk yang terjadi di antara mereka berdua, meski ada bumbu-bumbu provokator dari Ramlah, tak pelak membuat hubungan mereka belakangan ini merenggang. Di sana, sudah ada Nining, Yanti yang sedang memangku Caca, Evi dan Dian, juga pasangan Roni dan Ramlah. Mereka mengobrol ringan sembari minum teh dan menikmati cemilan yang disediakan oleh Linda. Seakan kehadiran Imah adalah hal yang mereka tunggu-tunggu sebelum memulai inti pembahasan.
“Wa’alaikumsalam, masuk wong masuk. Tak ada apa-apa ini, cuma mau diskusi kecil saja,” sahut Yahya mempersilahkan. Sejenak ia melambaikan tangannya ke arah isterinya yang seperti hendak beranjak pergi, “ambilkan dulu teh manis.”
“Iya sabarlah, ini kan mau diambil,” jawabnya ketus.
“Mengapa uwong lama?” Tanya Evi berbasa-basi sambil menyodorkan sepiring biskuit ke hadapan Imah.
“Tapi mengepel aku tadi, pas datang si Putra tinggal sedikit lagi kan, tanggung kurasa kalau tak diselesaikan.”
“Oh rumah baru pula, wajarlah.”
“Alah, depan saja yang baru, belakangnya masih yang lama.”
“Ah apa lagi, wong. Muka lah dulu yang diurus, habis itu baru pantat,” imbuh Roni yang kemudian disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Caranya memvisualisasikan rumah dengan manusia telah menjadi hiburan tersendiri untuk mereka yang untungnya berdampak dalam mencairkan suasana.
“Tak pernah motan abang ini,” ucap Ramlah disela-sela tawanya sambil memegangi perutnya yang tak lagi ramping.
Tak berapa lama setelah dialog menggelikan singkat tadi berakhir, Linda muncul dari balik dinding dapur membawa segelas teh manis hangat beralaskan piring kecil berwarna biru dongker. Dihidangkannya minuman tersebut kepada Imah tepat di depan posisinya yang sedang bersila, kemudian ia angkat penutup teh yang berwarna senada dengan alas gelasnya. Begitu dibuka, uap panas segera menguar berkejar-kejaran menggapai udara bebas lalu masuk ke dalam indera penciuman Imah dalam bentuk aroma yang manis. Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut keduanya selain senyum tipis yang seakan-akan terpaksa disunggingkan bersamaan dengan anggukan canggung di antara mereka. Usai tugasnya dirasa selesai, Linda langsung bergegas bangkit dan kembali duduk di sebelah suaminya. Perasaan tidak nyaman membuatnya enggan berlama-lama di sana. Apalagi lirikan mata Evi dan Nining yang awas memperhatikan gerak-geriknya menambah kegusaran di dalam hatinya. Namun, tanpa ia sadari kalau suaminya sendiri pun ikut memantau sikapnya. Berjaga-jaga jika isterinya lagi-lagi mengungkit peristiwa yang tak mengenakkan beberapa hari lalu.
“Karena kita semua sudah berkumpul, jadi langsung kita mulai saja lah ya,” Yahya membuka inti pembicaraan sesaat setelah Linda memantapkan duduk silanya. “Sebetulnya ide supaya kita berkumpul hari ini datangnya dari si Roni untuk membahas perbaikan jalan kita, mengingat musim hujan sebentar lagi datang. Takutnya jalan ini makin rusak kalau dibiarkan begini saja. Mumpung masih ada tenaga laki-laki di sini, siapa tahu masuk musim hujan nanti kami dapat panggilan dari perantauan sana. Ya walaupun menurut perhitungan bulan belum waktunya musim kemarau habis, tapi tengoklah cuaca belakangan ini, tak menentu. Dalam jangka sepuluh hari ke belakang saja, sudah tiga kali hujan. Kalaupun musim hujan masih lama datangnya, kan tak ada ruginya kita gotong royong sama-sama memperbaiki jalan, betul tidak?”
“Betulnya yang kau bilang itu Yahya, setuju aku. Tapi cerita pahit-pahit sajalah ya, yang namanya memperbaiki jalan sudah pasti butuh duit, sementara kalian tengoklah keadaanku sekarang bagaimana. Untuk beli beras saja aku cuma sanggup beli perkilo. Bukan macam kalian yang bisa beli langsung sekarung. Jadi terus terang aku tak bisa ikut iuran, tapi soal menyumbang tenaga,” sejenak Evi diam tak meneruskan kalimatnya, ia justru menyingkap kedua lengan bajunya yang menampakkan otot-otot lengannya. Kemudian ia melanjutkan, “aku maju paling depan!” Tak terdengar nada memelas dalam kalimatnya. Aksi tersebut kontan saja dibalas dengan berbagai macam sorakan dari orang-orang yang hadir di sana, diselingi beragam suara cekikikan. Sementara Evi terus tersenyum jumawa, merasa bangga sebab di saat situasi tersulit sekalipun ia masih tetap bisa menegakkan punggung dengan kepala mendongak.
“Tak masalah kalau kakak tidak mau ikut iuran, kami pun sudah maklum dengan kondisi kakak. Tapi yang namanya iuran tetap harus dibagi rata, untuk bagian kakak aku bersedia membayar setengah, setengahnya lagi siapa yang mau?” Dengan santai Roni menyeruput tehnya yang mulai mendingin, menunggu siapa kiranya yang sanggup menutupi bagian Evi.
“Memangnya berapa iuran per rumah?” Nining bertanya ragu-ragu.
“Seratus lima puluh ribu.”
“Itu sudah semuanya?”
“Sudah kak, kemungkinan besar masih ada sisa. Cukuplah buat minum dan cemilan kita semua”
“Teringatku Roni, yang memperbaiki jalan hanya kita-kita saja?” Belum selesai masalah biaya iuran, tiba-tiba Yanti memotong pembicaraan Roni dan Nining dengan menanyakan persoalan lain. Mendengar itu, sontak air muka Roni berubah menjadi masam. Mereka tahu alasan di balik cepatnya perubahan ekspresi itu. Peristiwa tidak ramah telah menyambutnya sepulang dari lelahnya kehidupan perantauan. Suka tidak suka, fakta mengenai keluarga Mira sebagai bagian penghuni gang Swadaya harus diakui. Tetapi rasa permusuhan yang sudah mengakar di dalam hati, menyebabkan kesenjangan sosial di tengah-tengah keseharian mereka.
“Nah, itulah yang bikin aku pusing kak. Jujur gara-gara masalah sampah yang tersangkut di betor kemarin, makin tak suka aku melihatnya, tapi kalau jalan rusak yang di depan rumahnya itu kita perbaiki, enak sekali dia! Membayar tidak, kerja pun tidak!”
“Aku ada usul, kita semua cuma punya motor kan?” Tiba-tiba Imah bertanya dengan jari telunjuk yang teracung, seolah ada sebuah bohlam kuning yang bersinar terang di kepalanya.
“Aku tidak,” sahut Evi cepat.
“Akupun,” Nining ikut menimpali sambil tersenyum simpul, menyembunyikan gigi ompongnya.
“Diam dulu, lah! Dengar, karena di gang sini cuma si Mira yang punya betor, bagaimana kalau kita timbun pinggir jalannya saja? Tak usah sampai ke tengah, cukup buat jalan kaki sama ban motor kita saja,” Imah mengemukakan pemikirannya dengan sorot mata yang berbinar-binar.
Usulan tersebut mengundang decakan kagum dari setiap mata dan telinga yang menyaksikan. Ungkapan setuju berdengung dari kanan ke kiri. Kepala yang manggut-manggut sependapat bagai dahan kelapa yang melambai pelan akibat disinggahi monyet liar. Solusi yang dirasa tidak akan merugikan siapapun, tetapi secara tak langsung mampu mengucilkan Mira. Menunjukkan bahwasanya Mira tidak lagi boleh bersikap sewenang-wenang kepada mereka, selaku tuan rumah gang Swadaya. Berbeda dengan yang lainnya, Yahya tampak berfikir sejenak, menggaruk-garuk halus dagunya yang tak ditumbuhi sehelai jenggot, menimbang-nimbang ide kakaknya yang terdengar lumayan. Di samping mereka bisa menghemat pengeluaran, musuh bersama mereka, yakni Mira dan sekeluarga kelak tidak akan bisa mengakses jalan yang sudah mereka perbaiki. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dihatinya, katanya, “kalau yang ditimbun pinggirannya saja, lama-kelamaan apa tidak longsor?”
“Pasir dan tanahnya kita masukkan dulu lah bang ke dalam karung, supaya kalau kena hujan timbunannya tidak buyar kemana-mana,”
“Tapi itu buat jalan yang depan rumahnya saja kan? Untuk seterusnya timbunannya tetap diratakan kan?”
“Ya iyalah bang, intinya di sini kita cuma mau kasih tahu ke dia kalau kita juga punya uang, biar tahu rasa dia,” jelas Roni dengan semangat yang kemudian dibalas anggukan mengerti oleh Yahya sambil ber-oh-ria.
“Ampal-ampal aku, kapan gotong royongnya ini kita mainkan Ron?” Tak lagi ragu-ragu seperti sebelumnya, kini Nining kembali bersemangat usai kesepakatan perbaikan jalan perlahan mulai memenuhi ekspektasinya. Sebab ia sendiri sama sekali tidak ingin merugi. Anggapan semua orang harus memperoleh bagiannya sama rata adalah arti dari kata adil baginya. Untungnya, ide menarik yang tercetus dari kepala cantik kakaknya itu membuat ia merasa nyaman untuk ikut bergabung dalam kegiatan gotong royong kali ini.
“Rencananya sih besok kak, itulah makanya malam ini sudah harus terkumpul uangnya, jadi besok pagi bisa langsung kupesankan ke si Ulong. Masalahnya bagian setengah iuran kak Evi siapa yang mau membayar?”
“Sudahlah, soal itu biar aku sama si Nining saja yang membayar, iyakan, Ning?” Tanya Imah sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah adiknya.
“Iya, aman itu wong,” sahutnya ringan. Tidak keberatan satupun dengan ajakan Imah. Terlihat dari caranya tersenyum lebar, di mana ia tak lagi malu-malu menyembunyikan dua buah gigi serinya yang ompong dan berwarna kehitaman pada pangkalnya.