Malam harinya sehabis adzan Isya, hujan lebat mendadak turun. Diselingi suara petir yang menggelegar dan kilatan cahaya bagai sinar blitz pada kamera saat menangkap gambar objeknya. Siraman tiba-tiba itu lantas membasahi barang benda apapun yang tak tertutup. Layaknya bendungan Sigura-gura yang jebol, aliran air sontak menjalar di atas permukaan tanah. Seolah merayu timbunan tanah kemarin, turun mengikuti arus ke daratan yang lebih rendah. Sama seperti hujan-hujan deras lainnya, kali ini pun hampir semua warga gang Swadaya serentak tergesa-gesa meletakkan ember besar di luar rumah. Menengadahkannya ke atas langit yang gelap gulita. Air hujan biasanya ditampung untuk mereka gunakan sebagai kebutuhan memasak dan minuman sehari-hari. Kegiatan itu rutin mereka lakukan setiap hujan deras turun, sebab kualitasnya dirasa cukup layak untuk dijadikan pengganti air bersih isi ulang sekaligus berhemat.
Di ujung mulut gang, seorang wanita dewasa berlari-lari kecil. Kepalanya disungkup sehelai handuk, dan dipegangnya erat-erat pinggirannya tepat di bawah dagu. Sedang tangan kirinya menenteng plastik bening berisi sebungkus kopi, kerupuk jengkol mentah, dan tiga buah roti kemasan. Kedua kakinya melangkah cepat namun tetap hati-hati menghindar dari cipratan air yang berlumpur. Ia ingin cepat-cepat sampai kerumah sebelum tubuhnya semakin kuyup.
“Dari mana?” Linda berhenti sejenak dari aktivitasnya menyusun ember-ember besar di samping teras rumahnya, ketika melihat Dian yang sedang berjalan terjingkat-jingkat.
“Dari warung, nde. Beli kopi sama kerupuk buat dibawa ke sana.”
“Jam berapa besok kau berangkat?”
“Pagi lah, nde. Sekitar jam tujuh gitulah, nanti sampai di Simpang kawat jam delapan. Busnya lewat sekitar jam setengah sembilan,” ia menjelaskan serinci mungkin sambil berlindung ke teras rumah Linda. Tidak ingin berdiri mematung di bawah siraman hujan yang kian menderas bak manusia tolol. Sebab, entah mengapa ia merasa kalau perbincangan mereka kali ini akan sedikit panjang, walaupun tadinya Dian sempat berpikir kalau Linda hanya berniat berbasa-basi dengannya.
“Naik apalah kau kesana?”
“Betor lah, apalagi?”
“Ah, sama incek saja kau besok pagi. Kalau betor mahal kali ongkosnya, sayang duitmu. Porenya incek kau besok,” tawarnya sembari memutar-mutar tangkai payung biru bermotif bunga-bunga melati di genggaman tanan kanannya.
“Mantaplah kalau begitu, nde. Kuisikan pun bensinnya besok,” spontan tawaran langka tersebut ia sambut dengan semangat. Membayangkan perbandingan antara ongkos betor dan mengisi bensin motor Yahya yang begitu jauh berbeda. Jika ongkos betor lima puluh ribu, maka mengisi bensin motor cukup sepuluh ribu saja. Perbandingannya mencapai satu banding lima!
“Iya, pokoknya besok kalau mau berangkat datang saja kerumah ya. Atau kalau si incek rajin, dia yang datang ke sana menjemput kau.”
Usai obrolan yang terbilang cukup panjang itu, Dian segera melanjutkan langkah kakinya. Kembali menyusuri jalanan yang kondisi tekstur permukaannya makin melunak. Sesekali tanah lembek yang ditapakinya menempel di balik kedua sandal jepit hitamnya yang sudah mengelupas di sana-sini. Perasaan riang gembira kini terbit di sanubarinya, senang dan lega masalah ekonominya sedikit terbantu dengan berkurangnya salah satu beban. Sejak tadi siang, hatinya risau memikirkan pembagian uang yang pas-pasan bahkan terkesan sangat tipis. Mulai dari ongkos betor, ongkos bus, hingga ongkos ojek saat sampai di sana nanti. Meskipun besok ia membawa bekal agar meminimalisir pengeluaran dari segi kebutuhan perut, Dian tetap tidak bisa menyisakan setidaknya dua puluh ribu saja di dalam dompet. Akan tetapi, berkat bantuan yang diberikan oleh Linda sebelumnya, ia bisa memangkas pengeluarannya kurang lebih dua puluh persen. Dian sengaja mempercepat ritme jalannya, tak sabar menyampaikan kabar menyenangkan ini kepada ibunya.
***
Sang mentari masih tertidur di ufuk timur sana. Tertidur lelap di kasur awan putih yang lembut. Namun, bumi yang gelap itu tak berhasil mempengaruhi Dian. Agar tetap berselubung menutup mata di balik selimut. Pagi-pagi sekali, saat jam yang tergantung di dinding tripleknya menunjukkan pukul empat, Dian sudah sibuk menghadap kompor. Mengaron nasi yang airnya sengaja dibanyakkan, kemudian menggiling sambal. Di sebelahnya, terdapat potongan tempe dan segenggam ikan teri Medan tertumpuk di atas selembar daun pisang. Kedua bahan tersebut diam tak bergeming kala meja setinggi pinggang orang dewasa itu bergoncang hebat. Akibat batu pipih dan batu bulat seukuran bola kasti itu saling beradu, melumatkan cabai, bawang, dan tomat.
Kesibukannya hari ini sangat terlihat dari penampilannya. Rambut ikalnya ia jepit asal dengan jedai berwarna merah muda, dan kotoran mata masih bertengger setia di sudut matanya. Ia mengenakan terusan daster panjang berwarna ungu terong, di bagian dadanya tercetak ukiran air liur anak bungsunya yang kini sedang pulas menikmati tidurnya bersama Sari. Kakak beradik itu tidur dengan posisi berhadap-hadapan satu sama lain, seakan jiwa keduanya tengah berkelana di alam mimpi yang damai. Satu meter dari ujung kaki Sari, sebuah tas ransel hitam dan dua buah tas jinjing bermotif polkadot merah dan biru disandarkan pada dinding. Berbagai macam benda yang sekiranya akan Dian butuhkan nantinya setelah sampai di perantauan, ia lesakkan sepadat mungkin ke dalam tas-tas itu. Hingga buncit menggembung, menyerupai perut atlet sumo kebanggaan si negeri matahari terbit. Menanggalkan bayangan proporsional dari sebuah tas pada umumnya.
Seekor cicak mendekati ketiga benda tersebut, lalu memandanginya dalam waktu yang cukup lama. Bagai bertanya-tanya hendak kemanakah tuan rumahnya pergi. Meninggalkan ia dan kawan-kawannya entah sampai kapan. Dan yang paling disayangkan, takkan ada lagi remahan sisa nasi yang bisa mereka makan. Perlahan cicak itu beranjak menuju langit-langit rumah sambil mendecak-decakkan lidahnya.
Ketika rebusan nasi di dalam periuk yang sudah hitam legam seluruh permukaan kulit luarnya itu mendidih, Dian cepat-cepat meraih sendok nasi dari wadah tabung bekas kemasan sosis instan di pojok meja. Lalu ia sedikit memundurkan badannya, mendatangi rak piring reyot yang bersandar lemah. Tak banyak peralatan makanan yang tersampir di situ, hanya ada beberapa piring, cangkir, dan mangkok yang semuanya berbahan dasar plastik. Disingkapnya isi rak tersebut, mencari-cari sesuatu yang ia cuci tadi malam. Hingga akhirnya ia temukan benda kecil itu di dalam sungkupan cangkir jumbo berwarna biru. Tanpa pikir panjang, Dian langsung mengambilnya dan segera kembali ke depan kompor. Ia aduk sebentar isi periuk dengan asal. Kemudian pelan-pelan Dian menyerok airnya, dan memasukkannya ke dalam botol susu. Kondisi keuangan membuatnya tidak lagi sanggup membeli susu formula yang harganya setara atau bahkan lebih mahal daripada sekarung beras. Selain air susu ibu, ia sudah lama menggunakan air tajin sebagai pengganti susu buat kedua anaknya. Menurut cerita para sesepuh yang ia tahu, air rebusan beras mempunyai banyak nutrisi yang tak kalah hebatnya dari susu mahal. Apalagi dirinya, objek yang sudah membuktikan ucapan tersebut, hidup sehat sampai berumur puluhan tahun tanpa kekurangan suatu apapun dari segi kesehatan, membuatnya berpikir tidak ada yang negatif dari air tajin. Untuk menambah rasa manis, Dian menambahkan satu sendok teh gula ke dalamnya. Ia putar penutup botol susu itu, lalu mengkocoknya supaya gula yang dicampurkannya tadi larut dengan sempurna.
“Dian, sudah bangun kau?” Bak disengat lebah, Dian terlonjak kaget mendengar panggilan yang disertai ketukan pelan di pintu depan. Tak ingin membuang waktu, Dian segera menguasai dirinya. Diletakkannya terlebih dahulu botol susu tersebut ke atas meja sembari mengusap-ngusap dada. Meredakan rasa terkejut yang belum hilang sepenuhnya. Pelan-pelan ia berjalan ke arah pintu, sebab ia takut anak-anaknya terbangun akibat suara derit papan yang meringkik di setiap langkah kakinya.
“Siapa?”
“Siapa lagi? Omak kaulah, tak kau kenal lagi rupanya suara omak kau sendiri?” Mendapat jawaban ketus yang familier di telinganya itu, Dian sontak tersenyum maklum. Dibukanya pintu lebar-lebar, dan tanpa menunggu dipersilahkan Evi langsung masuk ke rumah dengan wajah kusut. Dian tak tahu persisnya kenapa Evi terlihat sangat kesal di pagi buta begini. Perihal dia yang tak mengenali suara ibunya sendiri, mestinya tak membuat Evi semarah ini. Tetapi, bukannya bertanya ia justru diam saja. Takut pertanyaannya malah semakin meningkatkan kadar emosi Evi. Dian memilih mengikuti jejak ibunya yang berjalan menuju dapur dengan mulut terkunci rapat, walaupun sebenarnya ia terus membatin. Mencoba menebak-nebak pemicu kemarahan ibunya.
Sesampainya di dapur, Evi berdiri tepat di depan rak piring. Sejenak ia mematung, kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum tangan kanannya menjulur hendak mengambil beberapa keping piring. Setiap barang yang ia pegang, akan dipindahkannya ke tangan yang lain. Gerakan tersebut ia lakukan secara berulang-ulang. Hingga berangsur-angsur isi rak di depannya sunyi. Hanya menyisakan dua wadah bekal, botol air minum, dan dua buah sendok.
“Kenapa cepat kali, mak?” Dian bertanya dengan suara datar, tangannya kembali meneruskan melumat ramuan sambal di atas meja.
“Gimana tak cepat, orang tak ada yang mau menolong aku. Makanya kucicil memang dari sekarang, biar tak terganggu kerjaanku nanti siang,” sahutnya dari dalam kamar mandi yang tak tertutup pintunya. Dari luar, terdengar bunyi air yang sengaja disiram-siramkan. Seolah sedang membasuh sesuatu.
“Si Safar kemana?”