Tujuh bulan kemudian.
Rombongan yang terdiri atas dua belas orang dewasa dan tiga orang anak-anak berjalan beriringan memasuki gang. Riuh rendah suara kebahagiaan nyaring terdengar. Saling bercanda dan bertukar tawa usai menunaikan sholat ‘Eid Fitri di masjid, seolah sedang merayakan kemenangan yang sesungguhnya. Lantunan takbir dari pelantang suara masjid timbul lenyap di kejauhan. Semakin menambah kesyahduan pada hari itu.
Tak lambat juga tak kencang. Mereka terus berjalan sesuai tempo. Rasa lapar tak lagi terasa, sebab hati diterpa kegembiraan yang tiada tara. Bagai menguap begitu saja, diserap hangatnya cahaya mentari, dan melayang tertiup angin sepoi-sepoi. Indah betul pagi itu. Mereka melewati satu-satunya rumah mewah di gang tersebut. Namun, tak seperti kemewahannya, rumah itu tampak sunyi nan lengang. Macam tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Seluruh pintu dan jendelanya tertutup. Dan seperti rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya untuk sementara waktu pada umumnya, pastilah terdapat sebuah lampu teras yang sengaja dinyalakan sepanjang siang dan malam. Entah kemana dan entah kapan satu keluarga itu pergi.
Mereka juga melewati kubangan air yang dulunya menganga, kini sudah tertimbun rata seutuhnya. Peristiwa memalukan yang sempat menimpa si pemilik rumah mewah, rupanya membuat mereka tersadar, dan segera memperbaiki jalan meski tanpa bantuan siapapun. Berkat itu, sekarang semuanya bisa melangkah dengan leluasa. Tidak usah berjingkat-jingkat lagi mengangkat bawahan pakaian agar tak terkena lumpur.