Khirani berjalan membawa setangkai bunga mawar merah dan mencangklong tas biola menuju ruang perawatan. Kakinya menyusuri tempat yang setahun terakhir ini selalu ia kunjungi. Setiap merasa sedih, setiap merasa kesepian, setiap merasa kerinduan, gadis itu mendatangi tempat ini. Kedua manik matanya menatap pintu perawatan dengan rasa sedih yang teramat dalam. Perasaan itu seperti awan mendung yang selalu mengikutinya sepanjang tahun ini, tentang rasa khawatir dan takut yang sepanjang waktu cukup menghantuinya. Perlahan ia masuk dan berjalan mendekati salah satu bed, ia membuang bunga yang layu di atas nakas dan menggantikannya dengan bunga yang baru.
Setelah itu Khirani duduk di kursi dekat bed perawatan, tangannya menjamah perlahan tangan seseorang yang putih pucat bergelang pasien bernama Diandra Btari. Mata gadis di atas bed itu terpejam, setengah wajah cantiknya tertutupi dengan masker oksigen. Kabel berwarna merah, biru dan kuning terpasang di dada di balik bajunya. Dadanya kembang-kempis, seperti tertidur pulas. Selang infus bercabang menancap di punggung tangan kirinya.
Setahun yang lalu, Khirani harus menerima sebuah takdir menyakitkan kala melihat adiknya terbujur penuh luka di tengah jalan. Diandra menjadi korban tabrak lari, padahal kehidupan mereka sudah mulai membaik, mereka sudah bisa tersenyum kembali setelah masa-masa berat setelah hari besar. Itu terjadi setelah satu tahun sejak Khirani memboyong adiknya keluar dari rumah sang paman.
Diandra adalah satu-satunya teman hidup Khirani saat semua orang menjauhinya, saat Maya menghilang bagai di telan bumi dan saat Romi mendekam di penjara. Sedikit berbeda dengan Khirani, Diandra berkepribadian tenang, lebih aktif dan tidak seambisius Khirani. Tidak sama dengan Khirani yang berbakat bermusik, Diandra lebih berbakat di bidang olahraga. Ia masuk ke sekolah khusus olahraga dan mengambil jurusan bola voli, ia sempat menjadi asisten pelatih untuk kejuaraan nasional. Namun, Diandra mengundurkan diri setelah ayahnya terlibat skandal. Ia juga mengubur cita-citanya sebagai atlet bola voli, sama seperti Khirani. Sebelum kecelakaan, Diandra bekerja sebagai cleaning servise di salah satu gedung olahraga.
Setelah skandal yang menerpa keluarganya, Diandra tampak lebih kuat dari Khirani. Ia bisa bersikap lebih dewasa dari sang kakak yang cenderung sangat terpukul. Ia selalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, setiap hari Diandra dengan kesabaran selalu memberi semangat untuk kakaknya yang sulit berdamai dengan keadaan. Sikap dewasa Diandra mampu membuat Khirani tetap bertahan meskipun dunia tak lagi berpihak kepada mereka. Diandra selalu menampakkan senyuman manis di saat Khirani mengadu atas ketidakadilan nasib yang diterimanya. Diandra begitu berarti bagi Khirani begitu pula sebaliknya.
Nahas, tabrak lari yang dialami Diandra membuatnya koma tak sadarkan diri sampai detik ini. Inilah alasan Khirani bertahan, alasan Khirani tidak memilih membunuh dirinya sendiri meski hidup begitu pedih. Inilah alasan Khirani menerima dengan lapang hati saat Garu menyiksanya. Semua demi sang adik.
“Hei, Di. Apa kabar? Bosen, ya, aku kesini terus?” Khirani duduk di samping ranjang perawatan Diandra. Bunyi monitor yang bertalu-talu menjadi lagu duka yang paling menyayat hati setahun terakhir ini.
“Aku kangen kamu.” Bendungan air mata tercetak di ambang mata Khirani.
“Maafin aku ya, karena aku tidak pernah bisa menjadi kakak yang baik buatmu. Maafin aku, Diandra ...”
Tangis gadis itu pecah. Ada rasa yang bergelora dalam dadanya menahan kepedihan yang tak kunjung usai. Takdir Tuhan terasa kejam dan teramat menyakitkan untuk hati serapuh Khirani harus dihujam dengan berbagai derita. Gadis itu benar-benar sendirian dalam konya hitam kehidupan yang gelap, tidak ada cahaya sedikit pun. Hanya ada air mata dan seribu kesakitan yang menemaninya.
Usianya yang masih muda harus dipukul takdir hingga menuntutnya untuk menjadi dewasa lebih cepat. Tuhan tidak pernah memberi aba-aba nasibnya yang semula sempurna menjadi sedemikian menderita. Hidup yang semula terasa mudah menjadi begitu keras dan sulit. Tangan mungilnya yang selalu lembut harus dipaksa menjadi kotor dan kasar.
Tuhan, tidakkah Kau lihat dia seperti matahari yang redup? Tidak terang, tak juga gelap. Hidupnya abu-abu, tidak ada warna lain, tidak ada tujuan lain.
***
[Lo bisa datang gantiin gue, kan? Nanti malam gue mau kencan.]