“Buuuu, anak lanangmu sudah kembali dari antah berantah!” teriak Binna saat melihat Bhanu baru saja turun dari becak. Gadis yang baru saja masuk kedokteran itu mendengus putus asa melihat kelakuan Bhanu yang aneh di balik wajah tampannya itu. Susah payah dirinya menjemput di bandara dengan mobil yang sudah dicuci mengkilap, tetapi cowok aneh yang disebutnya kakak itu malah memilih transportasi umum. Definisi dikasih enak, malah milih yang repot.
“Mas Nuuuu!” teriakan terdengar dari dalam rumah, muncul dua manusia remaja dengan wajah yang mirip, Nana dan Noni. Keduanya secara bersamaan menyergap pelukan ke arah Bhanu.
“Kangeeen, Mas,” ujar Nana, kemudian disusul Noni, “kupikir Mas Nu nggak bakal pulang, kecantol bule kayak Teyze.”
“Mas, oleh-olehnya nggak ketinggalan, kan?” tanya Nana.
“Punyaku, punyaku, Mas, nggak lupa, kan?” sahut Noni.
Bhanu terkekeh sambil mengusap rambut si kembar secara bergantian, “Yuk, masuk ke rumah dulu. Semua pesanan ndoro-ndoro ada di dalam tas.”
“Yee! Sini, sini, Mas, tak bantu bawa barang-barangnya.” Nana merebut koper dari tangan kiri Bhanu, sedangkan Noni melepas ransel di punggung kakaknya.
Bhanu berjalan mendekati adik tertuanya yang duduk di kursi teras, lalu mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas. Bukan karena takut rambutnya berantakan, tetapi karena Bhanu pernah bilang kalau Binna adalah titisan kucing keluarga yang meninggal sebelum Binna lahir. Semasa hidup, kucing itu sangat suka diusap-usap kepalanya. Binna murka ketika Bhanu mengusap-usap kepalanya karena disamakan dengan kucing keluarga.
“Mas Nuuu!” Binna melayangkan tangan untuk menyerang Bhanu, tetapi cowok bertinggi badan 180 sentimeter itu sigap melarikan diri masuk ke rumah. Bhanu meninggalkan koper di teras, berlarian ke sudut rumah untuk menghindari Binna, sampai akhirnya wanita paruh baya keluar dari salah satu pintu kamar. Aksi tikus dan kucing itu pun berakhir.
Binna menghargai momen ini, karena kepergian kakaknya seolah merenggut setengah jiwa ibunya. Sang ibu diam-diam menangis di malam hari karena merindukan sang kakak. Untuk itu, Binna memilih duduk di kursi meski kesal dendamnya belum terbalaskan.
“Panglima …” Nawang, sang ibu berdiri tegap dengan dua tangannya membentuk simbol bunga seperti seorang ratu yang duduk di tahta.
“Sendiko dawuh, Kanjeng.” Bhanu menjatuhkan satu lututnya di lantai dengan menelangkupkan tangan di depan kening, takzim di hadapan sang ibu. Diikuti si kembar yang turut menekuk lutut di belakang Bhanu.
“Rawuhipun panjengan sampun kula rantos, punapa perang sampun njenengan kawonaken?”—kedatanganmu sudah kutunggu, apakah perang sudah kau taklukan? Dengan nada khas dialog teater jawa.
“Berkat doaipun panjenengan, kulo saget wangsul kaliyan wilujeng. Matur sembah nuwun, Kanjeng.”— berkat doamu, aku bisa pulang dengan selamat, terima kasih, Kanjeng.
Binna menatap putus asa ke arah mereka, “Oh My God, kenapa aku aja yang waras di sini sih?” katanya sambil meraih ponselnya di meja.
Sejak Bhanu kecil, Nawang sudah mengenalkan kesenian jawa kepadanya. Nawang selalu mengajak Bhanu untuk menonton kesenian wayang kulit dan ludruk. Setiap malam Bhanu meringkuk di pelukan Nawang sembari mendengar drama jawa dari radio, sinetron Angling Darma yang legendaris menjadi favorit mereka sejak memiliki televisi. Semua itu didasari karena Nawang dulu adalah pemain teater jawa sebelum menikah. Namun, sejak kematian ayah Bhanu, Nawang tak lagi punya waktu untuk menikmati kesenian jawa itu bersama anak-anaknya. Nawang sibuk mencari uang untuk membesarkan mereka berempat.
Bhanu paham tentang kecintaan sang ibu pada kesenian jawa begitu dalam, ia berusia dua puluh tahun ketika ayahnya meninggal. Sebagai penghibur di kala sang ibu kelelahan mencari nafkah, Bhanu berlakon seperti panglima yang melaporkan kegiatannya dalam bahasa jawa. Sejak itu di sela-sela waktu kebersamaan, mereka menciptakan panggung teater tak kasat mata.
Peragaan Kanjeng dan Panglima itu berakhir. Bhanu berdiri tegak setelah sang ibu menyentuh dua pundaknya, prosesi melepas rindu pun dimulai. Tidak ada satu pun seorang ibu yang rela jauh dengan anak yang pernah berada di rahimnya selama berbulan-bulan, kemudian dilahirkan dengan sekuat tenaga antara hidup dan mati. Namun, ibu selalu menyadari bahwa, mungkin memang anak adalah dunia sang ibu, tetapi dunia anak bukan selamanya milik sang ibu. Anak memiliki kehidupannya sendiri, memiliki sayap untuk terbang menjajaki dunia yang luas dan beragam ini. Setidaknya ibu bahagia, satu-satunya rumah sejauh anak pergi adalah dirinya, pelukan hangatnya.
Nawang terisak di pelukan Bhanu, tubuh anaknya yang dulu mungil dalam gendongan kini sudah menjangkaui dirinya bahkan jauh lebih besar darinya. Nawang melesak di dada Bhanu dengan kecupan hangat dari sang putra, rasa bahagianya meluap.
Makan malam kali ini terasa istimewa, Nawang memasak berbagai macam makanan kesukaan keempat putra-putrinya. Mereka bercengkeram di meja makan sambil mendengarkan cerita demi cerita pengalaman Bhanu menginjak tanah di tujuh negara. Sampai acara makan malam itu selesai, mereka berlanjut ke kamar Bhanu.
“Mas, besok aku ikut ke kantor penerbitmu, ya?”
“Ngapain toh, Bin?” Nawang menyahuti sambil menata baju Bhanu di lemari.
Binna tersenyum seperti menyembunyikan rencana besar. Bhanu yang membuka ransel berisi buku-bukunya itu menatapnya dengan senyuman seolah tahu rencana sang adik.
“Nggak usah ganggu kerjanya Masmu, Binna,” tegur Nawang.
Bibir Binna mengerucut panjang dengan tatapan kecewa mendengar teguran sang ibu. Bhanu yang melihat itu langsung menyahuti, “Ada berapa orang?”
Air muka Binna yang kusut, kontan berubah menjadi cerah. Gigi-giginya terpampang jelas dengan mata yang berbinar. Tebakan Bhanu sepertinya benar, tentang rencana besar Binna menemaninya pergi ke kantor penerbit besok. “Nggak banyak, kok, Mas, cuma dua …”
“Oh, oke,” kata Bhanu bersamaan dengan Binna melengkapi kalimatnya, “puluh…”
“Edan ah?” kata itu sertamerta keluar dari bibir Bhanu, “Mas besok sibuk.”
“Ayolah, Masss…” Binna menggelayut di lengan Bhanu, “lumayan buat beli paket make up-nya Tasya Farasya. Kalau Mas memang mendukung bakat adik, ya bantu dong, ah.”
Selain bercita-cita menjadi dokter, Binna juga memiliki mimpi untuk menjadi beauty vlogger, bahkan ia sudah mempunyai kanal youtube dengan jumlah pelanggan melebihi sepuluh ribu. Meski sudah punya penghasilan dari kanalnya, ia masih membutuhkan modal untuk mengembangkan bakat merias, yakni seperangkat alat make-up. Ia tidak mau membebani Nawang untuk membelikan peralatan rias mahal itu dan jalan satu-satunya adalah mendapat modal lewat jalur kepopuleran sang kakak.
Sebagai penulis yang memiliki sisi kemisteriusan, Bhanu sangat sulit dijangkau pembacanya. Ia tak memiliki sosial media apa pun. Pembaca hanya bisa melihat Bhanu di peluncuran buku atau seminar-seminar kepenulisan. Oleh karena itu, Binna mengambil kesempatan kepada pembaca loyal yang mau membayar sejumlah uang agar bertemu, berfoto dan memiliki tanda tangan sang kakak. Dan ini bukanlah yang pertama, adiknya itu sudah memperalat Bhanu sejak lama. Dari yang hanya ucapan selamat ulang tahun kepada pembaca sampai hadir di acara pernikahan salah satu pembacanya, tentu saja keuntungan seratus persen milik sang adik. Meski terlihat misterius dan membatasi interaksi dengan pembaca, sebenarnya Bhanu tidak merasa terbebani, ia merasa senang melihat wajah-wajah yang mencintai karyanya. Hanya saja, Bhanu lebih ingin cintai karyanya daripada fisiknya.
“Dapat berapa kamu?”
Binna menyengir, “Satu orang lima puluh ribu, dengan treatment selfie, sign and hug.”
“Peluk?”
“Eh, eh, apa iku peluk-peluk?” sahut Nawang.
“Binna ‘ngejual’ Bhanu lagi, Bu,” kata Bhanu sambil menata catatannya di rak buku.
Sebelum Nawang mengeluarkan kata-kata mutiara, Binna langsung meloncat ke arah sang ibu dan menggelayut di lengannya. “Kali ini para senior Binna, Bu, dari fakultas kedokteran. Ya siapa tahu salah satunya bisa jadi jodoh Mas Bhanu. Ih, bayangin punya mantu dokter, Bu, keren, kan?” rayu gadis tujuh tahun lebih muda dari Bhanu itu
Wajah ibu yang mula mau memarahi Binna itu berubah ketika mendengar kata ‘jodoh Mas Bhanu’, rautnya kini sama-sama berbinar dengan Binna. “Ide bagus tuh, Le. Turutin aja adikmu.”