Gantari

Diana Febi
Chapter #5

Chapter 5 : TAWARAN

“Mengubah konsep peluncuran novel Gantari?” Aminah membulatkan mata sembari mengulang kalimat yang dilontarkan Bhanu di rapat dadakan hari ini. Bukan hal yang aneh dalam dunia kreativitas saat konsep pertama sudah setengah jalan, ada saja konsep baru yang muncul. Bahkan dalam pembuatan naskah, hal itu tak bisa dihindari ketika kotak inspirasi dalam benak penulis tiba-tiba terisi oleh ide lain yang tak kalah menakjubkan dari ide sebelumnya. Tinggal pintar-pintarnya penulis saja bagaimana menyiasati hal tersebut.

Sejak memutuskan tanda tangan kontrak naskah Bhanu yang pertama lima tahun silam, Aminah sudah mengantisipasi hal-hal yang mengejutkan dari sosok Bhanu. Dalam diamnya, otak Bhanu seperti menjelajah bak elang terbang di angkasa menyusuri bumi. ‘Buruan’ yang berhasil ditangkap Bhanu selalu saja mengejutkan dan luar biasa.

“Saya mau peluncuran buku kali ini dengan konsep storytelling yang diiringi dengan musik, di gedung orkestra beneran. Ada storyteller, pianis dan …” mata Bhanu mengarah ke sisi pojok kanan ruang rapat, ke tempat Khirani duduk dengan tatapan kosong, “violinis.”

Semua orang yang hadir di ruangan itu bereaksi, ada yang melongo, membulatkan mata, ada pula yang langsung bertepuk tangan dengan mata berbinar, tak terkecuali Khirani. Gadis itu hanya mengarahkan pandangan matanya naik menatap pencetus ide, sekilas.

“Dari sekian penerbit, kayaknya konsep begitu nggak pernah ada, ya, nggak, Bu?” Endro bereaksi sesuai tebakan, ia yang paling antusias untuk hal-hal baru yang menarik hatinya.

“Kayak gimana itu, Mas Bhanu? Bisa dijabarkan lebih detail lagi?”

“Dalam benak saya menggambarkan sebuah pertunjukan storytelling yang diiringi dengan instrumental. Karena naskah Gantari ini mengambil latar tempat dari tujuh negara dengan aliran musik yang berbeda akan terlihat lebih menarik. Audience akan kita ajak untuk merasakan feel penulis rasakan saat menulis di tempat-tempat tersebut. Pianis dan violinis yang akan mengantarkan mereka masuk ke dalam cerita. Tidak hanya itu, latar panggung juga bisa kita sesuaikan dengan isi cerita. Saya akan mengambil poin-poin penting di setiap latar tempat untuk disajikan dalam naskah storytelling.”

“Terdengar mewah, elegan dan berkelas,” tutur salah satu karyawan.

Semua mencetak bayangan di benak masing-masing; panggung dengan sorot lampu bersinar, pianis menekan tuts, violinis menggesek bow, serta storyteller yang merangkai kalimat dengan suara yang mampu menghanyutkan para audience. Latar belakang panggung silih berganti gambar, dari pemandangan gurun, bangunan Taj Mahal, penggunungan Swiss, Landmark di Kota Sofia, sungai romantis Venesia dan yang terakhir Selat Bosphorus di Istanbul sebagai tempat-tempat paling ikonik di dalam naskah Gantari.

Dari sekian cercahan senyuman, hanya Khirani yang mengembuskan napas panjang sembari melirik penulis yang mencetuskan ide tersebut.

Menarik garis waktu satu jam yang lalu, saat Bhanu terpukau dengan penampilan violinis di taman kota, ia merodakan mesin-mesin imajinator dalam benak yang membuatnya terbesit konsep peluncuran buku yang sangat berbeda dari peluncuran-peluncuran buku sebelumnya. Tak hanya menyuguhkan sebuah alur yang dapat dinikmati oleh telinga audience, konsep itu mungkin akan mampu membawa para audience untuk merasakan hanyut dalam alur. Ikut menjadi tokoh utama dalam novel dan ikut terjun dalam kotak imajinasi sang penulis.

“Tapi … kayaknya kita butuh dana lebih, ya?” kepala divisi keuangan, Elsa. “Sewa gedung orkhestra, fee pianis, violinis sama artis storyteller. Kan, rencana awal kita mau pake satu selebgram buat penarik audience di acara launching.”

Saya punya teman pianis dan violinis, untuk storyteller-nya…” kalimat Bhanu menggantung, bola matanya menyapu para anggota rapat sejenak, kemudian melanjutkan kalimat,  “saya sanggup.”

“Beneran?” sontak Aminah dan karyawan lain melontarkan kata yang sama. Mereka kembali terkejut dengan perubahan drastis penulis yang terkenal tak begitu mau menunjukan diri di hadapan publik itu.

“Mas Bhanu sejak pulang dari mengembara banyak memberi kejutan, ya?” Aminah terkekeh.

“Wah, kalau gitu kita nggak perlu pake umpan menarik audience, Mas Bhanu jadi storyteller aja udah pasti narik ratusan audience. Kita optimis nih!” kata salah satu karyawan di bagian admin sosial media penerbit, Rara.

“Kakakku kerja di GKJ, betewe,” kata Rima, salah satu karyawan di bagian pemasaran. “Aku bisa cari info sewa gedung di sana, ya barangkali bisa dapet diskon,” lanjutnya dengan cengiran.

“Nah, boleh, tuh!” Endro kian semangat menyambut konsep baru ini.

Sekarang semua mata tertuju pada Aminah yang tengah merodakan sistem saraf otaknya untuk berpikir, menimbangkan konsep itu dengan seksama. Bhanu mengusap-usap jempol tangan kanannya sendiri, itu adalah kebiasaannya saat menunggu keputusan yang ia harapkan akan memberi kabar baik. Endro dan para karyawan lain juga memasang raut wajah penuh harap agar Aminah memberi akses untuk membuka jalan pada ide tersebut.

Di tengah menunggu keputusan Aminah, Bhanu sempat melirik Khirani. Gadis itu terlihat tanpa ekspresi, tidak tertarik. Tatapannya kosong mengarah ke meja di depannya. Meski begitu, Bhanu berharap ia juga antusias menyambut ide tersebut karena berhubungan dengan sesuatu yang Khirani suka, yakni pertunjukan violin.

“Oke!” kata Aminah sambil tersenyum lebar, disambut pekikan hore oleh para karyawan, begitu pula dengan Bhanu, ia kontan menghentikan mengusap jempolnya sembari tersenyum lega.

***

“Belum pulang, Mas Bhanu?” tanya Sugik kala matanya melihat Bhanu masih berdiri di teras kantor. Waktu sudah menunjukan pukul empat sore lebih, sebagian karyawan sudah bersiap pulang, termasuk Sugik yang saat itu hendak meninggalkan kantor.

“Khirani udah pulang, Mas Sugik?” tanya Bhanu, belum sempat Sugik memberi jawaban atas petanyaan yang mengejutkan, Bhanu sudah melihat tubuh mungil Khirani melintas di hadapannya, pulang. “Duluan ya, Mas Sugik.” Bhanu mengambil langkah menyusul Khirani, meninggalkan Sugik dengan mulut melongo dan raut wajah yang terheran-heran.

Langkah Khirani sudah setengah jalan menyeberang, disusul langkah Bhanu baru menengok kanan kiri dan berhasil menyamai langkah Khirani di ujung jalan seberang. Bhanu pikir, Khirani akan duduk di bangku halte, pemuda itu sudah percaya diri duduk di bangku besi itu. Namun, ternyata kaki Khirani tak berhenti, ia berjalan menyusuri trotoar.

“Eh?” Buru-buru Bhanu bangkit dari bangku halte dan kembali menyusul langkah Khirani.

Sore itu terlihat mendung kembali setelah pagi tadi diguyur hujan dan sinar mentari sempat menyapa sebentar di tengah hari. Genangan di trotoar belum sempenuhnya kering, sepertinya cakrawala akan menurunkan bala tentara airnya kembali beberapa saat lagi. Angin berembus kencang, alasan Khirani menyembunyikan kedua tangannya di saku hoodie hitamnya. Dari tiga langkah di belakang gadis itu, Bhanu memperhatikan dengan segaris senyuman.

Lihat selengkapnya