Gantari

Diana Febi
Chapter #6

Chapter 6 : Bubur Ayam

“Oke! Kita bekerja mulai sekarang!” kata Aminah memberi aba-aba untuk dimulainya serangkaian persiapan untuk pertunjukan yang diundur bulan depan.

Hari ke hari semua tampak sibuk, dari Aminah yang terus mengadakan meeting dengan para sponsor, Endro dan Bhanu berdiskusi mengenai diksi-diksi dari novel Gantari yang akan dipilih untuk pertunjukan, dan karyawan lain yang dibagi tim untuk jobdesk masing-masing seperti; persiapan printilan acara, merchandise, konsumsi sampai ke bagian set tata panggung. Semua bekerja sama secara optimal dengan atmosfer semangat yang menggelora.

Tim marketing juga disibukkan dengan promosi yang gencar. Dari artikel-artikel di portal daring sampai koran-koran sehingga euphoria menyambut pertunjukan mulai memanas di sosial media. Nama Bhanu Brajasena dan Gantari menjadi penulurusan paling dicari. Sosial media resmi Penerbit Cakrawala menjadi sasaran teror para penggemar Bhanu. Meski belum dipublikasikan secara resmi konsep pertunjukan yang akan diusung, para penggemar karya Bhanu ramai percaya bahwa peluncuran buku kali ini sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya. Mereka sangat tidak sabar untuk menanti. Bhanu adalah penulis yang berpengaruh di dunia literasi sampai penulis-penulis senior menyanggupi hadir di puluncuran bukunya, tanpa dibayar. Hal itu yang membuat antusias masyarakat semakin kencang di arus sosial media.

Meski bukan bagian dari tim inti pertunjukan, bagian gudang juga sama sibuknya. Selain memproses pesanan buku lain yang dipesan melalui marketplace resmi penerbit, tim gudang juga disibukkan distribusi novel Gantari ke toko buku seluruh Indonesia yang akan diedarkan resmi dua Minggu sebelum pertunjukan.

Sebagai khasnya Bhanu Brajasena selama bertahun-tahun menerbitkan buku, perilisan buku barunya harus di toko buku offline, ia tidak mau membuka pesanan melalui daring. Hal itu karena Bhanu ingin toko buku di negerinya ramai dikunjungi pecinta buku. Penerbit Cakrawala boleh mengorbitkan buku-bukunya melalui daring setelah enam bulan sejak perilisan pertama.

Di sela-sela sibuknya menghadiri wawancara di berbagai undangan sebagai bentuk promosi, Bhanu juga tidak berhenti di tempat untuk membujuk Khirani agar mau menjadi bagian dari pertunjukan.

“Resital, violin, panggung orkestra, penonton,” kata Bhanu saat tak sengaja berpas-pasan dengan Khirani di tangga.

“Melodi, dress, spot lampu,” kata Bhanu saat dirinya tak sengaja bertemu dengan Khirani di dapur kantor.

“Nanananana...nananana...” Bhanu memperaga seperti violis, dengan biola yang tak kasat mata saat berjalan di pintu gudang.

Hal itu terus ia lakukan setiap hari, ia tidak mau berhenti membujuk Khirani dengan cara apa pun. Meski sebenarnya Bhanu sudah didesak tim acara agar mau memberitahu siapa violinis yang akan tampil di pertunjukan. Daftar yang akan tampil sudah siap dan terdata dengan pasti, hanya bagian violinis yang masih kosong. Bhanu hanya bilang, violinis itu sudah ada dan meminta tim untuk mempercayakan hal itu kepadanya.

Sedangkan Khirani masih berdiri dengan keputusannya untuk menolak tawaran Bhanu. Sebagaimanapun pria itu membujuknya, mengiming-imingnya dengan apa pun, Khirani tetep keukeh menolak. Alasan di balik itu semua karena Khirani membenci semua hal tentang pertunjukan. Panggung, resital, sorot lampu, penonton. Memang benar ia masih menyukai biola, hanya saja ia sekarang benci segala hal yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian.

Khirani melepaskan diri dari gagalnya pertunjukan jika sampai hari H, Bhanu masih membujuknya. Khirani merasa itu bukanlah tanggung jawabnya.

***

Siang itu kembali basah, tetapi kantor terlihat cerah karena baru saja tiba kotak makan siang dari ibu Bhanu sebagai bentuk dari dukungannya terhadap pertunjukan peluncuran buku baru putranya. Menu makan siang kali ini masakan rumahan, semur ayam, tumis-tumisan, ayam balado, sambal petay, sayur krawu. Di lantai dua, di atas meja panjang yang biasa digunakan untuk rapat semua bersuka cita menyantapnya. Raut wajah Bhanu tidak bisa menyembunyikan rasa senang sampai akhirnya ia baru sadar, seseorang tidak ada di ruangan itu.

Bubur Ayam Mang Tampan di depan kantor menjadi pelarian Khirani, tenda biru dengan satu meja dan dua kursi plastik jauh lebih baik daripada duduk di belakang meja di ruang rapat dengan gegap gempita, riuh para karyawan menikmati masakan ibu Bhanu. Membayangkan duduk di sana saja membuat Khirani tidak nafsu makan.

Lihat selengkapnya