Gantari

Diana Febi
Chapter #7

CHAPTER 7 : TANGISAN MELODI

  “Maaf, saya merepotkan Ibu Aminah lagi.” Nada suaranya datar tetapi terasa pilu di telinga Aminah.

 Perempuan itu menggangguk sambil mengusap punggung Khirani, untuk kesekian kalinya ia memaklumi Khirani untuk mengajukan gajian seminggu lebih awal. Dari sekian orang yang mengetahui sejarah pedih gadis itu bisa terjebak utang adalah Aminah, ia punya alasan kuat untuk membantunya dan itu bukanlah hal sepele. Tahu dan kenal Khirani sejak gadis itu masih bayi membuat Aminah seperti menjaga anaknya sendiri. Bukan lagi soal empati, tetapi Aminah sudah merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu gadis itu.

“Saya akan bekerja lebih rajin lagi, Bu.”

“Kerjalah seperti biasanya, nggak usah memaksakan diri. Saya paham, kok.”

Di hari Aminah bisa menemukan Khirani dan adiknya, ia pernah mencoba membantunya. Memberinya tempat tinggal, makanan dan akan membiayai perawatan Diandra, Khirani bisa kembali ke sekolah. Namun, Khirani menolak. Ia tak mau dikasihani, ia tidak mau menjadi beban untuk orang lain apalagi orang itu sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya.

“Saya permisi, terima kasih sekali lagi, Bu.”

“Hm, jangan telat makan, ya,” ujar Aminah sambil memandangi gadis itu keluar dari ruangannya.

Tersentak kaget saat membuka pintu, Bhanu sudah berdiri di sana. Pemuda itu menyabitkan senyum seperti biasa, matanya membulat seperti anak anjing yang seolah bertemu dengan induknya dan Khirani benci itu. Menggelikan.

“Hola, Khirani…” sapanya sambil melambaikan tangan kanan.

Seperti biasa, Bhanu hanya menjadi angin berbisik yang tak berwujud. Khirani berlalu begitu saja tanpa membalas sapaan pemuda itu. Bhanu memandangi punggung Khirani sampai menghilang di antara anak tangga. Sedingin dan secuek apa pun Khirani kepadanya, hal itu sama sekali tak menciutkan niatnya untuk mengajak Khirani dalam pertunjukan. Malah ia semakin semangat untuk menyusun strategi agar Khirani mengatakan kesanggupannya untuk berkontribusi dalam pertunjukan.

“Udah kali ngeliatinnya,” tegur Aminah di belakang mejanya sambil menata-nata berkas.

Bhanu menutup pintu lalu berjalan ke meja Aminah dengan mesem-mesem, “Rapat kemarin lancar, Bu?”

“Lancar, Alhamdulillah. Kita banyak mendapatkan sponsor. Kayaknya kita nggak harus mengeluarkan banyak dana.” Jedanya beberapa detik, ia berdiri ke meja kopi, “kenceng banget di sosial media, masih hangat dibicarakan. Masih trending.” Aminah terkekeh.

“Syukur deh, lega rasanya. Saya takut nggak bisa sampai target.”

“Kenapa mikirnya bisa takut, sih? Kamu nggak pernah gagal, paling sedikit bukumu terjual lima ribu ekslempar. Pede dong harusnya. Kopi?” tawar Aminah sambil menghidupkan heather setelah menuangkan air minuman kemasan ke dalamnya.

Bhanu menggeleng, “Makasih, Bu, tadi udah ngopi bareng Mas Endro.”

“Oh, ya, ada apa menemui saya? Masalah violinis, ya? Gimana, udah nemu?”

Bhanu tertawa kecil, “Saya udah bilang dari awal waktu saya mengusulkan konsep ini pertama kali, violinisnya udah nemu, Bu.”

“Yaaa… masalahnya siapa violinis itu?”

“Ada kok, percaya deh, Bu, dia spesial banget.” Bhanu tersenyum yakin bahwa apa yang dikatakan itu benar dan tak perlu diragukan lagi.

“Oke, oke. Saya nggak mau nanya lagi, pokoknya itu bagianmu, ya, Mas Bhanu.”

“Delapan enam, Bu Aminah.” Bhanu memiringkan telapak tangannya di depan kening membentuk hormat, jeda beberapa detik ia berdeham, “saya kesini mau mengajukan permintaan.”

“Permintaan? Apa itu?” tanya Aminah sambil menuangkan air panas dalam heather ke dalam gelas kopinya.

“Saya mau mengundang semua penulis yang bernaung di Penerbit Cakrawala.” Bhanu berdiri tegak pertanda bahwa permintaannya itu sungguh-sungguh ia harapkan agar Aminah selaku pimpinan redaksi mau mengabulkannya, “saya tidak mau penulis Cakrawala yang lain merasa tidak disayang sama penerbit. Saya mau mereka ikut berkontribusi dalam acara. Saya paham betul perasaan mereka yang bukan penulis besar selalu memimpikan apa yang saya dapatkan sekarang. Setidaknya, saya mau mereka ikut merasakan atmosfer semangat literasi di pertunjukan kita nanti.”

Aminah urung mengaduk kopinya, ia menatap Bhanu dengan sendu sembari menghela napas panjang. “Like usually, the power of Brajasena. Ia tidak mau bersinar sendirian.”

Senyuman Bhanu merekah di bibirnya setelah melihat respons Aminah seperti apa yang ia harapkan, “Tolong kirim undangan yang spesial untuk mereka ya, Bu.”

Lihat selengkapnya