Kedai Soonday di Jalan Malang itu sejak pagi sesak oleh pengunjung. Khirani dengan cekatan mengangkat gelas-gelas kotor di atas meja lalu mengelap meja itu sampai bersih. Kakinya beralih ke meja berikutnya, melakukan hal yang sama. Setelah nampan di tangan penuh dengan gelas, ia masuk ke dapur, menyerahkan gelas kotor itu ke bagian pencuci.
Caramel Coffe with cream di meja 19. Tolong yang meja 19, kasih dengan senyuman lebih manis, dia pelanggan spesial di sini. Mbak Celinda titip salam, ‘semoga akhir pekannya menyenangkan’.” Bagian counter menyerahkan dua nampan berisi pesanan para pelanggan.
Khirani meraih dua nampan itu di masing-masing tangannya.
“Ingat ya, meja 19 harus pake senyuman yang sangat, sangat, ramah dan manis. Jangan lupa salamnya. Mbak Celinda ngawasin langsung di kasir tuh,” kata Anik sambil memberi isyarat dengan matanya kalau owner Kedai Soonday sedang berada di belakang meja kasir.
Khirani mengangguk sambil keluar dari belakang counter, berjalan hati-hati di tengah sesaknya pengunjung. Ia meletakan Mocachito Italiano dan Rainbow Cake di meja 17, kemudian berjalan dua langkah menuju meja 18 untuk meletakan Hot Latte dan kentang goreng. Sebelum ia berjalan ke meja 19, matanya melirik ke arah counter, di sana Anik mengawasi. Anik mengingatkannya kembali untuk tersenyum lebar. Khirani juga sempat menoleh ke meja kasir, owner kedai ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Merepotkan saja, pikir Khirani. Gadis itu tidak senyum selama hampir tiga tahun, rasanya tidak mudah untuk tersenyum kembali. Bibirnya terasa kaku, apalagi harus tersenyum lebar. Ah, Khirani mendesah begitu kakinya berjalan ke meja 19 yang terletak di sebelah jendela kaca.
Kaki Khirani mendadak berhenti setelah matanya tertumbuk pada pemuda berjaket jins yang saat itu juga menatapnya. Kedua mata mereka saling bertemu. Khirani tidak menyangka bisa bertemu dengannya di sini, di hari kedua ia bekerja. Sungguh, ia tidak mau melihat pemuda itu. Tidak di tempat kerjanya. Hati dan pikirannya berdebat, antara melaksanakan kewajibannya dengan professional atau tidak. Ia melirik arah owner sebentar, Celinda mengisyaratkan agar Khirani segera menyajikan pesanan itu di meja 19. Sungguh, Khirani tak mau melempar senyuman dan bersikap ramah tamah kepada pemuda itu.
Ia tidak punya pilihan lain, akhirnya kakinya kembali melangkah menuju meja tersebut. Sistem tubuhnya berusaha keras untuk membuat satu tarikan lebar di bibir, tatapan ramah dan intonasi nada bicara yang lembut. Alasannya hanya satu, ia tidak mau kehilangan pekerjaan ini.
Khirani menarik napas panjang kemudian mengembuskan kencang bersamaan dengan perubahan wajahnya yang datar menjadi riang dengan senyuman yang lebar serta tatapan yang ramah, “Selamat pagi, Kak. Ini Caramel Coffe with creamnya. Dapat salam dari owner kami, semoga akhir pekan Kakak menyenangkan.” Khirani meletakkan pesanan itu di meja.
“Selamat menikmati,” tutup Khirani sekuat tenaga untuk menatapnya dengan ramah dan manis sampai pesanan mendarat sempurna di meja. Dada Khirani berdebar hebat, detik-detik itu yang terasa menegangkan. Setelah urusannya selesai, ia melempar senyuman kembali dan beranjak dari depan meja 19.
Ketika kakinya sampai di belakang counter, Khirani bernapas lega luar biasa. Lututnya terasa lemas, ia tidak menyangka bisa bersikap seperti itu dengan manusia paling menyakitinya. Gaharu Svarga. Lebih tidak menyangka lagi, Garu hanya mematung menatapnya tanpa reaksi apa pun. Khirani sudah khawatir Garu akan bertindak aneh-aneh di tempat kerja barunya ini. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan seperti ia kehilangan pekerjaan serupa beberapa bulan yang lalu karena tingkah Garu. Pemuda itu pernah mengobrak-abrik tempatnya bekerja karena Khirani menghilang dua minggu.
“Lo kenapa?” Anik menghampirinya membawa nampan pesanan baru.
Khirani menggeleng, ia mencoba menetralkan degub jantungnya dan bersikap normal. “Gapapa, Kak. Pesanan meja berapa?” Ia langsung meraih nampan pesanan baru dari tangan Anik.
“Bener lo gapapa? Pucet gitu?”
“Nggak apa-apa.”
“Ya udah, nih meja 23 black coffe without sugar sama donat kentang. Meja 24, Fanta float sama es krim vanilla mint,” rinci Anik, “btw, lo keliatan cantik, ya, kalo senyum. Senyum terus dong!”
Khirani mengangguk menerima rincian pesanan, tetapi hatinya enggan untuk menerima saran yang Anik katakan. Bagi Khirani tidak ada gunanya tersenyum jika hidupnya begitu menyedihkan. Ia merasa tak pantas untuk tersenyum sedang adiknya koma di rumah sakit. Pujian dan saran dari Anik seperti angin lalu. Khirani kembali ke pekerjaannya, mengantarkan pesanan ke meja pelanggan.
Ia tahu mata serigala Garu sedang mengawasinya, ia tidak peduli dan tetap fokus. Khirani memilih memutar menghindari meja Garu yang sebenarnya lebih dekat dengan meja pesanan berikutnya. Ia khawatir Garu akan mengerjainya, seperti yang sudah-sudah.
“Fanta Float sama es krim vanilla mint, selam—,” Khirani mendesah, muak. Melihat pemuda berkaca mata dengan satu novel di tangannya. Hari ini terasa begitu sial harus bertemu dengan manusia-manusia yang sangat merepotkan.
“Loh, Khi?” Bhanu meletakkan novelnya di meja, matanya membulat terkejut bertemu dengan Khirani secara kebetulan. “Kamu kerja di sini juga?”
“Selamat menikmati, Kak.” Khirani tidak menggubris pertanyaan Bhanu. Ia langsung memutar kaki untuk beranjak.
“Kamu pulang jam berapa? Part time di sini?” tahu-tahu Bhanu berada di sampingnya, pemuda itu menyusul langkahnya berjalan menuju counter.
Khirani mencoba tidak mempedulikan Bhanu. Ia sempat melirik ke arah Garu, mata pemuda itu menatap sangat tajam ke arahnya. Fokus Khirani semakin tidak keruan, ia buru-buru mempercepat langkah. Namun, tak sengaja kaki kanannya menabrak kursi pelanggan yang mendadak mundur. Khirani jatuh terjerebab ke lantai, bunyi nampan kosongnya menarik perhatian.
“Astaga, Khi!” Bhanu segera berjongkok mencoba membantu Khirani.
“Maaf, ya, Mbak, saya nggak sengaja.” Pelanggan yang memundurkan kursinya itu juga turut jongkok, meminta maaf.
Khirani memejam, merasakan betapa sialnya ia hari ini. Belum usai dengan rasa tidak nyaman karena ada Garu, ditambah lagi kehadiran Bhanu, tak berhenti di situ ia masih harus merasakan malu karena terjerebab ke lantai. Hari ini benar-benar kacau.
“Nggak apa-apa,” kata Khirani dengan suara berkumur sembari membuka mata, ia segera bangkit tak menghiraukan uluran tangan Bhanu yang mencoba membantu. Khirani kembali berjalan menuju dapur setelah mengambil nampannya.
“Khi…” lirih Bhanu menatap punggung Khirani hilang di balik meja counter. Bhanu mendesah, kenapa sulit sekali untuk mendekati gadis itu? Bhanu sudah tidak mau memaksa Khirani untuk menjadi violinisnya nanti di pertunjukan. Pemuda itu kini hanya ingin berteman dengan Khirani. Itu saja.
Bhanu kembali berjalan ke meja meski ia masih khawatir dengan Khirani, ia juga merasa bersalah terhadap gadis itu. Tidak seharusnya ia menganggu pekerjaan Khirani seberapa pun rasa penasarannya. Bhanu mengacak-acak rambut, kesal. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata serigala menatap ke arahnya dengan tajam.
***
Di atas meja panjang di depan teras gazebo rumahnya yang berada di rooftop itu, Bhanu terlentang berbantal satu lengan menengadah ke langit. Bertebaran bintang menghiasi cakrawala malam. Tidak begitu indah karena polusi udara kota Jakarta menutupinya. Ia rindu bintang-bintang malam di atas gurun, aurora yang menakjubkan, detik-detik penuh rasa syukur menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan yang beberapa bulan yang lalu ia nikmati secara langsung.