H-3 minggu menuju pertunjukan. Frekuensi Bhanu wira-wiri ke kantor semakin sering. Ia juga banyak menghabiskan waktunya di kantor, ikut memantau jalannya persiapan pertunjukan. Memilih merchandise sampai ke urusan tata letak panggung. Ia juga sibuk memilih foto dari tujuh negara sebagai latar pertunjukan, Bhanu ingin agar apa yang divisualisasikan menyatu dengan diksi-diksi yang ia pilih di dalam novel.
Meski Bhanu sibuk di lantai atas dan jarang berurusan dengan gudang, tak membuat Khirani akan terhindar dari pemuda itu. Mereka tidak sengaja bertemu di tangga, di dapur kantor, tempat ibadah, atau tak sengaja bertemu lagi di gerobak Bubur Ayam Mang Tampan.
Sempat terbesit tanya dalam hati Khirani mengapa Bhanu tampak menjauhinya, tetapi hal itu segera ditepis. Khirani memutuskan untuk tidak peduli, lagipula hal itu yang selama ini ia harapkan. Keduanya seperti dua insan yang tidak pernah saling mengenal. Bhanu masih menatapnya hangat, melempar senyum meski kentara sekali kecanggungannya, berbeda dengan Khirani semakin menganggap Bhanu tak kasat mata. Gadis itu lega, si resek itu mungkin sudah menyadari batasnya.
“Buku dataaaaang!” pekik Sugik dari pintu depan. Satu mobil box perlahan masuk ke halaman kantor. Tim gudang keluar bersiap memindah buku-buku di dalam mobil masuk ke dalam gudang dan ditata di sana.
“Ini yang buat pertunjukan nanti, ya?” tanya Aminah baru saja keluar dari pintu depan.
“Iya, Bu, totalnya ada 1000 ekslempar. Ini cetakan terbaru.” Lapor petugas percetakan sambil menunjukan dokumen pengiriman buku, “silakan ditanda tangani, Bu.” Ia menyerahkan dokumen itu kepada Aminah.
Aminah membumbuhi tanda tangan kemudian mengajak petugas itu masuk ke dalam kantor untuk mendiskusikan hal lain mengenai buku-buku yang cacat atau returan. “Khirani, habis bantu ini, tolong ke kantor saya, ya.”
Khirani mengagguk. Tangan mungilnya berjibaku mengangkat satu persatu dus yang berisi novel-novel itu ke dalam gudang. Ia terlihat seperti keberatan dan hampir saja terjatuh di lobi kalau saja Bhanu tidak sigap menahan keseimbangan tubuh Khirani.
“Kamu nggak apa-apa?”
Khirani membenarkan posisi dus yang ia bawa, kemudian kembali berjalan menuju gudang tanpa mengindahkan perhatiaan tulus dari Bhanu.
“Biar saya saja yang bawa, ya?” Bhanu menyusul dan menawarkan bantuan.
“Kalau mau bantu di mobil masih banyak. Jangan ngerecokin kerjaan orang deh,” tukas Khirani sekaligus menyindir pemuda itu terang-terangan karena kejadian minggu lalu.
Bhanu sempat terbengong, sebenarnya ia sudah menduga respons gadis itu, tapi masih nekat untuk menawarkan bantuan. Alhasil ia ditolak mentah-mentah. Alih-alih kesal, ia jadi punya alasan untuk berjibaku di lantai dasar, membantu distribusi buku ke gudang. Dengan semangat empat lima, Bhanu dengan gesit memindahkan dus-dus buku itu ke dalam gudang. Sugik baru meletakan satu dus, Bhanu sudah tiga dus. Sugik jadi terheran-heran meski sangat berterima kasih kerjaannya menjadi jauh lebih ringan.
“Makasih loh, Mas Bhanu. Udah dibantuin.” Sugik menyengir, “ini minumannya,” tawar Sugik sambil menyodorkan botol air kemasan.
Bhanu meraih botol itu dari tangan Sugik, ia memutar penutupnya kemudian menyodorkan botol itu kepada gadis yang sibuk menata tatanan dus tak jauh “Minum dulu, Khi.”
“Cieeee… uhuy! Ada yang pedekate nih…” goda Sugik.
Khirani mendesah sambil bangkit setelah menata dus terakhir, ia berjalan menuju tasnya di dalam loker, mengeluarkan botol berisi air minum. Kemudian meminum air itu di depan Bhanu yang masih mengulurkan botol ke arahnya.
“Oh, bagus tuh minuman bawa sendiri. Lebih sehat, hemat lagi.” Bhanu terkekeh, “Oih, Mas Sugik, makasih minumannya, ya?” Bhanu membuka minuman itu kemudian meneguknya sambil berjalan keluar gudang.
“Yo, Mas,” jawab Sugik, kemudian menoleh ke arah Khirani yang tampak datar, seperti tak merasa bersalah sedikit pun sudah mengabaikan kebaikan orang lain kepadanya, “Parah kamu, ya, setidaknya kalau nggak mau nerima itu bilang. Emangnya kamu anggap Mas Bhanu itu batu? Dia itu penulis andalan kita, penulis yang berjasa banget sama penerbit ini. Bisa nggak, sih, jangan terlalu ketus gitu?”
Khirani menutup lokernya, berlalu meninggalkan gudang tanpa membalas teguran dari Sugik.
“Woy, kurang ajar banget, orang tua ngomong nggak digubris!” Sugik merasa tersinggung. Sugik tak habis pikir bisa bekerja sama dengan manusia aneh seperti Khirani. Ia merasa benar-benar ketiban sial, emosi mulu setiap melihat kelakuan dingin gadis itu.
***
“Gimana perkembangan Diandra?”
Khirani bergeming tak lantas menjawab, ia tidak mau Aminah tahu kalau Garu sudah berhenti membayari perawatan adiknya. Khirani tidak mau Aminah bersikeras untuk membiayai perawatan Diandra seperti tahun lalu. Aminah sudah banyak membantu, Khirani tak mau merepotkan perempuan itu lagi. Lebih kasarnya, ia tak mau dikasihani siapa pun, termasuk Aminah yang selama ini sudah baik kepadanya.
“Baik.”
Aminah menatap Khirani dengan sendu. Benteng tinggi yang diciptakan gadis itu masih berdiri kokoh, bahkan kepada Aminah yang sudah menganggap Khirani sebagai anaknya sendiri. Benteng itu menyekat dirinya dengan dunia luar, terkungkung gelap dan kesepian. Aminah sudah berkali-kali mencoba masuk ke dalam benteng tersebut. Nyatanya, itu bukanlah hal yang mudah.
“Keluarga Garu masih membiayai perawatan Diandra?”
“Bu Aminah manggil saya ke sini ada apa? Mas Sugik udah mau nutup gudang.” Khirani mengalihkan pembicaraan dan Aminah sadar akan hal itu.
Aminah mendesah sedikit kecewa karena usahanya kali ini untuk menerobos benteng Khirani kembali gagal. Namun, ia berusaha menarik senyum dan berpikir untuk mencobanya lagi lain kali, “Saya dengar kamu kerja paruh waktu di kedai?”
Khirani menduga Bhanu pasti yang bilang kepada Aminah. Namun, Khirani enggan mempermasalahkan. Ia hanya mengangguk.
“Udah lama? Setiap hari?”
“Baru, kerjanya cuma sabtu minggu.”