Gantari

Diana Febi
Chapter #13

CHAPTER 13 : KEPUTUSAN YANG BERAT

 Menjadi tertutup, pendiam, dingin, cuek serta lebih menyukai kesendirian bukan pilihan Khirani untuk menghadapi dunia. Ia pernah mencoba tetap menjadi dirinya sendiri setelah hari besar itu, namun orang-orang di sekitar menekan dirinya untuk menjadi bunga yang layu, lantas mekar kelopaknya tertutup. Ia pernah menghadapi dunia yang sulit ini dengan senyuman, dengan prasangka yang baik, dengan pandangan yang lebih positif. Namun, lagi-lagi ia dihajar lingkungan yang memaksanya memilih untuk menjadi tertutup, tak terlihat dan tak mau ikut campur.

Sisi ektroversinya berubah menjadi introversi yang malah membuatnya kian jauh dari lingkup sosial pada umumnya. Ia jatuh dan tenggelam dalam dirinya yang dingin, tak mau mudah percaya orang lain, tak mau ikut campur dan dicampuri urusan pribadinya, sel-sel dalam dirinya menolak kehadiran energi dari orang asing, sekali pun itu adalah energi yang positif.

Namun, tadi malam, di dalam mobil bersama Bhanu. Untuk pertama kali dalam tiga tahun setelah ia terjebak dalam sisi kenyamanan yang menghancurkan, energi Bhanu menelusup dan melumpuhkan beberapa sel-sel negatif dalam diri Khirani. Melalui tatapan Bhanu, Khirani merasakan ada sesuatu yang mampu mengikis benteng pertahanannya.

“Pesanan meja 13, latte dingin dan kentang goreng. Meja 14, Mocachiato dingin dan Strawberry cake.” Anik menyerahkan nampan berisi pesanan-pesanan pelanggan sabtu pagi ini.

“Siap, Mbak.” Khirani meraih nampan tersebut, lalu melangkah gesit ke meja-meja.

Anik mengerutkan keningnya sejenak, ia merasakan atmosfer berbeda dari karyawan baru itu. Pertama Anik bertemu dengan Khirani di minggu lalu, ia menganggap Khirani sosok yang aneh dan tertutup, bahkan ia jarang bisa diajak bicara atau pun tersenyum. Menjawab sekenanya dan kadang sama sekali tidak menanggapi omongan Anik. Namun, hari ini Anik merasa Khirani sedikit berbeda. Ia menjawab apa pun omongan Anik, meski itu sekadar menjawab pesanan yang Anik berikan.

Anik tersenyum sambil menatap Khirani yang lagi-lagi tertangkap memberi senyuman ke pelanggan. Anik merasa senang dengan perubahan itu, padahal minggu lalu ia merasa sial bekerja satu shift dengan Khirani yang seperti batu.

Kedai Soonday ramai seperti biasa, banyak pekerja kantoran yang melipir ke sana untuk sekadar ngopi dan ngobrol. Tak jarang juga anak kuliahan yang berkumpul bersama teman-temannya. Pemandangan itu sejenak mengalihkan fokus Khirani, andai hari besar itu tak pernah terjadi, mungkin ia seperti para muda-mudi membahas perkembangan kehidupan kuliahan mereka. Membicarakan organisasi, nilai-nilai dari dosen, atau membicarakan senior kampus yang menarik perhatian.

Tertawa lepas, bercanda satu sama lain, berswafoto kemudian mempostingnya di sosial media, melakukan tren yang sedang membooming atau sekadar bertukar curahan hati tentang pujaan hati. Kehidupan yang kadang Khirani bayangkan jika ia bisa merasakan kehidupan itu.

“Khirani, tolong gantiin gue bentar, ya, gue kebelet nih.” Anik mengalihkan fokus Khirani yang sedari tadi berdiri di depan konter sambil memperhatikan meja muda-mudi seumurannya.

“Eh, iya, Mbak.” Khirani berjalan ke belakang meja pelayanan pesanan.

“Lo udah tahu, kan, pengoperasiaanya?”

Khirani menggeleng.

“Aduuh, mana kebelet banget nih gue,” kata Anik sambil celingak-celinguk mencari karyawan yang lain, tetapi mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. “Si Fani ini ke mana sih, bukannya nemenin gue di sini, nggak muncul-muncul tuh anak.” Anik putus asa, ia menarik tangan Khirani.

“Pencet menu, nanti keluar kategori menu. Minuman, makanan, dessert. Pencet minuman nanti keluar lagi beberapa minuman pilihan, pencet pesanan, misalnya es kopi, terus pencet tanda add kalo ada pesanan lain, back ke dessert atau makanan, lakukan kayak tadi. Habis tuh total, nanti langsung muncul jumlah nominal, terus…” wajah Anik memerah menahan sesuatu yang melilit di perutnya, “cetak! Dah, semoga lo ngerti, gue kebelet nggak tahan.” Anik melesat menuju pintu belakang konter.

“Ce-cetaknya gimana, Mbak?” pertanyaan Khirani menguap begitu saja saat Anik sudah menghilang di balik pintu. Khirani mengigit bibir bawahnya merasa bingung dan takut jika salah, apalagi waktu sudah menunjukkan jam istirahat, sudah terbayang antrian panjang seperti biasanya.

“Tumben kamu yang di sini?”

Suara itu hampir saja membuat Khirani loncat karena kaget. Bhanu dan Binna berdiri di depan konter.

“Kenal, Mas Nu?” tanya Binna.

“Guru les si kembar.” Bhanu tersenyum memperkenalkan Khirani tak langsung pada Binna.

“O! O!” Binna sudah mau membuka bibirnya untuk histeris, tetapi isyarat mata sang kakaknya membuatnya menelan kalimat yang ingin ia lontarkan, Binna hanya melumat bibirnya menahan senyum setelah memperkenalkan diri, “Hai, aku Binna, pasti udah pernah dengar tentangku dari si kembar, kan?”

Khirani tersenyum canggung sambil mengangguk, “Mau pesan apa?”

Bhanu yang menyadari senyuman Khirani itu sejenak terpaku, baru kali ini ia melihat senyuman Khirani. Bhanu tidak bisa menyembunyikan mata berbinarnya melihat pemandangan itu.

“Advocado Frappe, Vanilla cake, sama … Tiramisu Chocomory. Mas Nu mau pesan apa?”

“Iced Latte aja.”

“Oke, tambah Iced Latte, ya,” kata Binna.

Khirani mengangguk sambil menatap layar menu.

“Mas, aku ke toilet bentar, ya.” Binna melesat menuju kamar mandi kedai. Meninggalkan Bhanu berhadapan sendiri dengan Khirani.

 Mendadak Khirani gugup, canggung dan kebingungan, apa yang diajarkan Anik barusan seketika buyar. Beberapa kali ia salah memencet menu. Menekan, menghapus, kembali lagi ke menu minuman, lupa menambahkan dessert, kembali lagi ke menu dessert. Tampak sekali ia kebingungan sedang antrian mulai merayap.

Bhanu menangkap wajah kebingungan Khirani, “Ada masalah, Khi?”

Lihat selengkapnya