Langkah Radit terhenti, bulu kuduknya merinding , ia mendengar suara wanita terisak, sangat jelas. Tapi siapa yang menangis di sini? Seluruh siswa sedang di dalam aula.
"Hiks... Lo emang bodoh ! Kenapa lo bodoh ?"
Radit mengernyitkan dahinya, ia yakin sekarang. Itu bukan hantu, itu benar benar manusia. Tidak mungkin hantu mengatakan dirinya bodoh.
Phak... Phak... Phaaaak.
Radit membelalakkan matanya, tepat di dalam kelas sepuluh enam, seorang gadis memukuli kepalanya, sangat keras.
"Eh stop ! Lo ngapain?" Radit menahan tangan gadis itu agar berhenti. "Kalo lo punya masalah, lo bisa ke ruang BK. Ceritain semuanya disana."
Gadis itu menatap Radit sayu namun penuh dengan kebencian.
"Siapa lo ? Gak usah sok peduli."
Bentaknya.
Radit melepaskan genggaman tangannya, lalu mengibas ngibaskannya seakan akan setelah memegang tangan gadis di depannya itu membuat dirinya menjadi kotor.
"Kepala itu rentan akan benturan, kalo gak percaya lanjutin aja sampek gagar otak."
Radit melangkah pergi sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Masih ada orang bodoh. Batinnya.
"Adinaaaaa ? Lo gak papa kan ?"
Belum selesai rasa terkejutnya akan kehadiran pria bernama Radit itu, Adina kembali di kagetkan dengan kedatangan Ema dan suara cemprengnya.
"Gak papa." Jawabnya singkat.
Ema menghela napas, dia tau apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. Ia peka, setelah melepas earphone Adina langsung berlari keluar. Sahabatnya itu sedang tidak baik baik saja.
"Itu Radit kok keluar dari sini ?" Ema sempat melihatnya dari tangga.
"Jangan dibahas ya."
Ema mengangguk, cukup tau. "Mau turun lagi nggak ?"
"Gue disini aja, lo kalo mau balik, silahkan." Pikiran Adina benar benar tidak fokus, dadanya terasa sakit.
"Gue temenin lo disini." ucap Ema Pelan.
Ditengah tengah keheningan rasa penasaran Adina memuncak."Kenapa gue gak pernah lihat Radit di sekolah ya ?"
Ema terkekeh."Gimana pernah lihat ? Temen sekelas lo sendiri aja nggak pernah lo lihat."
Adina tersenyum canggung, ternyata dia benar benar berubah. Adina yang dulu sudah hangus dengan sejuta kenangan yang kejam.
"Tapi kenapa dia bisa punya earphone kayak gue ma ?" tanya Adina dalam hati.
• • •
"Emaaaaa, gak mau ! Balikin ma."
Lagi dan lagi, Ema tak bosan bosannya mengganggu Tania. "Lo tuh ya, udah gak di tanggepin,masih aja."
"Ma, balikin hape gue." rengek Tania.
"Din, ambil nih ! Lihat chatnya, buruan !" Adina meraih ponsel di tangan Ema.
"Nih tan."
Ema memandang Adina kecewa."Yah Adina gak asik."
"Makasih Adina, emang cuma Adina doang yang baik sama Tania."
"Apasih lo ?" Adina mengusir Tania dari bangkunya.
Ema tertawa. "Rasain lo."
Seketika kelas berubah hening, Adina yang sadar langsung memperhatikan sekitar.
"Ada Tania ?" Tanya seorang siswa yang Adina belum pernah lihat.
"Kenapa?"
"Tania dari Radit, katanya jangan ngasih apa apa lagi." cowok itu itu manaruh jaket di meja paling depan.
Tania mematung, air matanya sudah mulai keluar dari pelupuk mata.
"Ya lo jangan nangis dong tan, lo sih ngapa tambah ngasih jaket. Kan udah gue bilang coklat aja di bagi bagiin."
Jahat sekali pria itu, seharusnya tidak perlu dikembalikan seperti ini dan membuat Tania sakit hati.
"Kan gue udah bilang, banyak cowok lain diluar sana. Ya meskipun gak sesempurna Radit. Tapi lo gak perlu lah sampek kayak gini."
"Tapi gue sayang Radit."
Adina memutar bola matanya. "Udah kek, jadiin pelajaran. Jangan ngabisin waktu lo."
"Kalo lo mau nangis mending pergi deh, lo jadi tontonan anak kelas. Gak malu ?" lanjut Adina.
Tania membawa jaket itu keluar. "Gak ada yang peduli sama gue emang."
"Ma, susulin gih ! Nanti bunuh diri lagi." ucap salah satu teman kelas.
"Ogah."
Adina terpaku, ia teringat dirinya tadi pagi. Bagaimana kalo Tania melakukan sesuatu yang lebih parah dari dirinya ? Aduh kesalahannya sudah mengusir Tania dari kelas.
"Ayo ma, susulin Tania." Adina menarik tangan Ema.
"Kenapa lo jadi peduli ?" tanya Ema.