Bosan, hanya itu yang ada di otakku kali ini. Tak ada kegiatan yang menarik untuk dilakukan. Aku hanya bisa duduk termangu di pojok kelas. Tidak hanya karena letak tempat dudukku yang tidak nyaman, tetapi juga menatap betapa gaduh keadaan hari ini membuatku muak. Frank sedang menjalani tes basket untuk mengikuti lomba minggu depan, sedangkan Wendy, sang ratu kebersihan kelas, sedang marah-marah kepada anak-anak yang menurutnya cukup bandel.
“He, apa kau tak sadar? Kau telah mengacak-acak semuanya!” Wendy memulai kemarahannya. Mukanya sudah mulai memerah.
Ini semua memang sudah jadi keseharianku. Salah satunya melihat Wendy dengan wajah masamnya marah-marah pada pagi hari. Dia terus menjerit dan mengeluh bahwa dia telah melaksanakan piket kebersihan sampai sore, sementara siswa lain tak peduli. Hasilnya memang sia-sia, tak ada yang memedulikannya. Kurasa cara Wendy tak mempan untuk menghentikan sikap bandel anak-anak itu.
“Apa kau tak dengar?! Jika kau tak mau duduk, akan kuberitahukan hal ini kepada Mrs.Crystal!”
Wendy memekik sekali lagi dengan nada suara semakin tinggi. Dia sangat dongkol. Tahi lalat yang terletak di dekat bibirnya menambah kesan betapa Wendy sangat ganas.
Oh, ya, saat ini Wendy sedang memarahi Himeda Takeda. Dia adalah anak lelaki bandel yang berasal dari Jepang. Matanya sipit, tetapi sedikit berbeda dengan Frank yang juga agak sipit. Kerut dahinya yang menyebalkan itu terus dia tunjukkan, menandakan bahwa dia tidak menyukai Wendy.
“Silakan kalau kau berani.”
Wendy sudah naik darah. Dia tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Mukanya merah padam, bagaikan ada asap keluar dari hidung dan telinganya. Dia membuka sepatunya dan ....
BRAK!
Wendy melempar sepatunya ke arah Himeda. Sayang, lemparannya tertangkap oleh tangan lihai Himeda. Himeda mencibir dengan penuh kemenangan.
“Mau apa lagi kau? Sepatumu ada di tanganku!”
Wendy melangkahkan kedua kakinya, dua langkah ke depan. Dia berusaha menggapai sepatu yang dipegang Himeda.
“Kembalikan. Sini!”
Himeda tak mungkin mau mengalah hari ini. Sudah kuduga, dia malah mendorong Wendy hingga terjatuh.
BRAK!!!
Wendy tampak kesakitan. Dia jatuh tersungkur dan terus memegangi pantatnya. Mukanya merah.
“He!” Aku berdiri dari bangkuku. Kurasa perbuatan Himeda itu bukan sikap yang pemberani, melawan anak perempuan, apalagi hingga melukainya. Terlebih lagi, Wendy adalah sahabat karibku.
Himeda langsung melemparkan sorot matanya kepadaku. Dia tersenyum sinis. “Apa?”
“Itu perbuatan yang tak pantas,” ujarku. Aku melangkahkan kakiku untuk mendekati Himeda.
“Itu memang pantas diterima oleh Wendy.”
“Oh, ya?” Aku mulai mencibir. “Kurasa, apa yang dikatakan Wendy itu benar. Kau tak seharusnya mengacak-acak kelas.”
Himeda terdiam.
“Akan kulaporkan kau ke Mrs.Crystal.”
Himeda tampak tersudut. Dia menyerah. Dia kembali duduk di tempat duduknya sambil terus menatapku sinis.
Buru-buru aku membantu Wendy untuk bangkit.
“Thanks.” Wendy menepuk-nepuk roknya yang kotor.
“Sama-sama. Ini memang tugasku untuk membantu sahabat, bukan?”
Wendy tersenyum tipis.
Aku segera kembali ke tempat dudukku, begitu pula Wendy. Sekarang suasana kelas sepi.
Tak berselang lama, Mrs. Michele masuk ke dalam kelas dengan membawa berkas-berkas dan setumpuk buku di tangannya. Mrs. Michele adalah robot dengan kemampuan mirip manusia. Tak hanya gerak-geriknya, otaknya pun telah dirancang untuk menjadi guru.
***
KRING!!!