Garda Jiwa

hyu
Chapter #2

Anak Bala

Persekutuan Desa Gunung Dhuwur, bertahun-tahun kemudian.          

LARAS LESTARI melangkahkan kakinya dengan mantap sambil menegakkan kepala. Ia baru saja melewati pintu gerbang sekolah. Dari balik topinya ia melirik orang-orang yang menatap dirinya dengan pandangan aneh. Beberapa anak-anak seusianya berbisik-bisik ketika ia lewat di depan mereka. Yang lainnya bahkan mencibir.

Itu semua sudah biasa dialami Laras. Perundungan adalah makanan sehari-harinya di sekolah. Semua orang di Kampung Wetan memandangnya sebelah mata. Tapi Laras tidak ambil pusing. Ia “balas” semua cibiran dan cemoohan yang ditujukan kepadanya dengan prestasi. Laras menjadi siswi terbaik di sekolahnya. Masa bodoh dengan orang-orang. Aku hanya ingin membuat Bapak-Ibu bangga.

Bangga? Hmm, nanti dulu. Faktanya, kedua orang tua Laras tidak menunjukkan hal itu.

Dari kejauhan Laras melihat kedua orang tuanya sudah menunggu di depan pintu rumah. Ia yakin akan ada sesuatu.   

“Ah, jarang-jarang Bapak dan Ibu menyambut Laras seperti ini,” sapanya sambil tersenyum menyindir.

"Bersihkan dirimu, lalu kita ngobrol bertiga di dalam,” sambut bapaknya kaku.

Hmmm, sudah kuduga. “Bagaimana kalau sekarang saja? Laras kelelahan, ingin tidur.”

"Kalau itu memang maumu,” jawab Bapak. 

Ketika masuk ke dalam rumah, Laras melihat dua buah tas besar di dekat pintu. Ia memandang bapak dan ibunya, baru menyadari jika mereka berdua mengenakan baju pergi.

“Bapak-Ibu mau ke mana?”

“Laras,” Ibu menjawab, “Seperti yang Bapak-Ibu sudah sampaikan berkali-kali—dan sekarang keputusannya sudah bulat—Bapak-Ibu mau mencari peruntungan di ibu kota. Demi masa depan keluarga kita. Desa ini sudah tidak menjanjikan lagi buat usaha kita. Rumah ini akan dikontrakkan dan kau akan tinggal bersama nenek di rumahnya. Bapak-Ibu sudah menyiapkan segala sesuatunya untukmu.”

Ia tidak tega mau melanjutkan, “Semua gegara kau, Laras.”

“Ya. Kecuali kau kali ini bersedia dibawa ke Kampung Lor untuk diruwat,” Bapak menyambung.

“Seperti saran Mbah Wetan,” timpal Ibu.

Jadi, ini ancaman Bapak-Ibu? Laras paham. Sangat paham. Ia memang menjadi salah satu dari belasan anak di Kampung Wetan yang dianggap sebagai pembawa petaka buat keluarganya. Bahkan ia dengar anak-anak ini juga akan menjadi pembawa petaka buat seluruh desa. Karena itu, Mbah Wetan—sesepuh desa—menyerukan bagi keluarga yang memiliki anak seperti dirinya untuk menjalani ruwatan.

Laras, dan anak-anak ‘sejenisnya’, memang berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Anak-anak ini lahir normal. Hanya, pada saat menginjak usia 9-10 tahun, fisik mereka pelan-pelan berubah. Kulit dan rambutnya memutih kemerahan, mereka tidak tahan terhadap panas matahari, pandangan matanya juga terganggu. Orang menyebutnya ‘albino’.

Selain berbeda dengan anak-anak kebanyakan, Laras ternyata juga berbeda dengan anak-anak albino yang lain. Tidak seperti teman-temannya yang sudah diruwat, hingga usianya menginjak 12 tahun ini tinggal Laras yang selalu menolak upacara itu. Laras percaya diri dengan keadaan tubuhnya. “Berbeda itu berarti istimewa,” ia berdalih.

Ejekan dan perundungan ia hadapi dengan enteng. Sensitif terhadap sinar matahari bisa disiasati dengan mengenakan topi dan baju lengan panjang. Pandangan yang kabur diakali dengan kaca mata. Ia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa anggapan anak pembawa petaka itu tidak betul. Faktanya, ia punya banyak prestasi akademik di sekolahnya.  

Bapak dan ibunyalah yang tetap tidak percaya diri.

“Bagaimana, Laras?” ibunya berharap-harap cemas menunggu jawaban anak satu-satunya itu. “Kau mau diruwat, kan?”

Laras memandang wajah ibu dan bapaknya. Ada rasa iba juga di hati Laras melihat raut wajah mereka yang tampak memohon. Dan jelas terlihat begitu tertekan. Sambil duduk di ujung kursi, ibu memandangi bibir Laras, menunggu suara keluar dari sana. Sementara bapak menggaruk-garuk janggutnya yang tidak gatal, sambil membalas tatapan Laras. 

Akhirnya Laras menjawab. Tegas. “Kapan Bapak-Ibu mengantarku ke rumah nenek?”

 

Sepeninggal kedua orang tuanya, Laras sedikit menampakkan perubahan sikap. Ia merasa terlalu egois, tidak mau melihat posisi orang lain. Kini, sebagai “anak bala” satu-satunya di Kampung Wetan yang belum diruwat, ia merasakan beban yang sungguh berat. Pasti dirinyalah yang akan selalu disalahkan jika terjadi petaka di desanya. Aku harus menyelamatkan desa ini. Dengan menyelamatkan diri….

Maka, setelah lulus SD, Laras memutuskan untuk ‘turun gunung’, menjauh dari desanya. Mungkin dengan begitu, pikirnya, Kampung Wetan akan aman dari petaka yang mengancam.

“Nenek, maafkan Laras. Laras tidak bisa tinggal di Kampung Wetan lagi. Ada yang harus Laras kejar untuk masa depan Laras. Dan nenek pasti tahu, itu tidak bisa Laras wujudkan di desa ini. Nenek tidak usah khawatir. Laras sudah besar, sudah bisa jaga diri, kok. Dengan cara Laras sendiri.” Laras menulis pesan itu pada selembar kertas. 

Menunggu hingga neneknya tidur siang, Laras meletakkan surat itu di atas meja kamarnya dan kemudian keluar diam-diam.

Menumpang angkot, ia bermaksud menuju pusat kota Jogja. Tapi ketika transit di terminal Wates, Laras mencium harum rempah yang menarik hatinya. Ia turun dan berjalan menelusuri sumber bebauan itu. Entah mengapa ia begitu tertarik dengan aroma tersebut. Baunya mirip dengan jamu-jamu yang sering diminum ibu-bapaknya di desa, tapi yang ini lebih kuat dan lebih harum.

Laras berjalan pelan dan hati-hati, khawatir kehilangan jejak aroma itu. Langkahnya membawanya ke kampung di sebelah belakang terminal Wates. Ia terus menelusuri jalan melewati beberapa bangunan rumah dan menemukan sebuah pohon beringin besar di sebuah tanah lapang yang tidak begitu luas.

Di bawah pohon beringin yang rindang itu terlihat dua orang—laki-laki dan perempuan—yang sedang duduk-duduk santai. Sebuah becak terparkir tak jauh dari mereka duduk.

Rupanya ini sumber bau harum rempah itu. Laras terus mendekat. Dugaannya benar. Di samping si perempuan terletak tenggok berisi beberapa botol berisi jamu. Si laki-laki baru saja selesai minum jamu dan memberikan gelasnya yang sudah kosong pada si perempuan. Mereka berdua langsung menyadari kedatangan Laras.

“Halo, Cah Ayu. Kenalkan aku Kunti,” kata si perempuan. “Dan ini Kang Jiwo, bojoku.

***

KUNING GADING merasakan hidupnya biasa-biasa saja selama ini. Sebagai anak satu-satunya, Kuning sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Meski tidak bisa mendengar dan bicara, mereka tidak mempermasalahkan hal itu. Ia juga mampu melakukan aktivitas apa pun tanpa hambatan komunikasi. Semua lawan bicaranya paham dengan bahasa isyarat darinya. Semua baik-baik saja. 

Namun perubahan terjadi saat Kuning duduk di bangku kelas 5 SD. Ini saat semua orang di Kampung Kulon menyadari sesuatu yang aneh. Hanya dalam hitungan sebulan, belasan anak sepantaran Kuning terserang demam tinggi berhari-hari. Dan begitu demam hilang, mereka kehilangan pula pendengaran dan kemampuan bicaranya. Bisu-tuli, seperti Kuning. 

Mbah Kulon, setelah mengadakan pertemuan dengan para sesepuh desa di Gunung Dhuwur, menyatakan bahwa mereka sedang diserang pagebluk. Dan untuk menghilangkannya, semua anak bisu-tuli, termasuk Kuning, harus diruwat. Kalau tidak, maka keluarga mereka, bahkan desa mereka, bakal selalu mengalami petaka.

Kuning tidak paham dengan semua itu, mengingat selama dua tahun setelah kejadian itu tidak pernah terjadi petaka sekecil apa pun dalam keluarganya. Bahkan ia merasa menjadi anak paling bahagia di desanya. Kedua orang tua Kuning juga merasakan hal yang sama. Karenanya ia merasa tidak adil dengan stigma yang ditujukan kepada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

Tapi persekutuan desa sudah menetapkan aturan itu. Dan semua anak bala sudah diruwat, kecuali Kuning. Ia mengerti, kedua orang tuanya tidak akan mampu membiayai upacara ruwatan yang butuh biaya tinggi itu.

Tahu diri, Kuning lalu minta izin kepada kedua orang tuanya untuk pindah ke rumah bibinya di Desa Benaran. Menurutnya, cara ini bisa ‘membohongi’ petaka yang akan datang ke keluarganya. Bapak-ibunya dengan berat hati menyetujui ide yang mungkin masuk akal ini.

Masuk ke Desa Benaran, Kuning mengeluarkan selembar kertas kecil berisi catatan alamat bibinya. Ia menunjukkan kertas itu kepada dua orang pertama yang ia temui. Keduanya sedang menjajakan jamu di bawah pohon beringin tua. Jiwo dan Kunti.

***

LANANG DIPA digandeng bapaknya pulang. Matanya sembap karena terus-terusan menangis sejak berjam-jam lalu. Melewati pintu pemakaman, Lanang menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang memandangi pusara ibunya. Bapak merangkul pundaknya, dan pelan-pelan menarik tubuh putranya itu untuk kembali berjalan.

Upacara pemakaman ibunya baru saja usai. Tapi tidak ada warga Kampung Kidul yang mengantarkan jenazah ke kuburan. Hanya Mbah Kidul dan juru kunci makam. Bapak Lanang sudah menduga bakal begitu. Apalagi sebabnya kalau bukan Lanang.

Kini mereka sudah sampai di rumah.

“Lihatlah apa yang telah kau lakukan terhadap ibumu, Nang. Andai saja waktu itu kau mau diruwat….”

Bocah berusia 11 tahun itu diam saja, lalu masuk ke dalam kamar. Betulkah aku yang membunuh ibu? 

Kejadiannya yang begitu cepat membuat Lanang menyesal tidak menuruti keinginan kedua orang tuanya. Berawal dari seminggu yang lalu ketika Lanang terpaksa menuruti bapak dan ibunya untuk dibawa ke rumah Mbah Lor di Kampung Lor. Mereka baru saja dipersilakan masuk oleh Mbah Lor yang sudah siap menerima uang muka untuk biaya perhelatan upacara ruwatan buat Lanang. Tiba-tiba Lanang bangkit dari duduknya dan berlari keluar rumah. Ibunya langsung mengejar. Sementara Bapak, sambil geleng-geleng kepala, tetap menyerahkan uang muka kepada Mbah Lor.

"Tidak mengapa,” kata Mbah Lor. “Uang mukanya aku terima sebagai tanda jadi. Nanti pelaksanaannya menunggu Lanang siap. Bapak-Ibu harus lebih keras lagi memaksa dia sampai mau. Ingat petaka yang akan menimpa keluarga dan bahkan seluruh desa jika ruwatan tidak segera diadakan.” 

Di rumah, Lanang menangis sesenggukan di depan bapaknya yang marah-marah. “Anak tak tahu diuntung! Berani benar kau melawan orang tua. Kenapa tidak mau diruwat? Mau bapak dan ibumu celaka, ha!”

Lanang makin tidak bisa berhenti menangis.

Lihat selengkapnya