Sepasang netra gelap tersebut masih tertuju pada gadis yang sudah tergeletak di hadapannya.
Tubuh gadis itu masih hangat, wajahnya masih merona, hanya saja napas dan detaknya tak lagi ada.
Netra gelap itu tak bebas bergerak, ingin menghindar tapi tak mampu. Hanya tetap tertuju pada seseorang yang pernah membuatnya tertawa dan tersenyum bahagia.
"Archello," gumam seorang pria yang berada di belakangnya, berusaha untuk membuatnya sadar jika gadis itu sudah benar-benar tidak ada.
"Apa aku akan terbiasa? Apa dengan begini aku akan kembali?" Dia menoleh pada pria yang memanggilnya dengan tatapan yang jauh lebih buruk daripada mati. Ia telah merenggut nyawa gadis yang ia cintai.
"Kau sudah memutuskannya. Sekarang, bawa dia pada Arvein. Arvein akan menjaga tubuhnya agar tidak membusuk." Nada suara pria itu terdengar datar tapi dirinya dan orang di hadapannya itu tahu jika mereka berdua tidak baik-baik saja.
Jika mereka berdua masih belum bisa menerima apa yang terjadi.
Sudah bertahun lamanya si pemilik nama Archello begitu menyukai si gadis, ia begitu menyukai bagaimana si gadis tersenyum, bagaimana si gadis memandang dunia, bagaimana si gadis berpikir dan bagaimana si gadis menenangkannya.
Namun, ibarat minyak dan air, sekuat apa pun mereka saling mencinta, mereka tidak akan pernah bersatu. Sekuat apa pun Archello berusaha, ia dan si gadis tidak akan pernah bisa bersama. Ikatan takdir, katanya.
Hening, tidak ada kata terucap.
Dia masih betah menatap tubuh si gadis, masih betah menyalahkan dirinya, masih betah mengutuk dirinya atas apa yang terjadi. Ia tidak berani menangis, menyentuh, apa lagi mengucapkan maaf. Ia terlalu takut.
"Apa yang aku tidak punya?" tanyanya tanpa beralih pada Zeavan di belakangnya.
"Keberanian," jawab Zeavan tanpa menatap, "kau tidak cukup berani untuk meninggalkan impianmu juga kehidupanmu untuk bersamanya."
Zeavan tahu betul bagaimana sifat Archello, Archello adalah pemimpin kelompok paling berbahaya yang bekerja secara rahasia seperti bayangan. Membunuh pria sepertinya bukan hal berat bagi seorang pemimpin, tapi kali ini ia yakin, Archello akan mendengarnya. Jika tidak pun, tidak akan ada pihak yang dirugikan. Toh, si pria hanya akan mati saja, tidak ada hal lain yang terjadi.
"Zeavan, aku ... tidak benar-benar ingin membunuhnya," ungkapnya dengan suara parau seperti ditekan seolah habis berteriak, "aku terlalu gila untuk hidup dengannya, harusnya aku saja yang mati. Tidak, tidak, harusnya di antara kami tidak ada yang mati. Harusnya kami baik-baik saja!"
Teriakannya keras, menggema di seluruh ruangan. Bayangan-bayangan yang harusnya ada sudah tidak berani muncul, bersembunyi hingga tidak terlihat. Tidak tahu karena terlalu gelap atau karena terlalu buta.
"Archello, sudah, hentikan. Cukup."
"Aku percaya pada iblis, percaya pada dewa juga pada Tuhan. Aku percaya jika tempat ini, dimensi ini, bukan satu-satunya dimensi yang ada di dunia. Aku percaya jika, di luar sana, di balik dimensi lain sana, ada Yeina yang lain. Ada Yeina lain yang masih hidup. Aku juga percaya pada kehidupan kedua." Dia tersenyum, "Bagaimana caranya aku bisa sampai ke sana? Bagaimana caranya aku bisa bertemu dengan Yeina kembali?"
Sedikit juga, Zeavan tidak ingin menjawabnya. Dia yang bernama Archello ini sudah terlalu lelah untuk diajak bicara.