"Sudah ditetapkan seperti itu, aku tidak bisa mengubah alurnya lagi. Pria seperti Archello memang sudah jelas akan berakhir tragis."
Aku tersenyum, puas. Bukan karena aku suka melihat temanku kesal, bukan juga karena aku dapat lotre. Aku salah satu penulis novel yang mencintai kisah tragis, karena itu hampir semua cerita yang kubuat mengandung kisah kelam atau masa lalu mengenaskan.
Baik itu masa lalu si tokoh utama, atau kehidupan sekarang si tokoh utama. Aku hanya merasa happy ending bukanlah jalanku, ha ha.
"Kau selalu suka menyiksa karakter yang kau buat. Jika aku adalah salah satu karakter yang kau buat, aku pasti akan sangat membencimu," cibir gadis cantik yang ada di hadapanku.
Aku tertawa pelan.
"Jangan bicara begitu, aku mencintai anak-anakku. Aku mencintai mereka setelah aku menciptakan mereka. Hanya saja, karakter yang aku buat lebih mirip dengan manusia sesungguhnya. Terlalu bahagia akan membuat karakter tidak hidup, terlalu kuat, terlalu dibuat!"
Brak!
Tanpa sadar aku menggebrak meja di hadapanku. Terkadang aku terlalu bersemangat ketika menjelaskan perbedaan karakterku dengan karakter orang lain.
Aku masih menatap pada sosok wanita yang ada di depanku ini, wanita dengan wajah bulat dan bibir penuh yang mampu membuat siapa saja berlutut untuknya. Dia Aylene, sahabatku. Kami sudah saling mengenal sejak kali pertama aku menginjak dunia tulis menulis. Dan secara kebetulan, Aylene yang mengenalkanku pada seorang editor.
Sebenarnya, menurutku kebetulan itu tidak ada. Yang ada hanya keharusan yang tidak terelakkan, atau definisi kecil dari takdir.
... tunggu dulu, di mana aku membaca kata-kata itu? Kenapa rasanya keren sekali?
Well, pada intinya, berkat Aylene karya-karyaku yang tadinya sering berakhir menjadi sampah rumah tangga kini sudah menghasilkan uang. Mereka yang tertarik pada cerita yang kutulis, mulai mencetak dan menjadikannya novel. Secara mengejutkan cukup laku terjual. Bukan besar kepala, tapi aku tahu ceritaku menarik. Aku hanya tidak sepositif itu untuk mengirimkannya pada penerbit.
Aku suka menulis, membuat beberapa berat pikiranku teralih. Mengisi lubang-lubang di hati dan membuatku sibuk dengan dunia imajinasi hingga sedikit lupa pada kejamnya dunia nyata.
Beberapa kali aku berpikir, apa jika aku dan karakter yang kubuat bertemu, sungguh mereka akan membenciku? Seperti kata Aylene? Tapi mereka hidup karena aku!
"Sudah cukup berkhayalnya, ini sudah sore. Sampai kapan kita akan ada di sini?" tanya Aylene dengan kening berkerutnya padaku, "kau bilang mau tunjukkan padaku rak buku yang baru kau beli dengan harga murah, 'kan?" Aylene kembali bertanya bahkan sebelum aku menjawab pertanyaan sebelumnya, sembari ia membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja.
Oh. Benar, rak buku. Kemarin aku membeli rak buku dengan harga yang tidak wajar. Maksudku, rak buku dengan material yang bagus juga tidak akan dijual dengan harga murah. Dan aku mendapatkannya dengan harga luar biasa rendah. Penjualnya pun cukup aneh, seaneh editorku.
Sepertinya aku sering berhubungan dengan orang-orang aneh? Tapi tidak jadi soal, selama mereka membantu dan tidak mengganggu, mereka bisa jadi aneh seumur hidup mereka.
"Benar, aku membelinya dengan harga yang sangat murah. Namun, jika kau lihat desainnya, kau akan benar-benar kagum. Aku merasa punya barang seni di rumah."
Aku beranjak dari kursi kayu kecil tempat kami duduk sedari tadi, kafe yang kami sering datangi ini memang tidak begitu ramai. Harganya standar dan kopinya enak. Alasan yang cukup untuk membuatnya jadi kafe langganan.
"Sungguh? Bagaimana kau bisa mendapatkannya?" Aylene melirik ke arahku dengan penuh tanya, aku hanya tersenyum sok keren, aku tidak akan bilang jika aku membelinya dari seseorang yang lebih mirip pencuri daripada tukang kayu.
"Keberuntungan, sama seperti saat kau membawakan editor padaku. Dewi Fortuna yang ada di sisiku ini levelnya tinggi, jadi sudah tidak heran lagi. Oh? Taksinya sudah sampai, aku yang traktir, santai saja."
Aku tersenyum setengah tertawa sebelum masuk ke dalam taksi panggilan yang baru saja datang. Dari sini aku bisa lihat reaksi Aylene yang tidak suka jika terus saja dimanjakan, oh Aylene yang manis.
"Aku bukan tidak suka, tapi lain kali aku yang akan bayar," sungutnya padaku sebelum ikut naik ke mobil.
Kalau saja aku ini laki-laki yang sehat, aku pasti sudah membuat Aylene menjadi ibu dari putri-putriku.