Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #2

Chapter tanpa judul #1

2010

Hari Minggu adalah hari tersulit bagiku untuk mendapatkan waktu berleha-leha. Untuk bangun siang saja rasanya mustahil. Apalagi untuk sekadar menyelonjorkan kaki, menikmati secangkir teh, sambil menonton acara kartun pagi. Hal itu tidak mungkin bisa kudapatkan secara instan.

Pagi ini aku mendapati abangku mendobrak kencang pintu kamar. Padahal kedua bola mataku masih merem-melek ketika ia datang. Jiwa ragaku masih belum berkumpul seratus persen untuk merespons ucapannya. Sialnya, AC kamarku langsung dimatikan begitu saja. Gorden langsung dibentang lebar-lebar. Dan pintu sengaja dibuka agar aku bisa mendengar suara orang-orang rumah yang sedang sibuk dengan kegiatannya. Mau tidak mau aku harus bangun dari tidurku. Mengambil gagang sapu sebelum Ibu mulai berkicau. Aroma pedas menusuk indra penciumanku. Menandakan Ibu sedang memasak menu favoritku. Aku menyapu rumah dimulai dari lantai atas sampai ke teras depan. Setibanya di ruang keluarga, emosiku mendadak meluap. Coba bayangkan, setiap pagi aku harus selalu membereskan mainan si bungsu yang terkapar di mana-mana. Dan sedihnya, Bapak dan Ibu tidak pernah memarahi Dik Okta yang sering lalai atas tanggung jawabnya.

Terdengar Bang Jan sedang merayu Bapak di teras. “Pak, nanti jadi kan beliin Abang laptop? Tugas Abang sekarang harus selalu pakai laptop, Pak.” Bang Jan mengumpulkan ranting-ranting yang terkapar di jalanan dan meminggrikannya untuk nanti dibakar.

Aku ikut nimbrung. “Aku juga ya, Pak. Udah masuk SMA mau laptop juga.”

Bapak yang sedang menggergaji sisa ranting langsung menggeleng. “Beli satu saja dulu, Kak. Berdua sama Abang.”

Aku mendengus kesal. “Bang Jan pelit, Pak. Nggak bakal dibolehin pinjam.” Kenyataannya memang begitu. Bang Jan adalah orang yang paling pelit jika barangnya dipinjam. “Kakak janji bakal rajin belajar kalau punya laptop. Ayolah, Pak. Yang lebih murah dari Bang Jan juga nggak apa-apa, deh.” Aku terus memohon kepada Bapak.

“Bapak belum cukup uang, Kak. Kemarin baru bayar KPR sama uang masuk sekolahmu. Nanti Bapak belikan kalau bonus tahunan cair. Sekarang pinjam punya Abangmu dulu,” jelas Bapak yang kini meletakkan gergajinya dan beralih mengambil selang air untuk memandikan burung beo peliharaannya.

Aku menarik napas kesal. Sementara Bang Jan menjulurkan lidahnya mengejekku seolah-olah dialah pemenangnya. Sejujurnya, permintaan model seperti ini tidak hanya terjadi sekali, dua kali. Namun, berkali-kali. Dari kecil Bang Jan adalah anak kesayangan Bapak. Dan Dik Ta adalah anak kesayangan Ibu. Jadi kalau ditanya aku kesayangan siapa, jelas mereka—hanya takarannya tidak sebanyak abang dan adikku.

Tak lama terdengar suara seseorang memanggil namaku berulang-ulang. Mendengar nada suaranya saja aku langsung hafal siapa orangnya. Siapa lagi kalau bukan si kembar. Andra dan Indra—tetanggaku yang tinggal di depan rumahku. Tetangga yang juga menjadi teman sekolah sejak SD hingga SMA. 

Lihat selengkapnya