Aku kesiangan di hari pertama MOS. Bapak dan Ibu kewalahan membangunkanku dengan berbagai cara. Sementara Bang Jan masa bodoh jika aku terlambat. Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 05.40 di mana aku hanya memiliki waktu 20 menit untuk tiba di sekolah. Dengan gerakan super kilat tanpa mandi dan hanya bermodalkan—cuci muka, gosok gigi, pakai parfum—aku nekat berangkat sekolah.
Aku meminta Bapak untuk mengantarku dengan sepeda motor supaya lebih cepat sampai. Bapak mulai memanaskan sepeda motor. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Ban motor depan bocor. Semua karena ulah Bang Jan. Ia yang terakhir memakai motor itu kemarin. Aku merengek hingga beringsutan di teras rumah. Sementara waktu tersisa sepuluh menit lagi. Aku meminta izin kepada Ibu dan Bapak untuk bolos MOS satu hari. Aku tidak mau dihukum oleh kakak senior. Lagi pula Bang Jan juga tidak akan mungkin mau menolongku di sekolah.
Tiba-tiba Bapak memberi saran. “Mending kamu lari saja, Kak. Masih keburu sepuluh menit lagi.”
Ibu menyetujui saran Bapak. Alhasil upayaku dalam membujuk mereka untuk bolos sekolah gagal. Aku mengikat tali sepatu kencang-kencang dan berlari sekuat tenaga. Tepat pukul 06.01 pagar sekolah tertutup rapat. Aku terlambat satu menit dan tak ada harapan selamat bagiku untuk masuk sekolah. Adapun siswa baru yang terlambat sepertiku, mereka memutuskan untuk pulang atau pergi ke suatu tempat untuk membolos. Aku tidak berani menelepon Bang Jan karena sudah pasti aku akan dicincang menjadi daging halus. Lebih baik aku menelepon Ibu minta pertolongan.
“Bu, Kakak pulang aja ya. Kakak nggak sekolah dulu hari ini. Pagar sekolah ditutup,” ucapku mengadu.
Suara Ibu terdengar kencang sampai-sampai aku merasa perlu menjauhkan ponsel dari telingaku. “Enggak. Kamu harus sekolah. Ibu telepon Abangmu dulu.”
Tidak butuh lama sejak Ibu menelepon Bang Jan, pintu pagar sekolah terbuka kecil. Bang Jan mampu berkongkalikong dengan satpam sekolah. Aku tersenyum lega sementara Bang Jan memasang wajah geram berapi-api. Sorot matanya tajam seperti tatapan mata elang yang sedang mencari mangsa. Bang Jan sudah berancang-ancang menaikkan kaki kanannya dan bersiap untuk menendangku. Dengan cepat aku berlari menghindarinya. Namun, ia berhasil menarik kerah seragamku dengan cepat.
“Mau ke mana lo?” ujarnya galak dengan mata melotot. “Baru hari pertama udah nyusahin gue. Awas lo kalau dikit-dikit ngadu ke Ibu. Siapa suruh semalam begadang?” kepalaku ditempeleng. “Awas lo begitu lagi besok. Nggak akan gue bukain pintu pagar meski lo ngadu ke Ibu.” Bang Januar pergi meninggalkanku.
Wajahku menyeringai. Memberikan sumpah serapah kepadanya saat ia berjalan membelakangiku. Segeralah aku berlari menuju barisan MOS sesuai dengan kelompok yang ditentukan. Aku berada pada grup Medan. Setibanya aku di barisan, tiba-tiba seseorang mencolek bahuku dari belakang.
“Hai, nama gue Serena. Panggil aja Sere. Nama lo siapa?” perempuan itu mengulurkan tangannya. “Sori ya, gue tadi ngekor lo dari belakang. Soalnya gue terlambat juga,” ucapnya tersenyum lebar.
Aku membalas jabatan tangannya. “Nama gue Juni.”
Pada jam istirahat, aku mendapati si kembar dan Jansen duduk di kantin mi ayam. Indra yang sadar akan kehadiranku yang berada pada jarak dua meter langsung memanggilku untuk bergabung bersamanya. Aku mengajak Sere duduk di sebelahku. Gapreters mendadak fokus melihat kecantikan Sere. Siapa juga yang tidak terpincut dengan perempuan berparas cantik, berkulit putih, dan alis tebal yang hampir menyatu itu? Siapa pun pasti menyukai cantik naturalnya Sere. Penampilan terawatnya sangat berbanding terbalik denganku yang sangat biasa-biasa saja.
“Jun, udah dengar berita belum kalau Leo akan sekolah di sini juga?” Jansen membuka obrolan sambil memberikan pangsit mi ayam ke mangkukku.
“Kata siapa?” ucapku yang juga memberikan ceker ke mangkuk Jansen. Kami berdua memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Aku tidak suka ceker sementara Jansen tidak suka pangsit. Kami sering bertukar makanan seperti ini sejak kami SD.