Galileo
“Nak, nanti kita berangkat siangan saja ya. Soalnya Bunda sudah buat janji temu dengan guru di sana mengenai kepindahanmu dari Semarang,” ucap Bunda mengingatkan. “Kita akan daftar ulang sekalian membayar administrasi dan seragam. Kemungkinan pahitnya kamu nggak bisa mengikuti MOS seperti teman-temanmu lainnya. Kamu keberatan nggak, Nak?”
“Nggak apa-apa, Bun.” jawab gue pasrah. Gue paham akan hal itu. Kepindahan gue terlalu mepet dengan jadwal masuk sekolah.
Gue keluar rumah untuk jogging di pagi hari. Tiba-tiba sepatu gue menendang sesuatu yang keras. Gue melihat dan mengambil sebuah botol minum kaca hitam berinisial huruf J ada di depan teras rumah gue. Gue tidak tahu siapa pemilik botol minum ini. Entah milik Juni, Jansen, atau Abang Januar.
Sore harinya gue bertemu dengan Jansen dan Andra. Mereka menyapa gue dan bercerita bahwa kegiatan MOS berlangsung dengan meriah. Ada segenap rasa iri yang menyelimuti hati gue ketika gue tidak bisa ikut merasakan momen tersebut. Apalagi orang-orang bilang bahwa masa putih abu-abu adalah masa yang sangat indah untuk dikenang. Namun, tak apalah. Perjalanan gue di masa SMA juga akan segera dimulai. Tiba-tiba gue teringat sesuatu. “Sen, ini punya lo?” tanya gue menunjukkan botol minum inisial J.
Jansen menggeleng, tetapi botol minum itu langsung ditarik paksa oleh Andra. “Ini punya Ijun. Sini biar gue yang kasihin ke dia,” ucapnya berusaha memasukkan botol itu ke dalam tas.
Gue refleks mengambil kembali botol minum milik Juni. Sejak dulu gue bisa mencium gelagat aneh dari Andra kepada Juni. Hanya saja gue selalu menyangkal pikiran negatif itu dan meyakini bahwa perlakuan Andra kepada Juni hanya sebatas sahabat. Tidak lebih. Tidak diam-diam menyimpan rasa kepada Juni seperti cara gue melakukannya. Semoga saja tidak.
“Biar gue aja. Gue lagi ada perlu juga sama dia,” balas gue sedikit berbohong.
***
Hari ini gue resmi menjadi murid baru. Beberapa murid perempuan menatap gue lamat-lamat di sepanjang koridor kelas. Gue berusaha tidak mengindahkan mereka dan fokus berjalan mengikuti guru wali kelas melangkah. Di sepanjang jalan gue berdoa agar bisa sekelas dengan Juni. Gue celingak-celinguk mengintip setiap ruangan kelas untuk mencari keberadaan Juni. Tepat di depan lantai utara, akhirnya gue menemukan kelas Juni. Ia berada di kelas X-4. Dan begitu guru wali kelas gue masuk ke ruang seberangnya, gue mulai bernapas lega. Karena akhirnya kelas gue dan Juni berdekatan. Dan jackpot lainnya yang berhasil gue raih adalah gue sekelas dengan para Gapreters di kelas X-5. Sungguh sebuah keajaiban buat gue. Saat jam istirahat gue langsung berlari ke kelas Juni untuk mengembalikan botol minumnya.