Andra
Meskipun rumah gue dan Juni berhadapan, anehnya gue tidak pernah bisa untuk berangkat sekolah bersama Juni. Entah dia masih molor atau sudah berangkat, gue tidak pernah melihat batang hidungnya setiap pagi.
Pada jam istirahat, gue dikejutkan dengan perempuan berambut awut-awutan berdiri di depan pintu kelas. Napasnya tersengal diikuti kedua bola matanya yang berkeliling mencari seseorang. Bola matanya tertuju ke arah gue. Ia langsung melambaikan tangan kanannya ke arah gue. Anehnya lagi, gue nurut dengan jentikan jarinya yang mungil itu.
“Ngapain, sih?” tanya gue dengan sinis. “Lo nggak mandi ya?”
Napas perempuan awut-awutan itu mulai kembali teratur. Ia menyengir kuda di depan gue. “Iya, gue kesiangan tadi. Kelihatan banget ya?” ucapnya panik, namun langsung berubah lagi ekspresinya, “bodo amatlah!” Lalu menatap gue. “An, pinjam duit dong. Sepuluh ribu aja buat gue beli nasi. Uang jajan gue ketinggalan di ruang tamu,” ucapnya memelas.
Beginilah Juni yang gue kenal. Teledor dan pelupa. Sifat alamiahnya tidak akan bisa berubah dalam sekejap—atau mungkin akan melekat selamanya.
“Minta Abang lo-lah. Kenapa minta ke gue?” sambar gue.
Juni berdecak lidah. “Kagak, ah. Dia mah rentenir. Gue pinjam ceban yang ada suruh balikin dua puluh ribu. Itu juga belum termasuk diungkit-ungkit dan disuruh-suruh. Nggak, deh.” Juni menadahkan tangannya di depan gue. “Ada nggak?”
Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala gue. “Boleh. Tapi, ada syaratnya.”
Bola mata Juni mendelik. “Syaratnya apa? Kalau nyusahin gue nggak mau.”
“Gampang, kok,” balas gue seraya berbisik lirih di telinga Juni. “Temenin gue cari sepatu futsal.”
Juni tersenyum cerah dan langsung memukul bahu gue. “Ya ampun kirain apaan. Gitu doang mah gampang. Deal,” sahutnya mengajak berjabat tangan.
“Bukan cuma itu,” sahut gue lagi. “Temenin gue futsal juga. Jagain tas gue sekalian videoin tim gue pakai handycam buat dokumentasi kelas. Deal?”
Terlihat kerung cemberut dari wajah Juni. “Ribet, ah. Kenapa nggak nyuruh teman sekelas lo atau orang yang ada di sana, sih?” Juni berkacak pinggang dan menghempaskan jemarinya mengusir angin. “Udahlah, percuma gue minta sama lo. Ribet. Mending gue cari anak-anak yang lain aja,” jawabnya kesal.
Cepat-cepat gue menghadang kepergiannya. “Mereka nggak ada.”
Juni memicingkan matanya ke arah gue. “Ke mana?”
“Leo dipanggil guru olahraga. Indra nggak masuk. Kalau Jansen entahlah ke mana itu bocah—nggak usah diharapkan banget. Paling jam segini duitnya sisa goceng. Gue doang yang bisa lo andalkan sekarang,” suara gue meninggi.
“Emang Indra ke mana?” tanyanya lagi.
“Sakit,” jawab gue cepat.
Juni berkacak pinggang. “Lo nggak ikutan sakit?”
Gue menyeringai gemas. “Lo doain gue sakit?”
“Nggak, sih. Tapi, kan, anak kembar biasanya begitu.”
Gue menggeleng tak setuju dengan ucapannya. “Gue berbeda.” Lalu kembali fokus pada inti permasalahan. “Jadi pinjam duit nggak?”
Juni terlihat berpikir dengan otak yang IQ-nya setara dengan tahun kelahirannya. Bisa gue dengar suara perutnya sudah meraung minta diisi makan. Gue yakin ia akan menurunkan egonya demi mengisi perutnya. Karena gue tahu Juni paling tidak bisa menahan lapar. Sebenarnya ini semua hanya alibi gue untuk minta didokumentasikan. Gue hanya ingin menghabiskan waktu berdua bersama Juni.