“Assalamualaikum, Juni,” sapa Bu Yeni disertai dengan menatap Bang Jan yang duduk di sebelahku. “Bang Januar, Ibu ada?”
Bang Januar auto gelagapan. “Ada, Tan. Ada perlu apa? Biar Juni yang panggilin Ibu.” Kampret. Masih saja menyuruhku padahal aku sedang berkutat dengan cermin dan pencetan jerawat di tanganku.
“Kiara mau pinjam widangan buat tugas menyulam. Ibu masih punya nggak ya, Jun?” tanya Bu Yeni menatapku.
“Ada kayaknya,” ucapku menebak-nebak. “Masuk aja, Tan. Ibu ada di dalam, kok.” Aku langsung berdiri mengantar Bu Yeni dan Mbak Kiara ke dalam rumah.
Mbak Kiara tersenyum sopan menatapku dan Bang Jan. Hanya saja Bang Jan terlihat salah tingkah di depannya. Dari tadi kuperhatikan ia merapikan rambutnya terus di depan Mbak Kiara. Perlu diketahui, Mbak Kiara sekarang kelas tiga SMA di mana usianya satu tahun di atas abangku.
“Jun, kamu lagi jerawat? Jangan dipencet ya. Nanti jadi infeksi dan menghitam. Habis ini kamu ikut aku ke rumah aja. Aku punya obat jerawat buat ngempesin jerawat kamu.” Mbak Kiara begitu perhatian kepadaku. Tak heran jika dirinya dijuluki bidadari Gardenia karena kecantikan dan kebaikannya.
Tak lama Mbak Kiara udah membawa widangan milik Ibu. Diajaklah aku menuju rumahnya. Sebelum langkah kakinya menjauh, Mbak Kiara menatap Bang Jan. “Jan, makasih ya. Pinjam dulu widangannya,” balas Mbak Kiara sambil mengangkat widangan milik Ibu.
Wajah Bang Jan auto memerah seperti jerawatku. Bang Jan salah tingkah. Tampak malu-malu tahi kucing menatap mata Mbak Kiara. Ia tersenyum singkat. Baru kali ini aku melihat Bang Jan menjadi kikuk di depan perempuan.
Saat aku mengikuti Mbak Kiara ke rumahnya, tiba-tiba Mas Angkasa memanggilku. Rencananya pada hari Minggu nanti, keluarganya akan mengadakan acara syukuran atas kepindahan mereka ke Cluster Gardenia. Mas Angkasa berharap Mbak Kiara mau datang ke acaranya. Hal itu membuat pipi merah Mbak Kiara kian merona. Mereka berdua asyik mengobrol sendiri sampai-sampai kehadiranku di sini bagaikan obat nyamuk di antara mereka. “Ehm,” aku terpaksa pura-pura batuk agar aku bisa keluar dari basa-basi ini.
“Yuk, Jun.” Barulah Mbak Kiara ingat keberadaanku dan berpamitan ke Mas Angkasa. “Mas, aku duluan ya,” ujarnya tersenyum, bahkan saat berada di rumahnya pun Mbak Kiara masih mengulas senyum lebarnya itu.
Rumah Mbak Kiara berdesain modern klasik dengan pilar-pilar ala Yunani kuno yang mampu menopang besarnya bangunan serta semua cat dindingnya putih mendominasi. Rumah Mbak Kiara termasuk rumah yang jarang disambangi para tetangga. Tidak seperti rumahku yang dikit-dikit ada saja warga yang mampir. Mungkin karena penghuni di rumah ini hanya berjumlah tiga orang, yakni Bu Yeni, Om Abidin, dan Mbak Kiara saja. Makanya rumah ini terlihat sepi.
Ketika aku memasuki kamarnya, aku disambut oleh campuran aroma bunga dan cokelat yang memanjakan indra penciumanku. Kamarnya begitu indah bak kamar tuan puteri. Ada satu etalase khusus berisi boneka Barbie dan segala perintilannya. Di sebelah meja belajarnya terpampang banyak poster film dan musik. Poster yang paling besar adalah poster Wetlife. Rupanya selera musiknya sama seperti Bang Jan.
Mbak Kiara memberikanku obat totol jerawat. Ia membantuku mengolesi obat tersebut ke dahiku. Ada sensasi dingin setelah lima detik saat salepnya menyerap. Di saat ia merapikan meja riasnya, tiba-tiba aku teringat sesuatu saat di teras tadi.
“Mbak Kiara suka ya sama Mas Angkasa?” tanyaku spontan hingga membuat Mbak Kiara tersedak otomatis.
Wajah Mbak Kiara merah padam disertai dengan tawa yang lepas. Bahkan baru kali ini aku melihat tawanya setelah sekian lama kami bertetangga. Aku jadi takut. Apa aku salah omong?
“Ketahuan banget ya, Jun?” Mbak Kiara sambil memegang kedua pipinya.
Aku mengangguk. “Berarti benar ya, Mbak?” tanyaku bersemangat.
Mbak Kiara mengangguk pelan. “Iya, Jun. Tapi, kamu diam-diam aja, ya. Aku malu,” ucapnya setengah panik.
Aku memberikan simbol dua jempol. Aku ikut senang, rupanya bukan hanya aku aja yang menyukai tetangga sendiri. Mbak Kiara pun sama persis denganku. Ternyata aku memang pantas disebut cenayang cinta. Walaupun aku belum pernah pacaran, setidaknya aku memiliki kemampuan hebat dalam mengenali wajah orang yang sedang dimabuk asmara.
Setibanya di rumah, Bang Jan langsung menarik tanganku menuju kamarnya. Cengkeramannya sakit sekali hingga aku menggertak kesal. Bang Jan melepaskan cengkeramannya. Mengelus tanganku dengan gerakan pelan sambil ditiup-tiup.
“Lo ngapain aja di rumah Kiara?” tanya Bang Jan menginterogasi.
Alisku naik sebelah. Tumben sekali Bang Jan tanya seperti itu. Biasanya ia akan masa bodoh jika aku bermain di rumah siapa pun. “Mau tahu aja atau mau tahu banget?” godaku yang langsung disentil jidatku oleh Bang Jan.
“Gue serius, Jun.” Suaranya mampu membuatku bergidik.
Bang Jan mengetuk kepalaku dengan jemarinya. Wajahnya serius. “Lo tahu nggak Kiara udah punya pacar atau belum?”
Aku menggeleng. “Nggak tahu. Kenapa emang?” tanyaku balik.
Bang Jan tidak menjawab pertanyaanku. Ia membungkam. Aku juga tidak mau memberitahukan Bang Jan kalau Mbak Kiara menyukai Mas Angkasa. Aku sudah berjanji untuk tutup mulut. Janji adalah janji.
“Sebenarnya sejak SMP gue udah suka sama Kiara. Tapi anaknya susah dideketin. Sejauh ini yang gue lihat cuma lo doang yang bisa deketin dia. Bantuin gue dong.” Bang Jan memohon kepadaku dengan tatapan memelas.
“Nggak mau, ah.” Cepat-cepat aku membantahnya. “Bukannya banyak yang suka sama lo di sekolah? Kenapa harus Mbak Kiara?” timpalku kesal karena tidak mau kakak perempuanku mendapatkan pacar yang menyebalkan seperti Bang Jan.
Bang Jan bersikeras. “Nggak ada. Gue cuma suka Kiara.”
“Teman sekelas gue banyak kok yang suka sama lo. Mau gue kenalin nggak?” Aku masih bersikukuh agar Bang Jan tidak mendekati Mbak Kiara.
Bang Jan menyeringai ketus. “Nggak!” Ia berkacak pinggang. “Nggak usah aneh-aneh. Teman-teman lo nggak ada yang waras. Modelannya alay bopung kayak lo. Ogah gue,” cibir Bang Jan.
“Sialan!” aku menendang paha Bang Jan.
“Serius gue. Bantuin cari tahu apa yang Kiara suka. Nanti gue kasih imbalan, deh.” tawar Bang Jan lagi.
IMBALAN. Satu kata yang memiliki makna samar. Bisa makna yang baik maupun makna yang buruk. Seperti kotak pandora yang isinya sulit ditebak. Harus diketahui, Bang Jan adalah orang yang sangat licik. Ia pandai mengelabuiku. Ia sering menyuruhku melakukan sesuatu sesuai keinginannya, seperti misalnya menyalin catatan tugas milik buku temannya. Katanya aku akan diupahi pulsa lima puluh ribu. Ketika catatan sudah disalin ulang, ia hanya mentransfer pulsa lima ribu kepadaku. Ia tidak mau rugi. Selama dua minggu aku tidak mau berbicara dengannya. Hingga suatu hari aku dibelikan es krim yang lewat depan rumah. Dan akhirnya kami berdamai.
“Nggak! Udah hafal gue sama kibulan lo!” jawabku menggertak.
“Janji gue. Lo mau apa? Nanti gue beliin, deh. Sumpah!” ucap Bang Jan sambil menyatukan kedua tangannya dan terus memohon dengan erat.
Aku menghela napas panjang. Tiba-tiba sebuah ilham memasuki rongga kepalaku. Aku tersenyum licik dengan ide cemerlang ini. Dengan cepat aku berlari ke kamar dan mengunci pintu kamar. Mencari buku tulis kosong dan montase wajah Choi Siwon yang kusimpan di meja belajar. Aku mulai menuliskan sebuah surat perjanjian hitam di atas Choi Siwon—bukan hitam di atas putih. Harap maklum, aku tidak memiliki materai di rumah. Jadi kugunakan wajah Choi Siwon sebagai saksi di antara perjanjianku dengan Bang Jan.
Aku mulai menuliskan poin-poin penting keinginanku. Sebenarnya aku sudah tahu siapa yang Mbak Kiara sukai. Tentu saja Mas Angkasa. Tapi, mana mungkin aku langsung mematahkan hati abangku yang telah lama memendam rasa kepada Mbak Kiara? Lagi pula Bang Jan hanya memintaku untuk mencari tahu apa yang Mbak Kiara suka. Dia tidak menyuruhku untuk menanyakan orang yang Mbak Kiara suka. Semua akan aman. Cepat-cepat aku memberikan perjanjian ini kepada Bang Januar.
“Apaan, nih?” tanya Bang Jan bingung.
“Daftar keinginan gue untuk imbalan yang udah lo janjiin ke gue. Baca dulu!” daguku mengarah ke buku di depanku.
Perjanjian antara Juni dan Bang Januar