Secara paksa perjanjianku dengan Bang Jan berakhir. Tidak ada lagi es kelapa gratis di sekolah. Aku dan Sere duduk di taman sekolah seraya mencari angin segar. Dari arah pukul tiga, aku melihat Mbak Kiara sedang berjalan ke arah lobi. Pastinya ia akan melewatiku dulu sebelum ia masuk ke kelasnya. Namun ternyata, ia malah menghindariku dengan cepat. Bahkan sama sekali tidak menjawab sapaanku. Aku semakin yakin bahwa sikap dinginnya sekarang pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin.
Aku memberanikan diri bertanya kepada Bang Jan. Melatih vokal suara agar terdengar sopan. “Assalamualaikum, Abang ganteng. Ini adikmu Juni mau masuk.”
“Ngapain lo? Gue masih marah ya sama lo,” jawabnya ketus.
Aku memaksakan diri masuk ke kamarnya. “Maaf ya, Bang,” ucapku menunduk. “Gue nggak bermaksud buat menghancurkan rencana. Kak Dana kabur juga di luar pengetahuan gue. Dan, soal Mbak Kiara gue baru tahu akhir-akhir ini, kok,” jelasku memelas.
Suaranya mulai melunak. “Iya, Jun.” Tangannya bersedekap. “Lo seharusnya jujur dari awal. Yang bikin gue marah kenapa lo nggak terus terang sama gue?”
Aku menggaruk leher. “Gue nggak mau bikin lo terluka di awal, Bang.”
Bang Jan mendesis. “Bukan karena es kelapa gratis?”
Aku meringis. “I-itu juga termasuk, sih.” Berkedip cepat. “Tapi setidaknya lo bisa tahu apa yang Mbak Kiara suka, kan,” ucapku membela diri.
Bang Jan tak bisa mengelak. “Kiara udah duluan ngajakin Mas Angkasa untuk nonton Ne-Yo,” ujarnya pelan. “Tapi, sama Mas Angkasa langsung ditolak.” Bang Jan menaikkan alisnya satu tingkat. “Setelah Dana berhasil kabur lewat jendela, Mas Angkasa udah nggak konsentrasi lagi. Pikirannya ke Dana terus. Sampai-sampai pas Kiara manggil namanya, Mas Angkasa malah salah sebut nama Kiara menjadi Dana. Dari situ mungkin Kiara kecewa dan memilih untuk diam sampai pulang.”
Aku mengerti. “Terus lo nggak coba hibur Mbak Kiara?”
“Udah. Tapi, tetap aja dia nggak fokus sama ucapan gue.” Bang Jan menatapku serius. “Gue juga sempat nanya mengenai perasaannya itu. Kiara bilang, dia udah suka lama sama Mas Angkasa.” Napas Bang Jan menderu. “Gue jadi ragu untuk maju PDKT atau mundur demi membiarkan Kiara merasakan cintanya ke Mas Angkasa. Ya, meskipun gue sebenarnya udah bisa nebak kalau Mas Angkasa nggak suka sama dia.”
“Jangan menyerah, Bang. Coba dulu aja. Barangkali Mbak Kiara bisa luluh sama lo,” ucapku menyemangati. “Gue dan Gapreters siap membantu, kok.”
Bang Jan memukul dahiku dengan pulpen. “Bisa rusak rencana gue kalau lo sampai ikut campur.” Kembali ke mode galak. “Dah, sana lo keluar. Ganggu gue aja.”
Di saat aku keluar dari kamar Bang Jan, tiba-tiba Dik Ta menyeret ujung bajuku. Ia mengajakku duduk di karpet depan TV sambil membetulkan lego yang kemarin aku rusakkan. Baru sebentar aku menyusun sebuah menara, tiba-tiba bel berbunyi. Suara dari Galileo. Aku menyuruh Leo masuk untuk menghampiriku di ruang tamu. Ia membawa lima mangkuk kecil berisi salad buah untuk keluargaku. Leo mendekatiku sambil membantu menyusun potongan lego yang berserakan di karpet.
“Bukannya lego ini udah tersusun bangunan ya?” tanya Leo mengingat-ingat.
Dik Ta menatapku sinis. “Iya, cuma kemarin dirusakin Kakak,” ucapnya enteng. Secepat kilat aku langsung menutup mulut adikku agar diam di depan Leo.
Leo terkekeh menatapku dan Dik Ta. “Enak ya, Jun, di rumah lo ramai terus.”