“Bang, pinjam laptop ya buat ngerjain tugas Biologi,” ucapku yang langsung mengambil laptop Bang Jan di atas mejanya.
“Nggak, gue mau pakai habis ini. Lo ke warnet aja sana,” balasnya enteng dengan mengambil kembali laptop yang sudah kudekap.
“Bentar doang, cuma ngetik dari buku paket.” Aku menengok ke jendela. “Di luar juga hujan,” ucapku menunjuk jendela.
“Ya udah, jangan lama-lama,” balasnya.
Aku mendengus kesal. Dulu Bapak bilang laptop ini untuk kami berdua. Tapi nyatanya, setiap kali aku pinjam, Bang Jan selalu saja melarang. Banyak alasannya. Dan setiap kali aku mengadu ke Ibu atau Bapak, jawaban mereka juga sama sekali tak membantu, justru tak mengenakan hatiku. Mereka menyuruhku berhati-hati agar laptop tak cepat rusak. Aku paham kok, kalau laptop ini mahal. Aku juga sadar kalau aku anak yang ceroboh. Tapi, hanya menyentuh papan ketik tidak akan membuat laptop itu menjadi rusak, bukan? Apa yang mereka takutkan? Seakan-akan aku perusak segalanya. Itu yang aku tak suka dari mereka. Jika bukan karena hujan, aku juga tidak akan meminjam laptopnya. Lebih baik memakai laptop Gapreters atau pergi ke warnet sekalian.
Ibu melihatku membawa laptop Bang Jan. “Kamu udah minta izin sama abangmu, Kak?” tanya Ibu khawatir. “Kalau lagi dipakai jangan sambil dicas ya. Bawa pendingin laptop-nya biar nggak cepat panas.”
“Iya, iya, Bu,” sahutku setengah emosi.
Dengan segera aku menyalin tugasku agar laptop sialan ini bisa segera dikembalikan. Tak lama terdengar suara Ibu berteriak cemas. Aku mendekati suara yang berada di kamar Dik Ta. Ibu panik bukan kepalang melihat suhu tubuh Dik Ta mencapai 38 derajat Celcius. Badannya menggigil ditambah batuk pilek tiada henti. Dengan cepat Ibu mengompres air hangat di atas dahi dan lipatan ketiak adik agar suhu tubuhnya menurun.
“Bu, mulut Adik pahit,” ucap Dik Okta sambil menunjukkan lidahnya.
“Iya, Nak. Nanti ke dokter, ya. Sekarang makan dulu, ya,” pinta Ibu.
Dik Ta menggeleng. Ia terus menunjuk lidahnya yang pahit. Ibu semakin cemas. “Kamu kemarin main hujan-hujanan, ya? Atau jajan sembarangan?”
“Enggak, kemarin Adik di rumah aja,” jelas Dik Ta dengan suara serak. Ia berusaha mengingat-ingat. “Kemarin dari rumah Bang Indra, Kakak Juni kasih Adik soda enak, Bu.”
Ibu langsung memicingkan bola matanya mengarahku. “Benar, Kak? Kemarin kamu kasih minuman apa?”
“Es krim McFlurry dari rumah Indra,” ucapku mengingat-ingat. “Sama Pepsi,” berjeda, “Adik sendiri yang minta.”
Bola mata Ibu mulai berapi-api. “Kenapa asal kamu kasih sih, Kak? Kamu kan tahu adik kamu nggak bisa minum soda. Bisa jadi radang. Fisik Adik nggak sama kayak kamu. Teledor banget jagain adiknya,” suara Ibu meninggi.
Dan secara bersamaan Bang Jan berteriak dari kamarku. “Jun, kenapa laptop-nya mati? Kan, tadi kata lo sebentar doang. Duh, mana gue belum ngerjain tugas. Lo gimana sih, bukannya dari tadi dipakai malah keluyuran.”
Lengkap. Semua orang memarahiku. Hanya aku sumber masalah di rumah ini. Aku yang selalu menjadi tumbal amarah mereka.
“Ibu kenapa salahin aku terus? Salahin adik, lah. Udah tahu dia nggak bisa minum soda kenapa masih bandel minta minumanku.” Aku ikut emosi dan mengabaikan ocehan Bang Jan yang ada di kamarku.
“Kamu bisa nggak sih, Kak, nggak menjawab ucapan Ibu? Kamu itu salah. Adikmu itu masih kecil. Kamu itu kakak harus mencontohkan yang baik untuk adiknya. Kamu harus menunjukkan kedewasaan kamu untuk melarang adik kamu minum soda.” Ibu tetap pada pendiriannya. “Kamu juga sudah SMA, apa-apa masih kayak anak kecil. Kamu nggak kasihan sama Ibu? Mengurus rumah ini sendirian.” Bang Jan memasuki kamar Dik Ta sambil membawa laptop. Ia mengamati sekitar. “Laptopmu kenapa, Bang?” tanya Ibu dengan suara lunak.