Jansen
“Jansen nggak mau masuk kedokteran, Pa, Ma. Jansen nggak pintar. Kalian tahu itu,” gue protes di meja makan saat orangtua gue sibuk membahas masa depan yang menurut gue masih lama.
“Pokoknya, Sen. Kamu harus tetap masuk IPA di kelas 2 dan ambil jurusan FK di UI atau kalau perlu di Johns Hopkins kayak Ervan.” Papa masih tetap pada pendiriannya. Sementara Mama hanya bisa bungkam menuruti ucapan suaminya. “Papa sudah siapkan segalanya untuk kamu. Soal biaya pendidikan kamu nggak perlu khawatir. Kamu masih bisa mengejar keterlambatan kamu dengan bimbel. Papa bisa carikan guru privat terbaik di kota ini asalkan kamu mau untuk berusaha.” Papa meletakkan sendok dan menyudahi makan malamnya. “Hanya kamu seorang yang akan menjadi penerus Papa di ortopedi. Papa hanya ingin melihat kamu berhasil di masa depan.”
Gue menyeka air mata yang mengalir di sudut mata. Bukan masa depan seperti ini yang gue harapkan. “Kenapa harus aku, sih, Pa? Kenapa bukan Kak Dana? Kalian semua tahu, kan, kalau kakak lebih pintar dibandingkan aku. Kak Dana bisa dapat apa yang dia mau. Kenapa aku nggak boleh?” suara gue parau meninggi. “Pa, aku juga punya keinginan sendiri. Aku pengin jadi fotografer—bukan menjadi dokter seperti keinginan Papa.”
Raut wajah Papa mulai menegang. Berdiri dari duduk santainya. Matanya tajam tak berkedip. Jujur, gue mulai goyah ketakutan.
“Nak, apa yang kalian hadapi itu berbeda. Percayalah, kami juga sudah berusaha semaksimal mungkin meyakinkan kakakmu untuk masuk kedokteran. Tapi kamu tahu sendiri seperti apa sifat keras kakak kamu. Lagi pula setelah kami pikir ulang, meskipun kakak mengambil jurusan Hubungan Internasional, karier dia tidak akan menghambat masa depan karena nantinya dia bisa menikahi dokter atau lelaki pilihannya. Tapi kamu berbeda, Nak. Kamu satu-satunya anak laki-laki di rumah ini. Dan kamulah nanti yang akan menjadi kepala keluarga. Tombak keberhasilan keluarga kita ada pada diri kamu, Nak,” Papa meneguhkan kedua bahu gue dengan erat.