Hari ini kami disuruh Bu Ningsih untuk menghibur Jansen. Setelah pertikaian dengan orang tuanya kemarin, Jansen lebih banyak mengurung diri di kamar. Meskipun kami semua adalah sahabatnya—kami sepenuhnya tidak berhak mengatur perasaan Jansen yang sedang bersedih. Apalagi ini menyangkut urusan keluarga. Kami tak punya ranah untuk mencampuri masalahnya.
Jansen yang kukenal adalah anak yang super ceria. Selama delapan tahun bersahabat dengannya, aku tahu betul cara menghibur Jansen dikala sedih atau dikala kami sedang bertengkar. Tapi, kasus ini berbeda. Jansen tidak bertengkar dengan kami.
“Jadi gimana?” tanya Leo penasaran. “Bokap lo masih kukuh sama pendiriannya?”
Jansen mengangguk lemas. “Gue disuruh berhenti kelas fotografi.”
“Lo nggak mau coba dulu jadi dokter? Lagian kalau udah jadi dokter, lo kan masih bisa jadi fotografer,” tambah Indra.
Aku mengangguk setuju. “Emang gaji dokter sama fotografer gedean mana?”
Jansen menggaruk dagu pelan. “Gaji dan tunjangan emang jelas gedean dokter. Tapi, cakupan fotografi luas. Lo bisa kerja ke mana pun.”
Leo berkomentar. “Mungkin Bokap lo belum mengenal banyak soal dunia fotografi makanya dia takut kalau bayarannya nggak sebesar seperti menjadi dokter.”
Jansen bersedekap geleng-geleng. “Gue udah pernah jelasin panjang kali lebar sampai mulut gue berbusa. Tetap aja Bokap gue berpegang teguh sama pendiriannya. Harga diri Bokap gue tinggi kalau soal jabatan. Dia nggak mau kalau keturunannya nggak ada yang jadi dokter. Prinsip Bokap gue adalah semua anggota keluarga harus patuh sama ucapannya. Itu yang susah.” Jansen masih melanjutkan ceritanya, “Dan lagi Tante Mitha, adik Papa, dulu pernah menentang Kakek gue untuk jadi dokter. Sama persis kayak Kak Dana. Tante Mitha ingin jadi pengusaha makanan kecil, tapi selang dua tahun usahanya gagal dan bangkrut. Nggak lama Tante Mitha dijodohin sama calon pilihan Kakek yang juga berprofesi dokter. Maka dari itu, Bokap nggak terlalu memusingkan Kak Dana kalau dia nggak mau jadi dokter. Ada kemungkinan dia bisa menikah dengan dokter. Sementara kalau gue nggak jadi dokter, keluarga Bokap akan menganggap keluarga gue sebagai keluarga yang gagal.”
Setelah mendengar keluh-kesah Jansen, aku tersadar bahwa selalu ada pengorbanan antara anak dan orangtua. Anak menginginkan kebebasan atas dirinya, sementara orangtua menginginkan kehidupan anak bisa terjamin lewat caranya. Aku bisa mengerti akan apa yang Jansen alami. Usahanya selama ini, tak pernah cukup di mata orangtuanya. Keegoisan Papanya seakan-akan membuat Jansen hidup bagai tempurung yang dikendalikan orangtuanya. Bapakku bukanlah seorang dokter melainkan hanya seorang pegawai bank biasa. Dengan gajinya yang mungkin tidak sebesar dokter, Bapak mampu menghidupi kami sekeluarga. Dan bersyukurlah, aku tak pernah dituntut untuk menjadi seorang bankir oleh Bapak.
Lantas apakah menjadi dokter adalah pekerjaan turun temurun yang harus diwariskan ke anak cucu? Apakah tak membosankan memiliki profesi yang sama dalam satu keluarga? Atau, apakah mereka hanya beradu kehebatan dan kekuatan di antara keluarga dokter lainnya? Entahlah, aku pun tidak tahu.
Orangtua mungkin tidak sadar jika keegoisan dan kekhawatiran mereka mampu mengubur mimpi dan harapan anak yang sudah mereka harapkan sejak kecil. Anak dituntut untuk patuh agar tidak durhaka. Berjuang untuk membalas jasa yang telah mereka berikan. Mengatakan bahwa pilihan mereka adalah yang terbaik bagi anak. Anak tidak diajarkan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Di saat mereka sibuk menenangkan Jansen yang bersedih, hanya aku yang sibuk menghabiskan camilan yang Bu Ningsih suguhkan untuk kami. Ada ciki, wafer, sampai minuman soda, semua tersedia lengkap di kamar Jansen. Ketika semua makanan hampir habis dan tenggorokanku haus, tanganku meraba mencari segelas pepsi yang aku taruh di atas meja―yang posisi mejanya berada di atas kepalaku persis―dan ketika segelas pepsi itu kuambil, tanpa sadar tangan kananku tergelincir hingga membuat minuman pepsi itu tumpah ke kepalaku, dan bajuku. Hal itu membuat seluruh Gapreters kompak menatapku dan tertawa sekencang-kencangnya. Terlebih Jansen. “Mirip alien biru lo, Jun,” ujarnya enteng.
Tidak sulit untuk menghibur Jansen yang bersedih. Cukup dengan memperlihatkan keapesan temannya, maka ia akan tertawa tanpa beban. Bu Ningsih harus banyak belajar dari kami.
***
Hari ini aku dan Sere akan main ke rumah Mbak Kiara untuk melakukan pembelajaran merias diri yang benar. Sejak kejadian di mal kala itu, aku sadar kalau aku kurang peduli dalam memperhatikan penampilan. Maklum saja Kakakku laki-laki dan Ibuku hanya mengerti dandan ala jadul sehingga aku tidak pernah mendapatkan edukasi merawat diri.
Sebelum langkah kaki ini memasuki teras rumah Mbak Kiara, tiba-tiba si kembar dan Leo memanggilku dari arah jalan utama. Sepertinya mereka mau bermain basket di lapangan. “Mau ngapain lo, Jun?” tanya Andra penasaran.
Aku gelagapan. Jangan sampai mereka tahu aku mau belajar berdandan. Bisa-bisa mereka akan menertawakanku nanti. “Ada perlu.”
Bola mata Sere mengarah pada trio Gapreters. Merasa ada yang kurang dalam personelnya. “Tumben bertiga. Jansen mana?”
“Nggak ikut, Ser. Dia udah mulai ikutan bimbel.”
Aku refleks tertawa kencang. Bagaimana bisa Jansen si manusia setengah otak mengikuti bimbel? Om Dayat ini hanya buang-buang uang saja, batinku. Rupanya hanya aku saja yang menganggapnya lucu di saat yang lainnya sedang bermuram durja memikirkan nasib Jansen. Kemudian aku bertanya. “Dia beneran mau jadi dokter?”
Trio Gapreters kompak mengangguk. Rahangku mendadak kaku. Benar, ini masalah serius. Kasihan Jansen.
Tiba di kamar Mbak Kiara, aku mulai dikenalkan dengan produk-produk pembersih wajah dan make up yang cocok untuk remaja. Mataku terbelalak melihat banyaknya produk kecantikan yang ada di etalase kamarnya. Mbak Kiara begitu sabar merias wajahku dengan tangan lembutnya. Tak heran jika Bang Jan naksir berat dengan Mbak Kiara. Spek kesempurnaannya benar-benar menyerupai spek bidadari.
Sere juga diajarkan bagaimana caranya menata rambut yang benar dengan catokan lurus. Aku adalah umpan percobaan pertamanya. Sere mencoba mengeritingkan rambutku dengan catokan lurus. Meskipun ini adalah percobaan pertamanya, hasil dari tatanannya terlihat sempurna menyerupai hasil dari salon. Serena memang hebat dan bertalenta. Aku bangga padanya.