Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #14

Chapter tanpa judul #13

Aku melihat rombongan mobil pickup yang memasuki area tempat tinggalku. Aku menebak-nebak. Bisa jadi sebentar lagi akan ada tetangga baru. Aku mengikuti mobil itu mengarah. Tibalah pada unit Blok B Nomor 3—yang berarti sebelah rumah Mbak Kiara—dan berseberangan dengan rumah Jansen. Rumah milik Pak Suhendra yang sengaja diinvestasikan untuk masa depan anaknya. Rumah itu memang sering dikontrakkan agar tidak terbengkalai. Dan syukurlah, setelah dua tahun tak berpenghuni akhirnya rumah itu terisi lagi sekarang. 

Aku mengintip-ngintip dari depan carport. Melihat para petugas sedang repot mengangkat barang-barang yang ada. Aku melihat sebuah kotak kardus besar berisi mainan anak-anak. Mungkin si pemilik rumah ini memiliki anak kecil. Semoga saja anaknya sepantaran dengan adikku.

“Jun, lo udah kenalan sama tetangga baru?” tanya Jansen.

Aku menggelengkan kepala—menatap balik Gapreters, “Kalian semua udah?”

Jansen menggeleng. “Berarti cuma Leo dan Indra yang kenalan.” Bola matanya mengarah pada Indra. “Emang benar In, kalau anaknya sepantaran sama kita?”

Indra menggeleng cepat. “Gue belum kenalan. Cuma nebak-nebak aja. Nih, lo tanya Leo. Dia yang sempat ngobrol sama itu cewek.”

Jansen menyeringai. “Kok, lo sekarang jadi buaya, Le?” sindir Jansen.

Leo memukul bahu Jansen. “Emangnya gue itu lo.” Leo melempar bola basket mengenai bahu Indra. “Gara-gara teman lo lempar bola kejauhan, gue yang disuruh ambil bolanya. Untung aja bolanya nggak kena kaca mobil.”

Indra terkekeh. “Sori, Le. Overhead pass gue tinggi banget.”

“Terus kalian kenalannya gimana?” Jansen masih penasaran.

“Nggak kenalan. Gue cuma minta maaf aja karena lemparan bola Indra yang kekencengan,” sahut Leo datar.


***


“Permisi, saya tetangga baru yang menempati rumahnya Pak Suhendra. Ibunya ada?” ucap wanita paruh baya dengan rambut bob berwarna cokelat. Wanita itu datang bersama dua orang anaknya. Aku mengamati anak perempuan di sebelahnya. Semua ciri-cirinya persis seperti apa yang diceritakan Jansen tadi. Ia memiliki paras yang cantik, rambutnya hitam panjang dan bulu matanya sangat lentik. Di sebelahnya ada anak laki-laki berkulit putih dengan rambut yang seperti landak (berdiri-berdiri). Bola matanya mirip sekali dengan Mamanya. 

“Ada, silakan masuk.” Aku langsung memanggil Ibu yang berada di lantai dua. Bertemulah mereka dan saling bersapa. 

“Perkenalkan, Bu, nama saya Vina. Tetangga baru blok B3.”

“Oh, yang nempatin rumah Pak Suhendra, ya? Kenalkan juga, nama saya Septi.” Lalu melihat dua anak Bu Vina. “Anak-anak Bu Vina sudah kelas berapa?” 

Bu Vina memperkenalkan dua anaknya. “Artisha anak pertama saya dan Kevin anak bontot saya.”

Ibu melihat mereka dengan sorot mata tersenyum. “Papanya nggak diajak sekalian ke sini? Atau lagi kerja ya?”

Bu Vina tersenyum paksa. “Kebetulan saya single parent, Bu. Anak-anak tinggal dengan saya.” Bu Vina berusaha bersikap sopan. “Anak Ibu cuma satu ini? Siapa namanya? Sepertinya umurnya nggak jauh beda dari Tisha.”

Ibu menggigit bibirnya malu. “Maaf ya, Bu, kalau saya nggak sopan.” Ibu langsung mengganti topik seraya memegang bahuku. “Ini anak kedua saya namanya Juni. Dia kelas 10. Kalau si sulung namanya Januar. Dia kelas 11. Dan si bungsu namanya Okta. Dia kelas 1 SD. Mereka semua bersekolah di tempat yang sama—di Nusantara Indah. Kalau anak Bu Vina sekolah di mana?”

“Santai saja, Bu. Lagi pula Ibu kan baru berkenalan dengan saya. Wajar kalau bertanya.” Bola mata Bu Vina berbinar menatapku. “Pas sekali dengan Tisha dan Kevin.” Bu Vina mengelus lengan Tisha seraya menatapku. “Kalau ada pelajaran yang tertinggal, bolehkah kalau Tisha bertanya dengan Nak Juni?”

Aku menggaruk kepala. Bukan karena tidak boleh. Tapi, aku sendiri juga jarang mencatat. Aku tersenyum kecut, “Boleh aja, Tan.”


***


“Juni,” teriak seseorang seraya melambaikan tangan kanannya. Adalah Tisha yang sedang berlari ke arahku untuk berangkat sekolah bersama. Aku terfokus pada tas yang dikenakannya. Ia memakai backpack Elle yang pernah kutaksir kala itu. Andai Ibu membelikanku backpack seperti itu, mungkin aku juga akan terlihat keren seperti dia. Tisha melihat jepit bulu-bulu yang kupakai. “Jepit lo bagus, Jun,” pujinya, kemudian menatapku. “Lo kelas berapa, Jun?” 

“Gue kelas X-4. Kalau lo, Tish?”

Teriakan Tisha mampu mengagetkanku. “Asyik, kita sekelas dong.” Kemudian ia mencengkeram bahuku. “Oh iya, Jun, lo kenal nggak sama—”

Belum selesai ucapan Tisha terucap, terdengar langkah suara sepatu Gapreters mendekat ke arah kami. “Tumben lo nggak telat, Jun,” ucap Jansen yang kini tatapannya mengarah pada Tisha. “Ini tetangga baru kita ya, Jun?” Jansen merapikan rambut mangkuk-nya. Kemudian mengulurkan tangannya ke arah Tisha. “Nama gue Jansen. Nama lo siapa?”

Aku langsung menggetok kepala Jansen. “Cepat amat lo kalau urusan cewek. Sana lo,” usirku yang langsung dicekik oleh Jansen untuk diam. Seperti biasa andalanku adalah mendorong siku lengan ke belakang agar cekikan ini merenggang.

Tisha hanya tersenyum ringkas. Jemarinya refleks menunjuk ke arah seseorang. Antara Leo atau Indra—aku tak tahu—karena mereka bersebelahan. Jansen masih menunggu uluran tangan Tisha untuk membalas jabat tangannya. Tapi sayangnya, Tisha langsung mengulurkan tangannya ke arah Galileo. “Nama gue Artisha. Nama lo siapa?” ucap Tisha yang membuatku dan Gapreters lainnya terdiam.

Leo menatap tangan lentik Tisha. Kemudian menatap wajah Tisha sepersekian detik. “Leo.” ucapnya datar yang kemudian langsung berjalan ke area sekolah seraya merangkul bahu Jansen. 

Lihat selengkapnya