Artisha
Gue dan keluarga mencoba memulai hidup baru di Cluster Gardenia. Rumah ini akan menjadi saksi kehidupan kami tanpa ada sosok Papa yang menemani. Kami akan membuktikan bahwa kami bisa hidup bahagia tanpa kehadiran Papa.
Papa telah banyak memberikan luka dan trauma kepada kami semua, terutama gue dan Mama yang banyak merasakan kekejaman dari Papa. Gue berdoa di dalam hati semoga gue bisa diberikan kebahagiaan dan kenyamanan selama tinggal di Gardenia. Sesaat setelah doa singkat itu terucap, tiba-tiba ada sebuah bola basket melambung tinggi ke arah carport rumah.
Bukannya lari menghindar, gue malah sok-sok berusaha menangkis lemparan bola dengan kedua mata terpejam. Tapi anehnya, saat bola mata gue terpejam, gue malah merasakan sesuatu yang teduh. Gue tidak mendengar pantulan suara bola. Alis gue mendadak bertaut dan pelan-pelan membukakan mata.
Gue terkejut dan hampir tersandung melihat seorang anak yang sepertinya sebaya dengan gue berdiri di hadapan gue dengan berusaha melindungi gue dari lemparan bola tersebut. Anak laki-laki itu tinggi sekali sampai rasanya gue tidak bisa melihat matahari dari jarak pandang gue. Gue mendadak terkesima dengan wajahnya yang berkarisma.
“Lo nggak apa-apa, kan?” suaranya berat dan panik melihat kondisi gue.
Entah kenapa badan gue mematung. Pipi gue rasanya seperti kompor gas. Panas dan mungkin saja sekarang berubah merah. Gue hanya mampu mengangguk. Namun, tak butuh waktu lama, ia pergi meninggalkan gue tanpa sepatah kata pun. Dan bodohnya gue tidak sempat berterima kasih atau bertanya siapa namanya.
Menjadi warga baru berarti harus siap berkeliling dari rumah ke rumah untuk berkenalan dengan tetangga baru. Dimulai dari rumah Bu Yeni, Bu Rita, Bu Ningsih, Bu Lia, sampai Bu Septi. Mereka semua terlihat baik dan ramah kepada gue dan adik.
Gue bertemu dengan satu tetangga yang sepantaran dengan gue. Juni namanya. Gue menatapnya tanpa henti. Dia memang cantik, tetapi gue rasa masih cantikan gue. Dia seperti punya sinar yang tidak pernah gue miliki. Dia terlihat ramah dan cepat sekali akrab dengan siapapun termasuk adik gue. Sepertinya Juni adalah orang yang baik. Dan gue ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Selama ini gue tidak tahu rasanya memiliki teman atau pun sahabat. Gue selalu merasa mereka akan pergi meninggalkan gue—sama seperti Papa yang meninggalkan gue demi orang lain.
“Woy, Jun,” gue ikutan nengok saat nama Juni dipanggil dari belakang.