Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #16

Chapter tanpa judul #15

Hari ini rumah si kembar begitu berantakan. Ada banyak setelan pakaian dan perlengkapan harian yang terkapar di atas sofa dan karpet. “Mami mau ke mana?” tanyaku kepada Mami Rita.

Belum sempat Mami Rita menjawab, Om Sulaiman datang mendekati. “Kami mau ke Bali, Jun. Kamu mau ikut nggak?” tawarnya basa-basi.

Aku menggeleng pelan. “Ada acara apa, Om? Si kembar juga ikut?”

“Si kembar biar di rumah aja. Mami sama Om ada acara opening villa baru di Jimbaran. Paling kami hanya seminggu di sana. Titip jagoan Mami ya, Jun.”

Mami Rita ini bisa dibilang ibu keduaku di Gardenia. Jika aku punya masalah, Mami Rita selalu menjadi pendengar yang baik. Mami juga sering mengajakku ke mal atau supermarket untuk berbelanja. Beruntung sekali si kembar memiliki Mami yang ceria dan royal. Andai Mami Rita punya satu anak perempuan lagi, pasti keluarga mereka akan lebih berwarna seperti keluargaku.

Om Sulaiman adalah seorang pengusaha tour travel yang memiliki banyak cabang di Indonesia. Tidak hanya menyediakan penyewaan bus dan pemesanan tiket penerbangan atau pun umroh, kini bisnis Om Sulaiman merambah pada bidang properti villa. Jadi, bisa dibayangkan, bukan, ketimpangan antara uang sakuku dan si kembar seperti apa? Tapi, bisa dibayangkan juga seberapa waktu mereka bisa bertemu dengan orangtuanya. Ya, semua memang tentang cara bersyukur atas apa yang telah kita dapatkan. Aku tidak akan pernah iri akan hal itu.

“Juni mau dibawain apa?” tanya Mami Rita sambil menutup kopernya.

Senyum di wajahku mengembang. Cepat-cepat aku berpikir oleh-oleh apa yang menarik selain kaus barong dan sandal Krisna khas Bali. “Pie susu sama gelang yang ada mutiara atau kerang gitu, Mi,” ucapku dengan mata berbinar.

Tak lama terdengar suara langkah sandal memasuki rumah, tanpa menoleh pun aku bisa tahu siapa pemilik suara sandal itu. Siapa lagi kalau bukan Indra. Aku bisa hafal dari suara langkahnya yang suka menyeret sandal. Langkahnya diikuti oleh Andra dari belakang.

“Mami jadi berangkat sekarang?” tanya Indra mencemaskan. Ia menatapku heran. “Lo ngapain, Jun?”

Daguku terangkat mengarah pada Andra. “Mau pinjam buku catatan Andra.”

Kening Andra mengernyit. “Bukannya udah lo pinjam dari kemarin?”

Aku mengangguk. “Iya, buku gue ketumpahan air minum Tisha tadi.”

Terlihat Om Sulaiman dan Mami Rita siap untuk berangkat. Semua barang-barangnya telah dimasukkan ke dalam mobil. Mami Rita memberikan kecupan hangat kepada anak kembar tercintanya. Kemudian ia juga mencium keningku. “Jun, Mami titip si kembar ya. Kalau mereka berantem di rumah, jewer aja telinganya,” ucap jahil Mami Rita. “Nanti Mami beliin pesanan Juni. Oke, sayang?”

Aku mengacungkan dua jempol semangat kepada Mami. Sementara Andra dan Indra kompak sinis menatapku. “Pesan apaan lo ke Nyokap gue?” Tanya Andra.

“Ada, deh,” balasku dengan menjulurkan lidah.

Mami Rita membuka separuh kaca mobilnya. “Nak, Mami sama Papi berangkat dulu, ya. Doakan kami selamat sampai tujuan,” ucap Mami Rita yang masih rindu. “Jangan lupa makan teratur. Mami sudah masakin kesukaan kalian. Nanti tinggal dihangatkan aja. Kalian nggak usah bersih-bersih, nanti ada Bi Ijah yang bantu cuci baju sama bersihin rumah. Mami cuma seminggu aja, kok.” Mami Rita mengulurkan kedua tangannya keluar dari jendela. Tangannya sengaja dibentangkan untuk memeluk anak tercintanya. Indra membalas pelukan Maminya dengan hangat dan cepat. Lain halnya dengan manusia kulkas alias Andra. Aku perlu mendorong badannya dulu agar ia mau membalas pelukan Maminya itu. 

Mobil BMW X5 hitam mengkilap itu berjalan menjauh dari penglihatan kami. Di saat itulah Indra menghadang langkahku. “Lo minta kaus barong lagi ya, Jun?”

“Kagak. Masih ada di rumah,” balasku singkat. Aku mengejar langkah Andra dan mengingatkannya kembali soal peminjaman buku catatan. 

Andra keluar dari kamarnya. “Jam 7 malam udah harus dikembalikan,” ancamannya mampu mengejutkanku. “Kalau sampai telat balikin, gue nggak bakal pinjamin lagi. Ngerti nggak?” 

Aku mengerucutkan bibir kesal. “Iya, iya. Bawel.” Sebelum aku pulang untuk menyalin bukunya, aku berniat melampiaskan dendam kesumat ini kepada Andra. Aku menginjak kakinya dengan kencang dan berlari meninggalkan rumahnya. “Gue nggak janji bisa kelar malam ini,” ucapku memasang wajah jelek di depan Andra.

Andra meringis kesakitan. Tapi ia masih bisa berlari untuk mengejarku. Hampir saja lengan bajuku tercengkeram olehnya. Dengan cepat aku tepis dan mengunci pintu rumahku. Aku berlari menaiki lantai dua dan melihat gerak-gerik Andra dari balkon rumahku. “An, 1 - 0. Gue nggak takut sama ancaman lo,” ledekku kepada Andra.

Bola mata Andra langsung mengarah ke balkon––sudut bibirnya meninggi––tangan kanannya sengaja dikepal ke arahku. “Awas lo, Jun. Gue jitak kalau ketemu.” 

Bola mataku menyipit melihat tulisan Andra yang kecil-kecil. Percuma saja aku meminjam jika tidak bisa mengerti bentuk tulisannya. Alhasil aku harus ke rumah Andra lagi untuk bertanya. Sebelum langkah kakiku mengarah ke rumahnya, aku mendapati sepasang sandal hitam Havaianas di teras rumah Leo. Bisa kupastikan jelas bahwa sandal itu adalah milik si kembar.

Aku mengetuk pintu rumah Leo dan melihat Bunda Lia sedang melakukan senam aerobik di rumahnya. Instrukturnya berasal dari kaset VCD yang entah ia beli di mana. “Ayo, Jun, ikut Bunda senam,” ajaknya sambil merentangkan kedua tangannya.

“Nggak, deh, Bun. Aku mau main saja di sini. Anak-anak ada di dalam, kan?”

Lihat selengkapnya