Jansen
“Pa, ampun, Pa,” gue memohon-mohon Papa untuk melepaskan jewerannya di telinga gue. Sakit banget rasanya sampai telinga gue merah panas.
Gue ketahuan bolos bimbel di rumah Leo dan Papa mendobrak pintu kamar Leo dengan kencang. Papa menjewer dan menyeret gue di sepanjang jalan tanpa malu dilihat oleh para tetangga.
“Pa, cukup, Pa, kasihan anak kita.” Mama menangis dan berusaha melepaskan gue dari genggaman Papa.
“Kamu itu nggak tegas mendidik anak. Masak ngurus anak aja nggak becus. Jansen bolos dua minggu malah kamu biarin gitu aja. Kamu ngapain aja selama ini?”
Papa menaiki anak tangga dan memasuki kamar gue. Diambillah kamera gue dan dibawanya keluar. Firasat gue mengatakan bahwa Papa akan membuang kamera itu ke tempat sampah―sesuai amarahnya kala itu. Dan ternyata dugaan gue benar. Gue menangis dan memohon-mohon di depan Papa agar ia tidak membuang kamera gue. Sumpah, dada gue. Dan mungkin karena jerit tangis gue yang menggema, membuat Papa mengurungkan niatnya itu. Tapi tetap saja, kamera gue tetap dibanting ke rerumputan teras rumah. Secepat kilat gue berlari dan memungut kamera itu.
“Salahkan Mama saja, Pa. Mama yang lalai kurang mengawasi Jansen.” Mama menggenggam tangan Papa dan masih berusaha membela gue.
“Sen, kamu sabar ya. Biar ini jadi urusan Mama. Mama akan berusaha bujuk Papa supaya kamu nggak kena hukuman.” Mama berusaha mengejar Papa ke dalam.
Air mata gue tumpah ruah. Gue benar-benar tidak tahu bagaimana caranya melawan Papa. Gue tidak tahu bagaimana caranya memperjuangkan mimpi. Gue tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri semua ini. Gue benar-benar frustasi.
***
Jansen tidak masuk sekolah. Rumahnya terus tutupan sejak insiden kemarahan Papanya terjadi. Kami sangat mengkhawatirkan keadaannya sebab Jansen tidak bisa dihubungi. Ponselnya sengaja dimatikan. Tak ada satu pun mobil terparkir di carport rumahnya. Kemungkinan besar penghuni rumahnya kosong, tapi aku melihat sepasang sandal milik Jansen masih ada di teras rumahnya. Bisa jadi Jansen berada di dalam rumah sendirian. Indra mengetuk pintu rumah Jansen, namun tak ada sahutan. Saat gagang pintu diayunkan, ternyata rumahnya tak terkunci. Di ruang keluarga juga tidak ada Kak Dana atau pun Bu Ningsih. Lantas kami semua langsung berlari menuju kamar Jansen.
“Sen, ini kita datang buat jengukin lo,” Indra mengetuk pintu kamar Jansen.
Secara cepat Jansen membuka pintu kamarnya dan memeluk kami dengan erat. Badannya lemas. Lingkar matanya bengkak menghitam. Ia menangis sejadi-jadinya di depan kami. Kami pun ikut terhanyut dengan kesedihan yang Jansen alami.
Dengan cepat aku membuka isi tas dan mengeluarkan semua makanan yang telah kupersiapkan untuknya. Ada Chitato, Ritz, dan Oreo untuk ganjalan perutnya. Jansen memakannya dengan sangat lahap karena katanya ia sedang melakukan aksi mogok makan semalaman.
“Maafin gue, Sen. Nggak seharusnya gue ngajak lo main PES,” ucap Indra.
Jansen menonjok bahu Indra. “Bukan salah lo, In. Gue bolos karena keinginan gue sendiri, bukan karena hasutan lo atau anak-anak lainnya.”
Leo bertanya cemas. “Terus Bokap lo gimana kemarin? Lo diapain aja?”
Jansen bergeming sesaat. Lalu mengambil sesuatu di nakasnya. Menunjukkan sebuah kamera DSLR Nikon hitam dengan kondisi lensa dan bodi yang pecah parah. Om Dayat sengaja membantingnya di depan mata kepala anaknya sendiri. Rasa sakit hati itu meluap-luap dirasakan oleh Jansen. Kamera itu adalah hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun menabung.
Aku menginterogasi Jansen. “Lo beneran nggak bisa berdamai sama Bokap?”
Jansen menggeleng mantap. Ia menolak berdamai. Bahkan melantur tidak mau bersekolah lagi. Andra refleks menoyor kepala Jansen dengan kuat.
“Lo pikir Bokap lo bakal sedih kalau lo nggak mau sekolah? Jangan tolol dan nekat.” Andra emosi. “Dunia ini bukan sekadar wujudin keinginan lo doang. Lo baru masuk SMA. Perjalanan lo masih panjang. Lo masih bisa nentuin karier setelah lulus.”
“I-iya, Sen. Kasihan Nyokap lo,” aku berusaha menetralkan suasana.
Jansen berapi-api. Ucapan Andra membuat rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya erat. Indra dan Leo berusaha menahan amarah Jansen.
“Ngerti apa lo soal gue? Pernah nggak mimpi lo direnggut habis-habisan dan dipaksa untuk mengubur dalam-dalam sama orangtua lo sendiri? Lo nggak pernah tahu rasanya jadi gue, An! Hidup gue dari kecil selalu diatur Bokap. Setelah lulus, gue disuruh kuliah FK. Gue nggak sepintar lo, An. Gue bego soal pelajaran sekolah. Gue pengin ngelakuin apa yang gue bisa, bukan apa yang orang tuntut. Teori lebih mudah daripada praktik. Dan teori lo nggak sejalan dengan realita hidup gue.”
Keadaan semakin mencekam. Aku, Leo, dan Indra berusaha menengahkan argumen mereka. Menurutku semuanya benar. Andra hanya ingin Jansen tetap waras bersekolah meskipun mimpi-mimpinya direnggut oleh Papanya. Sementara Jansen juga benar untuk terus mempertahankan mimpinya.
Leo menarik napas panjang. “Jawaban kalian itu sama benarnya. Nggak perlu ada yang diributin.” Leo menunjuk wajah Jansen. “Sen, coba lo cerna kata-kata Andra pakai kepala dingin. Pendidikan nggak akan mengkhianati masa depan lo. Meskipun lo nggak bisa meraih mimpi menjadi fotografer, lo masih bisa memiliki ilmu di dalam otak lo selama sekolah. Jangan pernah berpikiran pendek untuk berhenti sekolah. Masa depan lo masih panjang. Dan lo bertalenta soal fotografi.”