Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #18

Chapter tanpa judul #17

Terjadi pemadaman listrik mendadak di Cluster Gardenia. Ketua RT mengatakan bahwa pemadaman tersebut akan memakan waktu lebih dari empat jam. Dari semua warga Gardenia, hanya rumahku saja yang tidak memliki genset. Bisa dibayangkan seprimitif apa rumahku dibandingkan rumah para Gapreters. 

Aku berniat mengungsi di rumah si kembar. Setidaknya ada kipas angin yang bisa menyejukkan kegerahanku. Baru sepuluh menit berada di rumah si kembar, tiba-tiba Bapak dan Bang Jan datang merecoki. Kurasa mereka juga sama-sama mau mengadem dekat kipas angin. 

“Kak, dipanggil Ibu. Suruh beli buah buat besok,” lapor Bapak. 

“Capek, Pak,” jawabku singkat seraya menunjuk Bang Jan. “Dari tadi aku mulu yang disuruh. Sekali-kali Bang Jan aja yang disuruh. Enak-enak mulu dia di rumah.”

Kepalaku mendadak ditoyor Bang Jan. “Enak palalo! Gue seharian sibuk di sekolah. Ini juga baru pulang.”

Aku mendecakkan lidah. “Alah, alasan mulu lo. Di sekolah juga cuma petantang-petenteng doang.”

Rambutku langsung dijambak dan aku membalasnya dengan menggigit lengan kanannya. Tak ada yang mau mengalah. Sampai-sampai Bapak harus berteriak di depan kami semua. “Heh, sudah-sudah. Jangan bikin keributan di rumah orang.” Bapak kembali menatapku. “Kak, ke minimarket sekarang,” Lalu menatap Bang Jan. “Bang, injak-injak punggung Bapak. Pegal banget seharian.” 

Bang Jan menyeringai menatapku. Sementara aku tertawa puas melihatnya yang disuruh Bapak. Ini baru yang dinamakan keadilan dalam suruh-menyuruh anak.

Letak minimarket tidak terlalu jauh dari pintu masuk Cluster Gardenia. Meski demikian, aku kerap merasakan was-was karena penerangannya belum merata di sepanjang ruko yang ada. Alhasil aku cepat-cepat mengambil buah naga dan apel sesuai permintaan Ibu dan melewatkan camilan yang ada di rak susun makanan agar aku bisa cepat pulang. Aku lekas membayar dan pulang dengan langkah cepat. Anehnya, aku merasakan ada bayang seseorang yang mengikuti jejakku dari belakang. Saking paniknya aku berlari kencang, namun derap suara kaki juga ikut berlari mengejarku. Sampai bertemu pada sorot penerangan jalan, orang itu meraih bahuku dan memanggilku. “Juni.”

Aku berteriak histeris dan memukul orang itu dengan satu kantong plastik buah-buahan. Orang itu merintih kesakitan dan menangkap kantong plastik yang kulemparkan ke bahunya. “Ini gue, Jun. Leo.” Sorot wajah Leo mendadak menjadi terang benderang di bawah lampu sorot jalan. Wajahnya yang berkilauan itu terlihat menyerupai bulan purnama yang muncul pada malam ini. Leo terkekeh. “Gue cuma iseng. Lagian lo kelihatan buru-buru banget.”

Aku ngos-ngosan. “Nggak lucu. Gue kira lo pocong yang lagi ngikutin gue.”

Leo terpingkal padahal menurutku itu tidak lucu sama sekali. Ia malah mengusap-usap kepalaku. “Jun, semakin kita takut sama setan, semakin itu pula dia akan menampakkan dirinya di depan manusia,” ucapnya menasihatiku.

Tak lama kemudian raut wajah Leo terlihat menegang. Tatapannya tak berkedip menatap pohon pisang yang ada di seberang jalan. Pohon itu berada pada lahan cluster lain yang belum selesai pembangunannya. Aku melihat pohon pisang itu bergoyang kencang tanpa ada angin yang membantunya bergerak. Leo langsung ngibrit meninggalkanku yang membatu di tengah jalan. Kakiku mendadak tak bisa digerakkan. Suaraku hilang tertelan angin malam. Badanku terbenam dalam ketakutan. 

“Jun, lari! Di pohon ada yang lompat-lompat. Ada dua dan matanya merah,” ujar Leo yang membuatku semakin bergidik. 

Aku masih membisu ketakutan. Merengek tanpa mengeluarkan air mata. Berusaha menggerakkan lenganku dan memberikan bahasa isyarat dengan menggoyangkan kantong plastik buah agar Leo tidak meninggalkanku sendirian. Butuh sepersekian detik bagi Leo untuk mengerti kode isyarat yang kuberikan. Leo berputar arah dan langsung meraih tanganku dengan cepat. Setibanya kami di pagar cluster, aku baru bisa menangis kencang. Membuat satpam yang berjaga panik melihatku. Lututku lemas sampai-sampai aku minta minum di pos jaga.

“Lo kenapa ninggalin gue, sih? Kata lo setan itu nggak ada. Kenapa barusan lo bilang ada?” omelku kepada Leo yang membuat satpam tertawa.

“Setan, mah, nggak ada, Neng. Mungkin angin doang kali,” imbuh Pak Satpam yang sama seperti Leo ucapkan tadi. Masa bodoh aku tidak mau percaya lagi.

“Sori, Jun. Gue juga kaget tadi,” ucap Leo. “Tapi, beneran ada yang lompat.”

Lihat selengkapnya