Andra
Hari ini gue akan menuruti permintaan Tuan Puteri Juni. Sejak Cafe Teddy rilis dibuka, ia langsung menagih gue untuk pergi ke sana. Memang benar kalau gue tidak menyukai tempat yang terlalu dongeng. Namun apa boleh buat, kalau Juni yang minta, gue pasti akan berusaha mengabulkannya. Gue merasa nyaman jika pergi berdua bersama Juni. Meskipun ia jajannya banyak, gue tidak pernah ambil pusing, justru gue malah senang melihatnya kenyang. Dan ketika gue melihat Juni bahagia, gue bisa jamin gue tidak akan pernah bisa tidur dengan pulas. Ya, karena semalaman penuh itu gue membayangkan senyum manisnya.
“Jun, ini gelang dari Mami,” ucap gue memberikan gelang pemberian Mami dari Bali. Gue agak sedikit kecewa karena gelang pemberian Mami hampir mirip dengan gelang pemberian Leo. Yang membedakan adalah bulat-bulat dan warna dari ornamen bunga mawar. Jika pemberian Leo berwarna merah muda, maka pemberian Mami berwarna biru.
Juni menerimanya dengan antusias, tak ada raut kecewa dari wajahnya. “Asyik, gue punya dua.” Ia langsung mengaitkannya di pergelangan lengannya, dan gue membantu mengikat kaitannya. “Cantik ya.”
“Iya, lo cantik, Jun,” ujar gue dengan cepat.
Wajah Juni tersipu malu. “Ih, maksud gue gelangnya. Tapi, makasih loh udah dibilang cantik. Nggak sia-sia gue belajar dandan di rumah Mbak Kia,” ucapnya polos.
Sebisa mungkin gue menahan salah tingkah. Dari dulu gue selalu menganggap Juni adalah perempuan yang cantik, imut, dan menggemaskan di depan gue―dengan atau tanpa ia memoles wajahnya dengan riasan apa pun.
Gue memesan lasagna dan Juni memesan mac n cheese. Cara Juni menikmati makanan persis seperti presenter kuliner yang mampu membuat penontonnya ngiler ingin mencicipinya. Gue pun begitu, kenyang sendiri melihat cara makannya yang super menyenangkan. Di saat kami makan, tiba-tiba pelayan datang mengejutkan kami.
“Halo, Kak, kita lagi ada event grand opening, nih. Khusus untuk pasangan yang mau ikut lomba joget balon. Nanti pemenangnya akan mendapatkan boneka Teddy Bear berukuran medium.” Pelayan itu menunjukkan sebuah kertas dan pulpen. “Silakan isi data dirinya, Kak.”
Gue dan Juni sama-sama tersedak kaget. Pelayan itu menyebut kami adalah sepasang kekasih. Juni menatap gue dengan alis terangkat. Gue tak mengerti maksudnya apa, hanya bisa berkomunikasi lewat telepati mata. Dan Juni menganggukkan kepalanya, menyuruh gue untuk mengisi data diri kami.
Pelayan itu langsung membawa gue dan Juni menuju panggung acara. Ada sekitar lima pasang atau sepuluh orang yang mengikuti lomba joget balon ini. Juni terlihat antusias. “Pokoknya, An, kita harus menang. Gue mau boneka Teddy-nya!”
Gue menenggak ludah. Masalahnya tinggi badan gue dan Juni terlampau jauh. Gue perlu menekuk kaki untuk mensejajarkan tinggi Juni. Dan itu rasanya pegal sekali sampai kaki gue kesemutan. Dalam beberapa menit permainan, peserta lain mulai berguguran. Juni semakin bersemangat dan menyuruh gue untuk fokus. Kini peserta joget balon tersisa dua pasang. Atmosfer panggung semakin memanas. Pelayan memutarkan lagu Goyang Dombret dan kami disuruh untuk berjoget dengan unik. Gue tidak tahu apa itu joget unik, namun Juni terus memaksa gue. “An, keluarin power lo!”
Si kampret ini semakin menyusahkan gue. Lalu gue teringat momen di mana gue dan Jansen menonton acara Sponge Bob. Kami melakukan tarian Squidward bak gelombang air. Ya, hanya itu yang ada di kepala gue sekarang. Saat tarian itu diperagakan, anehnya tepuk tangan semakin meriah, semua pasang mata nampak merekam aksi kami. Bahkan lawan kami saat itu tiba-tiba saja tertawa dan menjatuhkan balon dari dahinya. Pasangan itu kalah dan pelayan itu mengumumkan gue dan Juni sebagai pemenangnya.
“Pacarnya keren, Kak, bisa tarian Squidward!” ujar pelayan itu menahan tawa, kemudian ia memberikan boneka beruang itu kepada Juni. Pelayan itu menyuruh kami berfoto dengan mesra. Gue dan Juni saling berpandangan kikuk. Gue sampai lupa kapan terakhir kali kami berfoto berdua. Selama ini kami selalu foto berlima. Dan pelayan itu terus menggerakkan tangan kananya―tanda untuk gue dan Juni harus berdempetan―gue pun memberanikan diri merangkul bahu Juni. Awalnya ia menatap gue kikuk, tapi ketika pelayan itu memberikan aba-aba, ia langsung menghadap kamera dan berpose. Kami tersenyum di depan kamera polaroid.
Sebelum kami pulang, gue kembali ke cafe itu lagi. Diam-diam gue ingin membeli hasil foto yang mereka ambil tadi. Awalnya mereka menolak karena katanya foto polaroid itu akan dijadikan sebagai dokumentasi cafe. Tapi beruntunglah, ada sepasang kekasih yang mau menggantikan posisi gue. Mereka akan difoto dan berpura-pura menjadi pemenang pertama lomba joget balon.
“Semoga hubungan kalian bisa sampai ke jenjang yang serius ya ketika dewasa,” kata sepasang kekasih itu kepada gue. Wajah gue mendadak merah ketika mendengar ucapan itu.
Gue memandang Juni dari pintu kaca cafe. Dia sedang tersenyum dan mengajak ngobrol boneka beruang itu dengan wajah lucunya. Mata gue semakin berbinar menatap Juni. Kalau saja gue bukan tetangga dan teman masa kecilnya, mungkin sekarang kita akan jadi sepasang kekasih?
Di sepanjang jalan gue melihat keramaian yang terjadi di lapangan balap. Tiba-tiba saja Juni mengetuk bahu gue dengan jari telunjuknya. Ia mengajak gue untuk menonton acara balap motor. Katanya ia belum pernah melihat pertandingan seperti itu dalam hidupnya. Dan lagi-lagi gue selalu menuruti apa yang dimintanya. Ucapan Juni ibarat sebuah mantra yang harus terwujud dalam sekejap.
Percuma saja ada kanopi jika kami di sini masih tersengat panasnya matahari. Gue melihat pipi Juni semakin memerah alami. Ia nampak kepanasan, tapi tak mengeluh sedikit pun. Gue memegang rambutnya dan ternyata panasnya 11-12 menyerupai jok motor gue. Segeralah gue melepaskan jaket dan meletakannya di atas kepala Juni. Tadinya ia menolak karena melihat gue kepanasan, tapi gue tetap memaksanya untuk memakai jaket gue.
Ketika pertandingan dimulai, kami mulai bertaruh siapa yang akan menang. Gue memilih jaket kuning dan Juni memilih jaket merah. Yang kalah harus belikan es cendol Mang Ujang. Di saat kami berfokus pada jagoan kami, tiba-tiba gue mengintip gerak-gerik Juni. Ia sibuk sendiri dengan ponselnya. Tersenyum lalu memotret pertandingan yang berlangsung. Gue pikir ia sedang menghubungi Bang Januar. Namun saat ponsel itu semakin dekat dengan pandangan gue, bola mata gue membulat kaget. Juni berkomunikasi dengan Leo. Ia terus tersenyum menatap ponselnya. Hati gue bertanya-tanya, apakah ada sesuatu di antara mereka? Apakah Juni menyukai Leo?
Gue tidak berani bertanya. Gue berusaha percaya bahwa pesan BBM itu adalah pesan biasa. Meskipun sulit rasanya melepaskan pikiran buruk ini dari kepala gue. Bahkan ketika pertandingan berakhir pun gue masih terdiam tak bersemangat.
“Yah, gue kalah,” kata Juni. “Untung taruhannya traktir Mang Ujang, bukan Baskin Robbins.” Ia tergelak lega. Lalu menatap gue yang dari tadi mendiaminya. “Lo kenapa, An? Kok cemberut gitu. Kan, lo yang menang.”
Gue terkesiap akan lamunan gue. “Nggak apa-apa, Jun.” Gue tersenyum ke arahnya. “Makan es cendolnya kapan-kapan aja. Gue juga masih kenyang.”
Meskipun seharian ini gue menghabiskan waktu bersama Juni, tapi gue merasa raganya tidak bersama gue, melainkan bersama Leo.
***