Andra
Gue sudah tahu akan seperti ini jadinya. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali dalam hidup gue, tapi berkali-kali. Dari kecil Juni sering merusakkan dan menghilangkan barang pemberian gue. Dan seharusnya gue tidak berekspektasi lebih kepadanya untuk sebuah gelang yang gue minta dari Mami.
Gue melihat Juni sedang cekikikan memainkan ponselnya. Dengan cepat gue menarik pegangan tasnya dan ia langsung terkejut membalikkan badannya ke belakang. Cekikikannya itu langsung berubah dengan kerungan memelas. Gue sudah hafal dengan semua ekspresi wajahnya yang ingin melarikan diri dari kejaran gue.
“Kakak Andra, maafin Juni ya. Kakak Andra genteng, deh. Jangan cemberut lagi ya. Juni nggak sengaja. Mana mungkin Juni tega ngerusakin gelang berharga pemberian Mami. Apalagi Mami sampai sempat-sempatin waktu buat nyariin gelangnya disela waktu kerjanya.”
Sebetulnya Mami sempat lupa dengan titipan Juni, tapi gue mengingatkannya lagi demi Juni. Dan sekarang lihatlah apa yang sudah ia perbuat. Gue mencubit pipi Juni saking kesalnya. “Lo apa-apa bisa nggak sih nggak teledor? Gue bisa paham bagaimana emosinya Ibu dan Abang lo lihat kelakuan lo kayak gini,” ujar gue yang setengah emosi, tapi tetap tidak tega melihat bola matanya yang kini berkaca-kaca.
“Maaf ya, An. Gue nggak bermaksud rusakin. Nanti gue beli senar baru buat benerin gelangnya,” ucapnya memelas dan pergi meninggalkan gue dengan lesu.
Kenapa gue jadi yang salah ya? Jelas-jelas Juni yang membuat kesalahan. Gue jadi tidak enak hati menghakiminya. “Ya udah, nggak usah dibetulin. Mending besok lo pakai karet nasi uduk daripada pakai gelang dukun begituan. Lo nggak cocok pakai gelang model gitu. Kegedean bulat-bulatannya daripada lengan lo.”
Dahi Juni berkerut. “Manik-manik maksud lo?”
“Ya apalah sebutannya gue nggak tahu.” Mata Juni berkaca-kaca.
Juni mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya. Gue sampai bingung sendiri melihat ukuran tasnya yang lebih besar daripada tubuhnya. Ia bawa apa sih sebenarnya? Buku cetak saja sering pinjam gue, tapi tasnya bisa sebesar itu ukurannya.
“Buat lo. Kompensasi atas kesalahan gue.” Juni memberikan gue gantungan kunci senter. “Gue dapat dari hadiah majalah. Barangkali berguna buat lo.”
Gue menerima gantungan kunci itu sambil menahan tawa. Bisa-bisanya ia memberikan gue mainan anak kecil kayak gini. “Buat apaan gue pakai senter ginian?”
Juni mengambil paksa gantungan kunci yang ada di telapak tangan gue dan langsung memasangnya ke ritsleting tas gue. “Buat penerangan kalau lo lagi kesasar.”
Lagi-lagi Juni selalu punya cara untuk membuat gue tersenyum. Setiap hari selalu ada tingkah uniknya yang mampu mendebarkan hati gue. Entah sudah berapa lama gue merasakan seperti ini ketika bertemu Juni.
***
Jansen
Mungkin kalian semua tidak akan percaya kalau dulu waktu SD gue sangat menyukai Juni. Bisa dibilang Juni adalah cinta monyet gue dengan segudang memori lucu dan menyenangkan jika diingat kembali.
Dari zaman SD gue selalu menjadi bahan rundungan teman-teman sekelas karena gue sudah memakai kacamata sejak kelas 1 SD. Mereka mengejek gue dengan sebutan ‘si mata empat’ atau ‘si mata kuda’, Di sinilah benih cinta mulai bersemi. Juni selalu membela gue ketika gue sedang dirundung, ketika gue sering dikunci di ruang UKS, dan ketika bekal makanan gue selalu dihabiskan oleh anak-anak nakal di kelas. Gapreters memang membela gue, tapi kala itu gue tidak pernah sekelas dengan mereka. Dan gue selalu sekelas dengan Juni. Bisa dibilang gue adalah orang yang pengecut. Gue anak yang paling pendiam di antara Gapreters atau pun teman-teman di sekolah. Tapi berkat kehadiran Juni, ia mampu menumbuhkan semangat buat gue untuk lebih berani melawan. Dan siapa sangka jika dorongannya itu mampu membuat gue menjadi sosok yang aktif dan cerewet hingga sekarang.
Dulu bekal Tupperware gue sengaja dihilangkan oleh anak-anak nakal. Sebetulnya gue tidak memusingkan benda itu hilang atau dibawa pulang oleh mereka. Toh, Mama dan Papa juga tidak akan memarahi gue perihal bekal makan yang hilang. Mama punya satu etalase besar yang penuh akan segala bekal makan. Tapi lucunya, Juni benar-benar mencarikan bekal makan Tupperware gue sampai ketemu. Ia berani melaporkan anak nakal itu ke wali kelas dan mereka akhirnya mengembalikan bekal gue yang sengaja disembunyikan di atas pohon mangga area sekolah.
“Nih, Sen, bekal kamu udah ketemu. Jangan bersedih lagi ya. Kata Ibuku merek Tupperware itu mahal. Ibu pernah bilang ke aku kalau misalnya suatu hari nanti aku menghilangkan Tupperware, Ibu nggak mau lagi bawain aku bekal. Makanya kamu nggak usah bilang ke Mama kamu kalau Tupperware kamu hilang. Bisa-bisa besok kamu dibawain bekal pakai kertas nasi.”
Gue menahan tawa. Memang ada ya orangtua yang marah hanya perkara tempat makan model plastik ini hilang? Yang jelas, ketulusan hati Juni mampu membuat hati gue berdebar tiap kali bersamanya. Dan anehnya, semakin lama gue mengenal Juni, bahkan sampai tiba di masa SMP, perasaan suka dan berbunga-bunga ini mendadak sirna dengan sendirinya. Entah apa yang membuat rasa suka ini menghilang, hanya saja gue sudah tidak lagi berada di fase jatuh hati; melainkan gue sangat setia kepadanya. Gue menyayangi Juni layaknya keluarga gue. Sosok Juni seperti rumah yang gue butuhkan ketika gue sedang merasakan kegundahan hati.
Dan kini, hati gue berlabuh pada seseorang yang cantik jelita. Dia Artisha. Anehnya, perasaan suka ini bisa langsung terjadi sejak pandangan pertama bertemu. Gue terlalu pengecut untuk mendekatinya langsung. Maka gue putuskan untuk mengulik Tisha melalui Juni. Dan ini semua tanpa sepengetahuan Gapreters.