Jansen tidak bisa melakukan aksi PDKT-nya seorang diri. Ia memaksaku untuk mengajak Tisha makan bersama di warung Pop Ice. Aku tahu ini akan sia-sia. Sebab Tisha tidak pernah menyukai Jansen dari awal. Ia pasti akan menolak permintaannya itu. Tapi Jansen tak habis ide. “Tish, gue sama anak-anak Gapreters mau makan di warung Pop Ice, nih. Lo mau ikut nggak?”
Dan Tisha langsung menjawab, “boleh,” dengan nada antusias. “Leo ikut, kan?” tanyanya penuh penekanan.
Jansen mengangguk dengan wajah bingung. Andai saja ia tahu bahwa Tisha menyukai Leo, pasti ia tidak akan mengajak Leo pada acara makan bersama ini.
Setibanya di warung Pop Ice, aku memesan mi instan kuah dengan potongan cabai yang melimpah ditambah dengan es teh manis sebagai penyejuk tenggorokan. Saat Leo sedang mencari tempat duduk yang kosong, Tisha langsung mengekorinya agar ia bisa duduk berhadapan dengan Leo. Tisha langsung meletakkan tasnya di atas meja dan kembali lagi ke tempat pemesanan makanan. Sungguh ribetnya bukan main hanya untuk duduk berhadapan dengan Leo. Sampai-sampai gerak-geriknya tercium deras dari pancaran Sere.
“Tisha lagi caper ya sama Leo?” ujarnya yang terus menyenggol sikuku.
“Mungkin,” sahutku ringkas.
Jansen meminggirkan badanku dan menyuruhku duduk di kursi pojok agar dirinya bisa duduk bersebelahan dengan Tisha. Dasar cinta segitiga yang rumit. Apa segiempat ya? Ada aku juga yang terlibat.
Kalau tidak dalam mode membahas Leo, Tisha adalah orang yang sangat asyik untuk sekadar berbagi cerita. Pembicaraan kami juga cukup nyambung dan seru. Tapi kalau sudah membahas Leo, entah kenapa auranya jadi sangat berbeda. Seakan ada sebuah tanduk di atas kepalanya yang membara panas.
“Leo, kalau misal adik gue daftar pelatihan renang buat dijadikan atlet gitu bisa nggak, sih?” Tisha bertopang dagu menatap Leo.
“Ada, kok. Biasanya suka ada pelatihan buat pemula,” jawab Leo.
“Kalau gue ikut lo latihan boleh nggak? Sekalian gue mau tanya-tanya tentang jadwal latihannya.”
Sere dan Jansen kompak menyatukan kedua alisnya penuh keheranan. Sere terus menyenggol sepatuku menandakan sebuah kode di mana Tisha mulai gencar melakukan aksinya untuk menarik perhatian Leo. Aku hanya bisa mengamati kedekatan mereka dalam diam sambil mengaduk-aduk mi instan yang mulai mekar kedinginan. Terlihat Leo berpikir lama. Bukannya menatap Tisha, bola matanya justru mengarah kepadaku. Ya, terus aku harus apa? Aku cuma bisa diam dan menunduk pura-pura tidak melihatnya.
“Sama gue aja, Tish. Nanti gue anterin biar sekalian sama Leo.” ucapan Jansen mampu menyelamatkan rasa cemburuku.
Tisha malah menatap Jansen sebal. Ia memberikan senyuman kilat dan berfokus pada Leo. “Kalau sama lo kan gue bisa leluasa tanya sama pelatihnya.”
“Akuatik itu tempat umum kok, Tish. Lo bisa sama siapa aja ke sana. Di sana nanti ada banyak pelatih yang bisa lo tanya-tanya. Ya, lebih baik sama Jansen aja kalau mau ke sana,” balas Leo sembari menatapku dan Jansen.
“Tapi gue maunya sama lo!” ucapan Tisha terdengar meninggi. Membuat kami semua terkejut menoleh ke arahnya. Tisha refleks memegang tenggorokannya dan memelankan suaranya. “Bukan maksud gue menolak tawaran Jansen, gue cuma nggak mau ngerepotin orang-orang. Karena nanti gue sama lo kan satu tujuan ke Akuatik. Jadi lebih baik berangkatnya bareng.” Kalau soal berargumen, Tisha memang juaranya.
“Gue ngerti, kok, Tish.” Jansen tertunduk lesu dan membetulkan bingkai kacamatanya yang melorot.
“Sori ya, Jansen,” wajah Tisha berubah memelas menatap Jansen. Kemudian ekspresinya berubah menjadi antusias. “Jadi, kapan kita ke Akuatik, Leo?”
Leo memandangi jam tangannya. “Besok gue ada latihan jam 3.”
“Ya udah, kalau gitu gue ikut ya. Biar adik gue bisa cepat daftar. Dia pasti bakalan senang punya kegiatan baru.” Tisha terlihat ekspresif.
Tiba-tiba aku merasakan hawa dingin menusuk rongga pori-pori kulitku. Dari dingin menjadi gatal. Di mana aku terus menggaruk tubuhku tanpa henti. Semakin digaruk semakin gatal dan memerah. Tapi anehnya, aku semakin menggigil.
“Juni, muka lo kok merah gitu? Lo sakit?” Sere langsung memegang dahiku. Dan tangannya dingin sekali. “Lo panas, Jun. Ayo, pulang. Ibu lo pasti cemas.”
Leo langsung mendekatiku dan memastikan ucapan Sere dengan meletakkan jemarinya di dahiku. Aku bisa merasakan hawa dingin dari tangannya.
“Jun, ayo naik!” Leo berjongkok agar aku naik ke punggungnya.
Aku masih menggaruk-garuk badan dan kepalaku yang semakin gatal. “Nggak, Le. Malu gue dilihatin orang-orang. Ini alergi doang, kok.”
Seperti orang budek, Leo justru tak mengindahkan ucapanku dan malah menarik tanganku ke pundaknya. Aku hampir terjengkang menahan keseimbangan karena menaiki punggungnya yang tinggi. Namun, Leo tetap membopong badanku yang berat ini tanpa berkeluh. Sementara Jansen dan Sere membantu membawakan barang-barangku. Kepalaku semakin pusing melihat sinar matahari yang menusuk tulang-tulangku. Tanpa sadar aku pingsan di balik punggung Leo.
Ketika aku bangun, aku sudah berada di atas ranjang tempat tidurku. Ibu mendatangiku dengan penuh kepanikan. “Kamu salah makan apa, Kak? Habis ini kita periksa ya. Ibu panggil Abang dulu buat antar kita ke rumah sakit.”
Berkat omelan Bapak, Bang Jan akhirnya bisa mengendarai mobil dan kemampuannya dapat diandalkan dalam keadaan genting seperti ini. Bang Jan mengantarku ke rumah sakit yang masih dalam satu kawasan Cluster Gardenia.
Dokter Hermawan mengatakan bahwa aku terkena cacar air dan butuh waktu sekitar satu minggu untuk proses penyembuhan. Dokter Hermawan memberikanku resep obat dan aku tidak diizinkan masuk sekolah sampai lukaku benar-benar kering.
“Jun, orang kalau cacar itu pas SD, lo malah pas SMA. Susah loh, hilangin bekasnya.” Bang Jan menakutiku sambil menyetir pulang.
Ibu langsung memukul bahu Bang Jan untuk tidak menggodaku. “Sudah, Kak. Jangan dengerin Abangmu. Ini kan ada obat salepnya. Nanti juga hilang sendiri.”
Bang Jan mengancamku. “Lo jangan dekat-dekat gue ya. Gue nggak mau ketularan lo. Sampai lo nyebar virus, gue semprot lo pakai baygon.”
“Abang, nggak boleh gitu sama adiknya.” Tumben sekali Ibu membelaku.
Seharian ini aku mengisolasi diri di dalam kamar. Tak ada yang berani memasuki kamarku kecuali Ibu. Hanya Ibu yang tidak jijik dengan cacar air ini. Bahkan aku sendiri saja tidak berani bercermin saking gatal dan perihnya tubuh ini.
“Kak, asal obatnya rajin diminum dan kamu nggak banyak menggaruk, cacar ini pasti cepat hilang. Ditahan ya rasa gatalnya.” Ibu menaburi bedak ke tubuhku.
Aku mengecek ponsel dan mendapati sebuah pesan dari Leo.
Galileo
Jun, udah berobat belum? Sakit apa?
Gue kena cacar :(
Centang huruf R dari BlackBerry Messenger Leo menyala. Pesanku terbaca, namun tak terjawab. Aku jadi berpikiran negatif. Apa Leo juga merasakan jijik kepadaku? Aku menghela napas pasrah dan meletakkan ponsel di nakas sebelah ranjangku. Aku merapatkan selimut agar tidak kedinginan dan mulai mematikan lampu kamar. Saat kedua mataku terpejam, tiba-tiba terdengar suara gesekan benda yang mengenai jendela kamarku. Mungkin hanya ranting yang mengenai kaca atau sebuah angin malam yang kencang. Namun, suara itu semakin menjadi-jadi tak berhenti. Aku sempat takut jika suara itu berasal dari ular atau maling yang mau memasuki kamarku.
Cepat-cepat aku mengambil tongkat bambu pramuka dan berjalan mendekati jendela. Tangan kiri memegang grendel jendela dan tangan kanan memegang tongkat bambu pramuka sebagai ancang-ancang untuk menghantam lawan.
“Juni!”
Aku mendadak terkejut dan langsung melemparkan tongkat pramuka ke dasar lantai hingga terjatuh dan mengeluarkan suara berat. Hampir saja tongkat bambu pramuka itu mengenai bahu Leo.
“Lo ngapain lempar tongkat pramuka ke gue?” tanya Leo mendongakkan kepalanya ke arah kamarku.
“Gue kira ada ular atau maling,” sahutku. “Terus lo ngapain di situ?”
Leo menunjukkan sebuah ember plastik kecil yang ia bawa dari rumah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas apa isinya. “Gue bawain lo buah sama majalah kesukaan lo biar lo nggak bosan di kamar.”
Terlihat senyuman mengembang dari raut wajahku. Aku merasa senang diperhatikan olehnya dan ternyata Leo tidak jijik dengan penyakitku. “Terus kasihnya gimana? Orang rumah udah pada tidur. Gue nggak berani turun takut dimarahin.”