Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #22

Chapter tanpa judul #21

Cacar airku sudah sembuh dan aku bisa kembali bersekolah. Aku tidak sabar bertemu Sere dan Gapreters setelah dua minggu tidak berjumpa. Rencananya aku ingin mengejutkan mereka dengan kehadiranku yang mendadak di sekolah. Aku sengaja berangkat pagi demi bisa jalan bersama mereka. Aku menunggu di taman Gardenia. 

“Kamu udah sembuh, Jun?” sapa Bu Ningsih menjinjing dua tas belanjanya.

“Iya, Bu Ning. Jansen udah berangkat belum ya?”

“Loh, kalian nggak janjian? Jansen sudah berangkat dari tadi sama anak-anak yang lain.”

Sial. Aku tertinggal dari langkah mereka. Sebetulnya mereka itu berangkat sekolah jam berapa, sih? Buru-buru aku berpamitan kepada Bu Ning dan langsung berlari ke sekolah. Sere menyambut kehadiranku dengan pekikan heboh. Tak henti-hentinya ia terus memutar dan memeluk diriku saking rindunya. Secara bersamaan aku pangling melihat Tisha. Ia memotong rambut dengan model yang persis seperti rambutku. Potongan rata sebahu. Padahal menurutku Tisha sangat cocok dengan  rambut sebelumnya, yakni layer panjang. 

“Semenjak lo nggak masuk, Tisha makin caper sama Gapreters. Dan gue amat-amatin ya, dia itu selalu ngikutin apa yang lo pakai,” adu Sere kepadaku. “Gue kemarin sampai ngira dia itu lo. Potongan rambutnya, tasnya, gelangnya, kaus kakinya, hampir semuanya itu mirip lo. Padahal dari awal kepindahannya kan dia kelihatan girly banget.” Lalu ia mengangkat dagunya dan mengarah ke Tisha yang ada di belakang barisan. “Tuh, lihat aja sekarang dia bagi-bagi bekal makanan. Padahal selama ini dia selalu jajan di kantin. Dasar copycat.”

Aku sempat berpikir begitu, tapi selalu kutepis karena aku merasa bukan artis yang gayanya selalu diikuti oleh fansnya. “Kebetulan aja kali,” sangkalku. “Lagian bawa bekal nggak selalu dikaitkan sama copycat, kok. Mungkin aja dia lagi hemat.”

Sere menggeleng. “Lo mau bukti lain?” bola matanya berputar mencari-cari sesuatu dalam diriku. Lalu mengencangkan suaranya. “Jun, botol minum lo bagus banget. Ini hadiah dari Leo ya pas lo sakit kemarin? Ya ampun pasti mahal banget ada tali dengan inisial huruf J gini.” Ia menatapku dengan melotot agar aku menganggukkan kepala. Sejak botol minum ini pernah hilang, aku memang jarang membawanya ke sekolah―dan lebih memilih botol lainnya yang lebih murah dari ini. Namun anehnya, Tisha melirik botol minumku dengan sinis. Padahal sebenarnya, botol minum ini adalah kado dari Bang Jan, bukan Leo. Ia melanjutkan ucapannya lagi. “Lihat aja, paling besok dia juga bakal punya botol minum kayak punya lo.”

Tadinya aku mau mengejutkan Gapreters dengan kesembuhanku, namun ketika aku diam-diam mengintip jendela kaca kelas mereka, tiba-tiba saja langkahku terhenti dan senyumanku memudar. Aku melihat Tisha sedang asyik mengobrol dengan Gapreters. Mereka semua tertawa begitu lepas dan sangat bahagia. Biasanya, aku dan Sere yang duduk di sana. Tapi sekarang, posisi itu digantikan oleh Tisha. Gapreters terlihat baik-baik saja tanpa kehadiranku. Aku menghela napas panjang. Ternyata rencanaku gagal. Bukannya mereka yang terkejut dengan kehadiranku, melainkan aku yang terkejut dengan perubahan dari mereka yang bisa bahagia tanpa diriku.  

“Juni?” suara Leo mampu membuyarkan lamunanku. Ia menyadari keberadaanku dari balik kaca jendela kelasnya. 

Secepat kilat aku berlari menghindari mereka. Aku juga bingung kenapa harus berlari. Yang jelas aku tidak mau mengganggu kebersamaan Tisha dengan Gapreters. Tak bisa dipungkiri, ada rasa minder ketika aku disandingkan dengan Tisha. Ia anak yang cantik dan pintar, penampilannya jauh lebih baik dariku. Lagi pula aku juga tidak boleh egois untuk menyuruh Gapreters menjauhi Tisha demi kecemburuanku kepadanya. Kami bukan anak kecil lagi yang suka mengotak-ngotakkan pertemanan. Mereka bebas berteman dengan siapa pun termasuk Tisha. Sebisa mungkin aku berusaha menjauhi Gapreters. 

Setiba di rumah aku merebahkan punggungku di sofa sambil menonton FTV kesukaanku. Secara bersamaan Dik Ta menghalangi layar TV yang sedang kutonton. 

“Kakak, Ibu ke mana?” tanya Dik Ta dengan raut wajah tegang.

“Keluar sama Mami Rita. Minggir, Dik. Kakak mau nonton Vino G. Bastian.”

Dik Ta langsung menarik tanganku dan membawaku keluar. Membuatku kesal karena aku tidak sempat memakai sandal. Ia membawaku menuju rumah Tisha. Terlihat seorang pria tua asing memakai setelan jas rapi dan sepatu mengkilap sedang menarik tangan Kevin dengan paksa. Namun yang terjadi ialah Kevin malah menangis enggan ikut dengan pria tersebut. Aku berusaha melepaskan cengkeraman paksa itu dan berusaha menarik Kevin untuk berdiri di belakang tubuhku. 

“Om ini siapa ya?” tanyaku dengan suara bergetar ketakutan.

“Saya ini Papanya. Mending kamu minggir dan jangan ikut campur urusan saya,” ucapnya dengan sorot mata tajam—mirip seperti cara Tisha memandangku. Papanya memandang Kevin dengan gerakan tangan melambai. “Kevin, ayo cepat ke sini. Kita pulang bersama. Rumah kamu di Bintaro, bukan di sini.”

Aku berbalik badan dan menengok ke arah Kevin. Ia menggeleng ketakutan dengan tatapan menunduk menahan tangis. Seketika aku merasa iba melihatnya dibentak oleh Papanya ini. “Kalau Om memang Papanya, kenapa Kevin sampai ketakutan begini?” ucapku memberanikan diri membentak. “Jangan kasar-kasar dong ngomong sama anak kecil.”

Rahang pria tua itu mengeras dengan tatapan berapi-api. Secara mengejutkan, pria tua itu mengangkat tangan kanannya ke udara seperti ingin menampar wajahku. Aku berusaha mundur satu langkah dan menepuk bahu adikku dan Kevin untuk segera berlari bersembunyi di dalam rumah. Namun ternyata, perkiraanku meleset. Pria tua itu tidak menamparku melainkan mendorongku dengan sangat kencang sampai aku tersungkur ke aspal jalanan. Ia meninggalkanku sendirian dan mengejar Kevin yang lepas dari pandangannya. Lututku berdarah penuh goresan aspal. Perih rasanya. Dan aku menangis dengan sangat kejar, sampai-sampai suaraku yang menggelegar itu terdengar jelas oleh para BuGar. Mereka datang secara bersamaan membawa cobek, ulekan, dan beberapa buah di dalam Tupperware.

“Jun, kamu kenapa?” Bunda Lia membantuku berdiri. 

Aku menunjuk pria tua itu yang sedang mendorong pintu rumahku yang sengaja dikunci oleh Dik Ta. Kemudian ia kembali ke jalan utama dengan ekspresi wajah keheranan melihat keramaian para BuGar yang sedang mengepungnya. Pria tua itu menghentikan langkahnya. Dan kini tatapanku berubah tajam sambil menunjuknya.

“Om ini tadi bentak-bentak Kevin sampai menangis,” aku mengadu.

“Bapak ini siapa ya? Ada perlu apa di sini?” tegas Bu Yeni.

Pria itu tak berkutik. Nyaris tak bersuara. Kini dirinyalah yang ketakutan dikelilingi pertanyaan ibu-ibu Gardenia. Pria itu memilih bungkam dan melengos begitu saja dari kepungan warga. Namun, saat dirinya lengah menghindar, ia hampir saja tertabrak oleh mobil Mami Rita. Untung saja tidak ada yang terluka. Mami Rita dan Ibu langsung turun dari mobil dengan ekspresi wajah bertanya-tanya.

“Ada apa ini ramai-ramai?” tanya Mami Rita keheranan.

Pria tua itu menampilkan wajah geramnya. Ia melonggarkan dasinya sambil berkacak pinggang. Menghela napas panjang dan bersuara lantang. “Saya hanya ingin bertemu dengan anak saya. Apa hak kalian ikut campur urusan saya?” Pria tua itu menunjuk-nunjuk wajah para BuGar dengan berani. “Panggil anak saya sekarang. Suruh dia keluar dari rumah pojok itu!” bentaknya.

Ibu membalasnya dengan suara yang lebih lantang. “Ada apa dengan rumah saya? Bapak ini sudah izin belum dengan Ibunya Kevin? Walaupun Bapak adalah orangtuanya, kami tidak akan membiarkan Kevin bertemu dengan Bapak tanpa ada persetujuan dari Bu Vina,” tegas Ibu dengan tatapan tajam.

“Panggil anak saya sekarang atau saya akan lapor polisi!” ancamnya lagi.

Para BuGar mulai panik dan menyenggol bahu Ibu agar mengalah. Dengan cepat Mami Rita memasuki rumahku dan mengajak Kevin untuk bertemu dengan Papanya. Terlihat mereka sedang berbisik-bisik membahas sebuah mediasi. Mami Rita menggandeng Kevin erat. Terlihat wajahnya sangat pias ketakutan dan tertekan. 

“Kevin sudah bilang ke Mama belum kalau Papa mau mengajak Kevin?” tanya Bu Yeni dengan suara lembut.

Kevin hanya terdiam. Pandangannya terus menatap sandal. Bahunya terus bergetar, menandakan sedang menahan sebuah tangisan. 

“Papa kangen banget sama Adik. Kita pulang ke Bintaro ya. Papa punya banyak mainan mobil-mobilan di rumah. Kita bisa main bareng lagi asal Adik mau ikut sama Papa. Ayo, Nak,” pintanya dengan suara lembut yang dipaksakan.

Lihat selengkapnya