Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #23

Chapter tanpa judul #22

Artisha

Mama menyuruh gue dan Kevin untuk tetap berada di rumah Juni sampai ia pulang kerja. Juni mengajak gue untuk beristirahat di kamarnya. Gue kasihan melihatnya berjalan dengan langkah kaki yang terseok-seok. Andai gue datang lebih dulu, mungkin Juni tidak akan seperti ini. “Jun, sori ya,” ucap gue merasa bersalah.

Juni tersenyum sederhana. “Santai aja. Gue udah biasa ngalamin ini.” Kemudian ia memberikan gue makanan kecil yang ada di kamarnya. “Lo nggak usah khawatirin Kevin, kita semua bakal melindungi dia dari Bokap lo.” Lalu suaranya terdengar pelan. “Lo nggak apa-apa nggak ketemu Bokap? Kevin bilang kalian udah lama nggak saling ketemu.” Juni terlihat mencemaskan gue.

I missed him a lot. Gue rindu dekapannya. Gue rindu perhatiannya. Tapi semua kerinduan itu sirna dengan semua perbuatannya kepada kami. Gue masih ingat betul bagaimana gue menjadi saksi atas perselingkuhan Papa dengan istri barunya. Sampai detik ini, bayang-bayang itu masih menjadi trauma yang memilukan buat gue. 

Kala itu gue masih kelas 2 SMP. Gue memergoki Papa dan istri barunya jalan berdua di mal. Dengan sengaja gue melempar milkshake ke wajah simpanan Papa. Namun sayangnya, Papa lebih memilih wanita jalang itu dibandingkan anaknya sendiri. Setibanya di rumah gue dibentak, dimaki, dan disiksa oleh Papa tanpa henti. Menyuruh gue untuk meminta maaf secara langsung kepada wanita jalang itu. Gue tidak sudi melihat wajahnya lagi. Gue benci wanita itu. Dan yang membuat gue semakin terluka adalah Mama juga ikut terkena imbasnya. Mama mendapatkan siksaan dari Papa karena membela gue. Papa mengatakan bahwa Mama tidak becus mengurus anak. Setiap hari ada saja pertikaian hebat di antara mereka. Membuat gue merasa tertekan, tidak nafsu makan, sering menangis, sampai ada hasrat ingin mengakhiri hidup. Dan selang beberapa bulan kemudian, Mama menyerah dan memutuskan untuk bercerai dengan Papa.

Gue menggeleng dengan senyum palsu kepada Juni. Gue membuka kancing seragam dan menunjukkan sebuah luka yang takkan pernah bisa hilang. “He’s not a good father. Bekas ini adalah tendangan dari Papa saat gue memergoki dia dan istri barunya lagi berkencan—saat masih memiliki keluarga.”

Juni menyipitkan kedua matanya dengan wajah ngilu. Ia meraba bekas jahitan bahu gue dengan sangat hati-hati. “Tish, kalau lo merasa nggak aman di rumah, lo dan Kevin tidur aja di rumah gue.”

“Gue bisa bela diri, kok, Jun. Lagian Papa juga nggak akan berani ketemu gue setelah kejadian tadi. Mama pasti akan lapor pengacara kalau Papa berani macam-macam sama kami.”

Obrolan kami terhenti karena Tante Septi menyuruh Juni untuk membantunya menyiapkan makan malam bersama. Sambil menunggu Om Agus pulang dari kantor, Juni mengajak gue bersantai di ruang keluarga. Gue melihat deretan foto keluarga yang mampu memenuhi seluruh isi ruang keluarganya. Ada banyak jenis foto yang terpampang di tempat ini. Mulai dari foto formal, santai, liburan, sampai foto masa kecil anak-anak Om Agus ada semua di tempat ini. Gue bisa menyimpulkan kalau keluarga bulan suka sekali mengabadikan momen mereka setiap saat. Ada satu foto yang menarik atensi gue. Bingkai foto berukuran besar dengan warna silver mampu membuat kedua bola mata gue enggan berkedip. Sebuah foto perayaan kelulusan SMP Juni yang disambut meriah oleh keluarganya. Foto itu terlihat natural dan hangat. 

Gue akhirnya menyadari bahwa foto keluarga adalah harta yang paling mahal yang tidak semua orang bisa memiliki atau membelinya dengan apa pun. Andai saja gue memiliki foto keluarga, andai mereka tidak berpisah, mungkin gue bisa memiliki foto seperti ini. Sayangnya, semua itu tidak akan pernah bisa terjadi dalam hidup gue.

Tak lama terdengar suara motor milik Kak Januar yang pulang bersama Om Agus. Gue melihat Dik Okta berlari kecil ke arah teras, menyambut Bapaknya dengan hangat, dan memeluknya dengan erat. Juni pun melakukan hal yang sama. Ia menyambut Om Agus dengan penuh suka cita. Menyalami Bapaknya dengan sebuah senyuman. Keluarga mereka sungguh indah. Sementara gue hanya mampu menatap kebahagiaan keluarga mereka dari tempat gue berada. Kevin juga melihatnya dengan tatapan polos nan sendu. Gue bisa mendengar Om Agus mencemaskan lutut Juni—membantu Juni menyeimbangkan jalannya. Om Agus melihat keberadaan gue dan Kevin di ruang keluarga. Ia menyambut gue dengan hangat dan sopan. 

Gue melihat Juni dan adiknya sedang rebutan makanan yang dibawa Om Agus. Ada pula Kak Januar yang sibuk menengahi kedua adiknya dengan tingkah jahilnya. Mereka terlihat saling melengkapi, saling menyayangi, dan saling mengasihi. Gue hanya mampu menatap kebahagiaan mereka dari jauh. Kalau ditanya iri atau tidak, mungkin kalian sudah tahu jawabannya apa. Sebagai anak yang keluarganya berantakan dan melihat keluarga orang lain begitu harmonis—mereka pasti merasakan gejolak batin yang menjerit—ingin memilikinya. Dan itulah yang gue alami sekarang. Mungkin Kevin juga begitu. Menurut gue hidup Juni terlalu sempurna untuk bisa terjadi secara nyata. Apa yang gue inginkan semua ada pada dirinya. Dan ada sebuah hasrat di mana gue semakin ingin berada di posisinya.

Akhirnya kami makan malam. Tante Septi membantu gue mengambilkan piring dan lauk makan. Ini menjadi pengalaman pertama gue makan malam di rumah orang. Jujur agak sedikit canggung, tapi gue merasa aman dan tenang.

“Kalian kalau Mamanya belum pulang, main aja di sini. Nginep juga boleh. Anggap rumah kami sebagai rumah kalian juga,” ucap Om Agus yang sepertinya sudah tahu permasalahan hari ini. “Kalau di sini nggak usah malu-malu, biar putri aja yang malu, hehe,” ketawa Om Agus dengan suara renyah.

Juni menyenggol lengan Bapaknya. “Ih, Bapak garing banget kayak kerupuk.”

Om Agus menjulurkan lidah ke arah Juni dengan tatapan meledek. Kemudian bola matanya mengarah ke gue. “Kalian ini kan sepantaran dan sekelas, kenapa nggak coba belajar bareng di sini? Terutama kamu, Kak.” Om Agus mendelik Juni. “Anak Om ini kalau disuruh belajar ada saja alasannya. Ya ngantuk lah, sibuk lah, padahal kerjaannya main HP seharian. Tisha tolong dibantu ya anak Om ini.”

Gue mengangguk sopan kepada Om Agus. Lalu teringat akan sesuatu. “Oh iya, Jun, ulangan Fisika lo dapat berapa tadi?”

Butuh sepersekian detik bagi Juni menjawab pertanyaan gue. “Bagus, kok.”

Bu Septi penasaran. “Emang tadi ada ulangan, Kak? Kok nggak cerita ke Ibu?”

“Ulangannya dua minggu lalu, Tan. Cuma baru dibagikannya sekarang.”

Lihat selengkapnya