Aku dan Gapreters berjalan melewati rumah Tisha. Rumahnya tertutup rapat. Mungkin saja ia sudah berangkat lebih dulu. “Tisha rajin banget ya, jam segini udah di sekolah,” ucap Jansen sambil menunjukkan jam tangannya pukul 06.30.
Aku langsung menarik tangan Jansen dan berjalan mendahului Gapreters. Aku merangkul bahu Jansen untuk sedikit menunduk dan mendengarkan bisikanku. “Sen, gue mau ngomong serius.” Aku menoleh belakang alih-alih Gapreters mendengar suaraku. “Tisha ada rencana mau nembak Leo,” bisikku.
Jansen dengan suara 'hah'-nya yang kencang sempat membuat telingaku pengang. “Serius lo, Jun?” Tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
Aku mengangguk. “Lo mending gerak cepat ketimbang dia jadian sama Leo,” ucapku yang seperti memperalat Jansen untuk menghadang-hadang rencana Tisha.
Jansen termangu. Pandangannya kosong dan terus berjalan lurus. Ia menarik napas panjang. “Lo kan tau kalau Tisha nggak suka gue. Percuma aja kalau gue terus-terusan nembak dia, toh jawaban dia tetaplah sama,” suaranya lesu.
“Jadi lo mau nyerah aja?” tanyaku memastikan keadaannya.
“Mau gimana lagi. Hati kan nggak bisa dipaksain. Gue cuma kaget aja, ternyata orang secantik dia bisa berani nurunin egonya demi nembak Leo.”
“Lo nggak takut kalau dia pacaran sama Leo?” Sepertinya pertanyaan ini lebih cocok untukku dibandingkan Jansen. Tapi, aku perlu tahu jawaban dari Jansen—agar nantinya aku juga bisa belajar darinya. Ibaratnya, mempersiapkan hati dari sekarang.
Nyatanya, bukan respons kesedihan atau motivasi yang kudapatkan, melainkan respons pekikan tawa yang menggelegar dari mulutnya. “Kagak. Gue paham betul orang kayak Leo seperti apa.”
“Maksud lo?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya, gue yakin Leo bakal nolak Tisha, sama kayak dia nolak cewek-cewek lain yang pernah nembak dia. Lagi pula, kita semua udah tahu kok siapa yang Leo suka,” ucapnya sambil menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya ke arah si kembar dan Leo yang ada di belakang kami.
Aku terkejut. “Hah, siapa? Kok gue nggak pernah tahu apa-apa? Oh gitu ya, sekarang mainnya rahasia-rahasiaan.” Aku mendelik ke arah belakang.
Jansen merangkul bahuku dan berjalan lurus. “Kita nggak pernah ngerahasiain apa pun dari lo, Jun. Tapi, untuk kasus ini, lo nggak boleh tahu. Cerita ini khusus menjadi rahasia cowok-cowok aja,” ucapnya kian meledek.
Aku melepas rangkulannya. “Terus siapa? Gue kenal nggak? Ceweknya pasti kayak Shandy Aulia ya?” Aku menginterogasi Jansen dengan tatapan tajam.
Langkah Jansen terhenti hingga membuatku ikut menghentikan langkah kakiku juga. Jansen menatapku dari atas kepala hingga ujung kaki. Ia menggigit bibirnya dengan dahi yang masih mengkerut. “Dih, kok bisa-bisanya Leo nyamain Shandy Aulia sama—” ucapannya terhenti.
Aku menyipitkan mata. “Sama siapa? Maksud lo apa, sih? Gue nggak ngerti.”
“Udah lah, pokoknya lo nggak kenal siapa orangnya. Dan nggak perlu tahu juga. Bisa rusak semuanya. Soal cantik atau nggaknya itu relatif. Selera gue sama Leo tentang cewek itu berbeda. Gue agak prihatin sama selera Leo. Padahal di sekelilingnya banyak cewek cantik yang ngerebutin dia, tapi bodohnya dia selalu nolak hanya karena satu cewek ini.” Jansen memegang tali tas punggungnya erat. “Gue bisa maklum sih, mungkin matanya sering kemasukan kaporit, makanya nggak bisa bedain mana bidadari mana kadal sawah,” ucapnya enteng.
Terdengar sayup-sayup langkah kaki menghampiri kami. Tiba-tiba pundakku terasa ringan. Rupanya Leo berjalan di sampingku sambil mengangkat tasku. Aku refleks menoleh ke arahnya.
“Ngomong apaan sih lo berdua? Serius amat sampai kita nggak boleh dengar.” Leo kesal mengerutkan bibirnya tepat di depanku.
Sepertinya Jansen hendak membongkar pembicaraan kami. Dengan cepat aku menginjak kakinya untuk diam. Jansen merintih kesakitan. “Nggak, Le. Si Ijun lagi ngomongin hutang es cendol ke gue,” ucapnya berbohong dan mendelik menatapku.
Aku menaik-naikkan alisku. “Masalah internal. Orang yang seumur hidupnya nggak pernah ngutang dilarang ikut campur,” ucapku menyindir Leo dan si kembar.