“Tish, serius lo jadian sama Leo?” teman sekelasku bertanya.
Senyumannya mengembang. Wajahnya tersipu malu dan mengangguk mantap di depan kami semua yang sedang mengelilinginya. Seringai dari matanya terus ditunjukkan ke arahku. Hubungan mereka cepat sekali menyebar ke seluruh angkatan. Semua anak perempuan harus rela patah hati melihat idolanya sudah memiliki pacar. Begitu juga dengan Jansen yang sama terkejutnya melihat kejadian barusan. Ia langsung menarik tanganku dan berlari menuju balkon lantai dua.
“Jun, Leo sama Tisha beneran jadian? Kok bisa?” Jansen mondar-mandir kebingungan.
“Iya, kan udah gue bilang dari tadi. Tisha emang berencana nembak Leo. Nyesel kan lo nggak ngungkapin duluan?” Padahal aku pun sama menyesalnya.
“Bukan gitu, tapi gue tahu orang yang Leo suka itu bukan dia. Tapi, kenapa dia bisa mendadak berubah?” Jansen menaikkan alisnya.
Aku mengedikkan bahu. “Nggak tahu, deh. Dia kan paling tertutup kalau bahas cewek. Kenapa nggak coba lo tanya langsung aja?”
“Masalahnya habis kejadian itu, Leo ditelepon coach-nya untuk latihan buat persiapan Pemuda School Games 2011. Bahkan tadi dia langsung mengajukan izin sebulan ke wali kelas. Gue nggak bisa tanya lebih jelasnya karena dia tadi buru-buru banget.” Jansen menatapku dengan bola mata yang resah.
“Serius lo? Berarti dia nggak bakal sekolah selama sebulan? Balik ke rumah nggak?” Aku ikut terkejut mendengarnya.
“Kayaknya nggak, deh. Mungkin di asrama. Kalau pun pulang pasti cuma sebentar.” Jansen menarik napas panjang. “Gue ditanyain anak-anak mulu soal rumor tadi. Masalahnya ini mendadak. Padahal tadi kita berangkat bareng, tapi Leo nggak ada omongan apa-apa ke gue. Kapan mereka jadiannya?”
“Tadi pagi sebelum bel bunyi,” jawabku memperjelas.
“Lah, pas gue sama si kembar sarapan di kantin?”
“Iya. Tadi pagi gue lihat mereka ngobrol berdua di kelas. Gue lihat dari jendela kelas lo, Tisha lagi menggenggam tangan Leo. Terus nggak lama ada Cindy yang menyebarkan berita mereka berpacaran.”
“Tapi, pegangan tangan belum tentu jadian.” Jansen masih terus menyangkal.
“Awalnya gue kira gitu. Tapi, Tisha udah konfirmasi kalau mereka jadian.” Aku menepuk bahu Jansen dan menenangkannya. “Sabar ya, Sen. Semoga secepatnya lo dapat pengganti yang lebih baik lagi.”
Jansen mengangkat tangannya dan merangkul bahuku. “Gue nggak nyangka mereka benar-benar pacaran. Gue pikir seiringnya waktu berjalan, Tisha bakal suka sama gue. Dan gue pikir Leo nggak akan menerima cintanya. Ternyata dugaan gue salah selama ini.” Jansen menatapku dengan wajah sedih.
Tanganku langsung membalas rangkulan Jansen yang mengarah ke bahunya. “Kita nggak pernah tahu apa isi hati seseorang di dalamnya meskipun kita sudah mengenalnya sangat lama.”
Setibanya di kelas, Cindy mencegatku dan menyuruhku untuk memberikan ucapan selamat kepada Tisha. Aku sampai lupa akan hal ini. Bagaimana caranya mengucapkan 'selamat' kepada orang yang pernah melukaiku dan berhasil berpacaran dengan sahabatku yang sudah lama menjadi gebetanku? Rumit bukan?