Sebisa mungkin aku menjauhi Gapreters. Baik di rumah maupun di sekolah. Aku selalu beralasan sibuk ketika mereka mengajakku bertemu. Aku sudah menceritakan segalanya kepada Sere tentang kejadian di rumah sakit. Ia memintaku untuk tidak menggubris ucapan Tisha. Tapi aku bilang padanya bahwa menjauhi Gapreters adalah keputusanku. Lalu Sere berterus terang kepadaku bahwa ia dan Indra baru saja berpacaran. Tentu aku sangat terkejut dan bahagia atas hubungan mereka.
“Jadi mau sampai kapan lo menjauhi Gapreters?” tanya Sere cemas. “Jansen dan Indra udah cerita semuanya. Leo terlalu memaksakan diri di tengah rasa sakitnya itu muncul. Dia nggak pernah mau memeriksakan cederanya sejak tahun lalu. Dan semua yang terjadi nggak ada sangkut pautnya sama lo.” Sere mengembuskan napas pelan. “Jun, Leo emang menggotong lo pas lo pingsan, tapi nggak lama ada Kak Dana datang yang membawa lo. Semua yang diucapkan Tisha itu nggak semuanya benar.”
Mataku berkaca-kaca dan refleks memeluk Sere. “Tapi gue malu, Ser. Kalau aja gue nggak nyusahin Leo, mungkin cederanya nggak akan separah ini.”
Sere menggeleng. “Justru kalau nggak ada lo, Leo pasti akan merasa sedih.”
Aku melepaskan pelukan Sere. Menabok punggungnya untuk sadar. “Dia sekarang udah ada Tisha. Tisha yang lebih pantas sama Leo. Gue yakin Tisha bisa membahagiakan Leo. Gue harus menghargai pasangan Leo. Gue nggak mau jadi pengganggu di antara mereka.”
“Jun, gue nggak pernah percaya sama gosip murahan seperti itu. Anak-anak di sini juga nggak ada yang percaya. Lebih baik lo tanya langsung ke Leo.”
Dan secara bersamaan Leo celingak-celinguk di pintu kelasku. Aku berusaha memalingkan wajah pura-pura tidak mengenalinya. Tapi nyatanya Leo nekat masuk ke kelasku dan duduk di depan kursiku. Ia menghadap belakang―tepat ke arahku―di sana ada Sere yang langsung menginterogasinya.
“Le, emang benar lo jadian sama Tisha?” tanya Sere tanpa basa-basi.
Leo terdiam sejenak menatapku bersedih. Ada banyak pasang mata yang sibuk menatap kami. Dan anehnya ia malah menggenggam tanganku. Aku refleks menepis pegangan tangannya dengan kasar. “Le, lo itu udah punya pacar. Jaga sikap lo. Anak-anak memperhatikan kita. Gue nggak mau ada gosip apa pun,” ujarku galak.
Tapi Leo tak peduli pada pasang mata yang mengawasi kami, kini ia mengacak-acak rambutnya. Ia menatapku bingung, “Jun, lo kenapa sih jadi sensi gini? Lo nggak pernah jenguk gue. Lo juga sulit dihubungi. Apa salah gue, Jun?”
“Ya, karena lo udah punya pacar, Le. Juni ini akan selalu salah di mata orang-orang. Dan cewek lo yang sempurna itu nggak bakal biarin Juni dekat-dekat sama lo,” Sere justru berceloteh cepat.
“Gue emang sibuk aja, belum sempat jenguk. Lagian lo udah mendingan kan? Nggak usah dibikin susah lah, Le,” sahutku dan mengajak Sere untuk pergi meninggalkan Leo. Namun, tanganku langsung diraihnya dengan cepat. Wajahnya serius, bahkan Sere punpergi meninggalkanku membiarkan aku dan Leo berbicara.
“Jun, jujur sama gue. Lo jenguk gue kan di rumah sakit?”
Mataku membulat kaget. Aku masih merespons diam.
“Jun, Bunda cerita ke gue kalau waktu gue operasi, lo dan Gapreters datang menjenguk gue pasca operasi. Lo pakai sandal yang salah. Kaki kiri lo pakai sandal gunung dan kaki kanan lo pakai sandal hotel.” Lalu ia mengeluarkan gelangku dan BlackBerry-nya. “Gelang ini dan HP ini. Lo yang ngecas BB gue kan? Dan lo yang bersihin kamar inap gue kan? Nggak mungkin gelang ini bisa ada di nakas bawah, dan BB gue yang lowbatt ini bisa full sementara semua orang nggak ada yang ngaku pernah ngecasin BB gue. Kenapa lo nggak mau ngaku, sih, Jun? Gue butuh lo di saat gue terpuruk kemarin.”
Bibirku bergetar menahan tangis. Aku hanya bisa menunduk malu. “Maafin gue, Le. Gue ngerasa bersalah atas semuanya. Atas bahu lo. Kalau aja gue nggak pingsan, mungkin bahu lo nggak akan seperti ini.”