Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #31

Chapter tanpa judul #30

Galileo

“Tish, gue mau mengakhiri hubungan palsu ini. Lo harus menerima keputusan gue. Dan gue harap lo bisa menemukan orang yang tulus menyayangi lo lebih dari apa pun,” ucap gue di depan Tisha.

Gue sudah menceritakan semua permasalahan gue kepada Gapreters. Mereka memberikan gue banyak saran dan rencana. Salah satunya adalah putus hubungan baik-baik (meskipun sebenarnya gue tidak pernah pacaran dengannya).

“Gue nggak mau putus. Kita nggak akan pernah putus tanpa persetujuan dari gue.” Tisha mengeluarkan senjata andalannya di dalam tempat pensil. Cutter itu sudah didekatkan ke pergelangan tangannya. “Lo tega melihat gue ngelakuin ini? Apa perlu gue mati dulu baru lo menyesal kalau ada orang yang tulus sayang sama lo?” tangannya gemetar disertai air mata berkucuran.

Gue lekas mengambil ponsel. “Gue akan telepon Nyokap lo. Apa lo tega menghilangkan nyawa lo demi seorang cowok seperti gue? Apa lo tega meninggalkan Nyokap dan Adik lo sendirian? Mereka sayang sama lo, Tish. Dan di luar sana juga banyak yang sayang sama lo.”

Tisha berkeringat, tangannya mulai lemas memegang benda tajam itu. Tatapannya tajam mengarah ke gue. “Kenapa harus Juni? Kenapa bukan gue?” pekik gue. “Juni udah punya segalanya. Dia punya dunia yang utuh, sementara dunia gue runtuh, dan kehadiran lo membuat dunia gue kembali tersusun.” Ia menyeka air matanya cepat. “Apa hebatnya dia sampai-sampai lo nggak bisa menyukai gue? Gue lebih cantik dari Juni. Lebih pintar. Lebih bisa segalanya. Kenapa lo memilih orang tolol dan ceroboh kayak dia?”

“Cukup, Tish!” gue menggertaknya dengan keras hingga memantulkan gema suara. “Jangan pernah sekali pun lo hina Juni di depan gue.” Kalau Tisha bukan cewek, mungkin sudah habis gue hajar. Tapi gue berusaha menahan kepalan tangan ini. “Tish, ada banyak hal yang nggak bisa lo dapatkan dari Juni. Salah satunya adalah dia nggak pernah merendahkan orang lain di depan gue.”


***


Artisha

Gue meninggalkan Leo dengan bara api yang meletup-letup. Pergi ke kelas dengan entakkan kaki cepat. Sorot mata gue berputar cepat mencari seseorang. Tepat sekali, cewek sialan itu sedang ada di tempat duduknya sedang ketawa-ketiwi dengan teman sebangkunya. Tanpa basa-basi gue langsung menjambaknya.

“Sakit, Tisha,” rintih Juni menarik tangan gue untuk melepaskan jambakannya. Mendadak semua orang terpaku melihat aksi gue.

“Dasar cewek pengkhianat. Nggak tahu diri. Perebut cowok orang.” Gue mendorong Juni dengan seluruh emosi.

“Maksud lo apa, sih?” tanya Juni dengan wajah kesal. Sere berusaha menengahi pertikaian kami.

“Lo itu cewek nggak tahu malu. Pasti lo kan yang nyuruh Leo mutusin gue? Lo ngancem Leo supaya putus sama gue demi persahabatan nggak jelas lo itu,” pekik gue. “Lo terlalu serakah jadi cewek. Lo selalu merebut apa yang gue punya.”

“Tish, jaga mulut lo,” Sere menginterupsi gue, tangannya langsung gue tepis.

Gue mendelik ke arah mereka berdua. “Hidup lo udah lengkap, Jun. Lo punya segalanya, tapi kenapa lo tega mengambil kebahagiaan gue? Lo punya keluarga yang harmonis, sahabat yang selalu belain lo, tetangga yang selalu ada buat lo. Dan kenapa lo masih rakus mengambil Leo dari gue?” Gue mendorong Juni dengan suara parau terisak-isak. Juni tak merespons, badannya gemetar, dan semua sorot mata anak-anak di kelas memandang pertikaian ini dengan keheningan. Gue bisa mendengar bisik-bisik mereka yang bersimpati membela gue dan menyudutkan Juni. Semua orang berhasil berpihak di posisi gue.

“Jun, harusnya lo sadar diri kalau Leo udah punya pacar.”

Lihat selengkapnya