Kericuhan yang kami buat di sekolah langsung mendapat teguran langsung dari guru BK. Cepat-cepat aku menghubungi Bang Jan untuk segera membantuku. Ia kebingungan melihatku, Tisha, Sere, dan para Gapreters berada di ruangan berkasus ini. Setelah berkompromi dengan guru BK untuk tidak memanggil orangtua, akhirnya kami diperbolehkan keluar ruangan dengan syarat menerima sebuah hukuman. Selama seminggu kami disuruh untuk membersihkan toilet dan menyapu lapangan sekolah yang kotor.
Di saat aku dan Sere membersihkan toilet wanita, aku melihat Tisha begitu lemas dan terus memegang kepalanya. Mungkin saja ia masih terkejut dengan kejadian tadi. “Tish, lo sakit?” kataku dengan suara lirih, menghadap punggungnya.
Tisha diam tak merespons, tetapi bahunya terisak-isak. Aku tahu ia sedang menahan tangis. “Tish, maafin gue sama Sere ya. Gue nggak tahu harus memperbaikinya dari mana, tapi kalau lo perlu bantuan lo bisa PING gue atau Sere di BBM. Kita pasti akan selalu ada buat lo.”
“Iya, Tish, jangan lakuin hal kayak tadi. Kita nggak mau lo kenapa-napa. Maafin mulut gue yang selalu kasar sama lo. Semoga lo maafin kita ya, Tish.”
Tisha meletakkan gagang pel di sudut ruangan dan berlari keluar kelas. Tadinya aku ingin mengejarnya, tetapi Sere menahanku. “Jun, Tisha butuh waktu sendirian. Gue yakin dia cuma nenangin dirinya aja. Pelan-pelan kita coba hibur dia lagi.”
Tak lama Jansen mengetuk pintu toilet wanita seraya celingak-celinguk. Ia bukan mencariku, tetapi Tisha. Kusuruh Jansen untuk mencari dan mengawasi Tisha agar ia tak melakukan hal yang tak semestinya lagi. Dan di saat aku membalikkan badan ke belakang, bahuku mendadak dicengkeram seseorang. Aku terkejut melihat Leo ada di belakangku, menyampirkan kain lap di bahunya. “Jun, boleh ngomong sesuatu?” senyumnya teduh, dan bola mata kami berserobok penuh kikuk.
Sere meninggalkanku berdua dengan Leo di depan pintu toilet. Ya, aku juga perlu mengetahui apa yang Leo bicarakan tadi. Leo terdiam sepersekian detik sampai akhirnya berani bicara. “Soal kejadian tadi, gue serius suka sama lo, Jun,” Leo memberi jeda atas ucapannya, “bukan sebagai teman atau tetangga. Tapi sebagai Juni Monita Reiny, perempuan hebat yang mengisi hati gue sejak gue mengenal lo dari kecil.”
Aku tersentak. Mataku berkedip cepat. Gagap untuk merespons pengakuannya. Badanku terasa sulit bergerak. Bukankah sekarang aku harus jumpalitan gembira? Tapi, kenapa mendadak bengong? Ini bukan mimpi, kan?
Leo membuyarkan lamunanku dengan menjentikkan jemarinya. “Jun, lo marah ya karena gue suka sama lo? Kalau lo nggak suka nggak apa-apa kok. Anggap aja gue nggak ngomong kayak tadi. Maaf ya, Jun,” ucapnya lesu. “Jangan dijadiin beban. Gue cuma mau ngungkapin isi hati gue ke lo.”
Aku menggeleng dengan cepat. Menggoyangkan lima jemariku untuk menangkis ucapannya. “Gue juga suka sama lo, Leo!” ucapku bersemangat. “Dari kita masih SD gue udah suka sama lo. Setelah lo pindah ke Semarang, gue masih mikirin lo. Gue masih nggak nyangka lo juga suka sama gue,” ucapku tanpa jeda.
Senyuman manisnya semakin mengembang. Kini Leo melepaskan genggaman tanganku yang menempel pada gagang pel dan kini ia memegang tanganku erat-erat. “Makasih ya, Juni.”
Aku tersenyum bahagia. “Jadi, kita pacaran?” Tanyaku menatapnya.
Leo mengangguk cepat. “Iya, hehe.” Leo tertawa canggung.
Wajahku mendadak memerah setelah mendengar pengakuan Leo barusan. Secara bersamaan datanglah si kembar mendekati arah kami. Aku refleks melepaskan genggaman tangan Leo. Bagaimanapun aku masih malu mengakui hubungan ini kepada Gapreters lainnya. Terutama Andra dan ucapan yang tak masuk akalnya itu. Aku berusaha melupakan kejadian itu. Andra tidak mungkin suka padaku sebagai perempuan. Dia selalu menganggapku sebagai alien. Itu yang selalu terbenam di dalam kepalaku.