Mami Rita terlihat kurus kerontang, wajahnya pucat pasi, bagian atas kepalanya botak halus—hanya menyisakan sisa sedikit rambut. Selama ini Mami Rita selalu menutupi rambutnya dengan turban dan syal yang selalu melingkar di tubuh mungilnya. Ia terlihat ringkih dan lemas. Berjalan pun sudah tidak bisa dan harus dibantu oleh kursi roda. Terkadang juga sering meracau sendirian. Si kembar begitu telaten mengurus Mami yang sedang berjuang melawan rasa sakitnya.
Mami Rita sangat pandai menutupi penyakitnya dari kami semua. Yang ia tampilkan hanyalah kover keceriaan dari wajahnya—dan membiarkan lukanya mengalir untuk dirinya sendiri. Mami Rita tidak mau dianggap orang sakit yang lemah. Mami hanya ingin diperlakukan selayaknya Mami yang kuat dan ceria. Para BuGar saling berpelukan, menangis di pelukan Mami, dan memberikan semangat Mami untuk tetap bertahan. Begitu eratnya persahabatan ibu-ibu Gardenia hingga membuatku menitikkan air mata. Sebuah persahabatan yang dimulai dari sebuah permukiman kecil yang mampu menggetarkan banyak jiwa yang terlibat.
“Jun, benar apa kata lo. Mami nggak mau gue berlarut dalam kesedihan. Kalau gue dan Indra sedih, kondisi Mami bisa semakin drop.”
“Iya, An. Pastikan Mami selalu merasa utuh ketika kalian ada di sampingnya.”
Andra menatap Leo lamat-lamat. Terlihat ada rasa kikuk dari bola matanya. “Leo, soal waktu itu gue minta maaf ya. Pikiran gue kacau. Gue harap lo dan Jun–”
Belum selesai berbicara, Leo udah menepis ucapan Andra. “An, we are best friend. Di saat seperti ini lo butuh orang yang mampu menenangkan lo. Ada kita di sini. Nggak usah berpikir aneh-aneh. Fokus sama Mami.”
Setiap hari aku dan Gapreters rutin ke rumah si kembar. Entah untuk bermain, mengobrol, atau pun makan bersama Mami. Kami tidak akan membiarkan Mami kesepian di rumah. Selalu ada cara untuk membuatnya bertahan, yaitu kebersamaan. Suatu ketika Mami Rita ingin mengobrol denganku empat mata. Mami Rita menyunggingkan senyuman di wajahnya. Kali ini membiarkan tangannya memainkan rambut panjangku. “Juni, anakku.” Tangan Mami Rita menggenggam tanganku. “Dari dulu Mami ingin sekali punya anak perempuan. Tapi, kandungan Mami waktu itu terlalu lemah untuk bisa memiliki anak lagi.” Tak henti-hentinya Mami menatapku dengan cahaya matanya yang indah. “Saat kami pindah ke Gardenia, Mami ingat betul ada seorang anak perempuan cantik yang mengantar Mami menuju rumah baru Mami. Anak itu selalu mengikuti Mami ke mana pun Mami pergi. Anak itu suka mengintip Mami dari rumahnya, menunggu Mami keluar, dan suka membantu Mami kalau lagi kerepotan. Padahal anak itu nggak ada ikatan darah sama Mami, tapi entah kenapa Mami sayang banget sama anak kecil itu layaknya anak sendiri.”
Tanpa sadar aku tersentuh hingga meneteskan air mata. Aku mengingat semua cerita Mami Rita saat di mana pertama kali kami bertemu.
“Mami suka banget tiap anak itu ke rumah. Entah untuk minta makanan, pinjam majalah, memberantaki rumah, atau sekadar bercerita. Mami serasa punya teman lagi. Sampai Mami berandai-andai kalau Mami punya anak perempuan, pasti kami akan seperti ini. Bertukar pakaian, menghabiskan waktu di mal, membeli alat make up bersama. Pasti seru banget. Ternyata Allah wujudin doa Mami melalui kamu, Jun. Mami bisa merasakan bahagianya punya anak perempuan seperti kamu.” Mami Rita memelukku erat, air matanya tak mampu lagi dibendungnya.
Pelukanku tak kalah eratnya. Hatiku menjadi sesak. Sudah tidak mampu lagi menahan tangisan ini dan berpura-pura baik-baik aja. Sungguh, aku sangat memikirkan Mami Rita. Aku ingin Mami sembuh. Bagaimanapun caranya. “Mami harus sembuh. Mami harus sehat untuk kita semua. Juni sayang Mami. Mami udah Juni anggap seperti ibu kandung Juni sendiri,” ucapku parau.
Mami Rita mengusap rambutku dengan hati-hati. “Kondisi Mami sudah sulit untuk bisa sembuh total, Jun. Kankernya semakin ganas. Mami nggak sanggup melawannya. Umur Mami tidak bisa lama lagi, Jun. Maafin Mami yang nggak bisa jagain kamu dan si kembar. Mami hanya punya sedikit waktu untuk mengingat keceriaan kamu, si kembar, dan semua anak-anak Gardenia di sini. Mami akan simpan memori indah itu di hati Mami.” Mami Rita mengusap sudut matanya. “Juni, Mami berharap kalian semua bahagia. Terutama anak-anak Mami, si kembar. Terkadang Mami terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sampai-sampai Mami lupa bagaimana caranya membahagiakan mereka.” Mami menghela panjang. “Di antara Andra dan Indra, Mami paling sulit menembus hati Andra. Dia anak yang pendiam dan pandai menutupi perasaannya. Tapi semenjak Andra mengenal kamu, dia bisa sangat ekspresif mengeluarkan isi hatinya, seperti saat tertawa, marah, cerewet, perhatian, ngambek. Semua ekspresinya itu bisa terjadi saat bersama kamu, Jun.”
Bola mataku semakin berkaca-kaca. Entah mengapa badan ini mematung. Mami melanjutkan. “Andra itu aslinya penyabar. Cuma sama kamu doang dia bisa secerewet itu. Dari bola matanya, Mami bisa tebak kalau Andra sayang sama Juni.” Mami mengelus rambutku. “Juni sekarang pacar Leo, kah?”
Aku mengangguk dan menunjukkan gelang pemberian Leo sebagai gelang couple kami berdua. Tiba-tiba Mami memelukku dengan hangat. Kali ini suaranya lirih namun bisa kudengar dengan sangat jelas. “Mami bahagia atas pilihan Juni meskipun bukan Andra orangnya. Tapi, Mami mohon tolong jaga si kembar kalau Mami sudah pergi ya, Jun. Semoga si kembar bisa bahagia atas hidupnya. Jangan bersedih terlalu lama dengan penyakit Mami. Semua sudah menjadi ketetapan Allah. Mami hanya minta kalian menjalani hidup dengan baik. Jangan bertengkar hanya karena masalah sepele.”
“Mami nggak perlu sedih mikirin si kembar. Juni sayang sama si kembar dan anak-anak Gapreters lainnya. Kami saling memiliki. Mami nggak usah cemas walaupun Juni udah punya pacar. Gapreters tetap prioritas utama Juni.” Aku melepaskan pelukan Mami Rita. “Juni tahu Andra suka sama Juni, tapi maaf ya, Mi, Juni sukanya sama Leo. Rasa sayang Juni lebih besar untuk Leo dibandingkan Andra. Juni harap Mami nggak kecewa atas pilihan Juni. Bagaimanapun Andra tetap bagian dari hidup Juni.”
Mami Rita menggeleng. “Nggak, Jun. Mami sangat mendukung pilihan Juni, Andra, maupun Leo. Kamu yang jalani ini semua dan kamu yang berhak menentukan.” Mami mencium keningku. “Mami bangga anak Mami sudah menjadi gadis dewasa,” suara Mami Rita semakin terbata dan semakin lirih hingga sulit didengar.