Kedua bola mataku terbelalak mendapati seluruh anggota Gapreters berkumpul di rumah Jansen. Perasaan kikuk dan canggung mampu menyelimuti kami semua. Suasana mendadak dingin layaknya sedang berada di wahana rumah hantu.
“Duduk, Jun.” Jansen terlihat tegas dengan tangan bersedekap. Kemudian melanjutkan ucapannya. “Gue nggak habis pikir sama kalian. Akhir-akhir ini kalian banyak berubah. Jarang ada waktu buat berkumpul. Sekalinya ketemu malah saling diam. Kalian ini lagi ada masalah apa?” Jansen memearahi kami. “Terus kalian kenapa kemarin berantem?” Jansen menunjuk Leo dan Andra yang duduknya berjauhan. “Seumur-umur gue nggak pernah lihat kalian adu tinju. Baru kemarin gue lihat kalian bersumbu pendek. Kalian mempermasalahkan apa?” Jansen menegaskan. “Masalah cewek? Juni atau Olivia?” Jansen masih melanjutkan, “Jun, lo juga. Gue tahu lo putus sama Leo. Tapi kenapa lo menjauh dari kita semua? Dari awal kalau niat lo mau pacaran sama Leo, lo harusnya tahu apa konsekuensinya pacaran sama sahabat sendiri. Jangan egois gitu dong jadi orang. Pisahin mana urusan percintaan dan pertemanan.”
“Cukup, Sen! Nggak usah salahin Juni. Ini semua salah gue,” sanggah Leo.
“Udahlah, Le. Nggak usah lo jadi tameng buat Juni. Lo sendiri juga salah.” Jansen menunjuk-nunjuk jemarinya tepat di wajah Leo. “Dan lo, Andra. Gue juga heran. Lo itu sebenarnya ada masalah apa?”
Butuh waktu sekitar dua menit sampai Andra bisa menjawab rentetan pertanyaan Jansen. “Lo cuma mau kita semua kumpul, kan? Lo juga tahu kalau kita semua sibuk. Sekarang kita udah punya urusan masing-masing. Kita bukan anak SD atau anak SMP lagi yang kalau pulang sekolah selalu main. Gue punya kesibukan. Dan lo juga begitu. Apa yang dipermasalahkan lagi?”
“Gue juga sibuk, Bangsat! Tapi gue masih bisa buat diajak kumpul sama kalian. Sekarang kalian semua itu udah beda. Dimulai dari putusnya Leo sama Juni, kita semua udah nggak kayak dulu lagi. Itu yang gue permasalahin!”
Semua terdiam mendengar bentakan Jansen.
“Udah, Sen. Mereka lagi butuh waktu buat selesaikan masalahnya. Jangan makin memperkeruh suasana,” ucap Indra menenangkan.
“Nggak bisa gitu, In. Mau sampai kapan nunggu mereka bertiga jelasin semuanya? Gue butuh jawaban dari kalian. Gue nggak mau persahabatan kita hancur hanya karena ulah kalian. Bullshit about triangle love!” Jansen menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. “Lo egois, Jun. Kalau bukan karena lo, kita semua nggak akan pecah seperti ini.”
“Jansen cukup!” gertak Andra.
“Ini semua emang salah gue. Gue minta maaf atas segalanya. Gue butuh waktu buat kita bisa seperti semula lagi. Buat gue netralin perasaan gue dari semuanya. Buat gue bisa menatap kalian seperti dulu lagi. Gue butuh waktu yang nggak bisa secepat membalikkan telapak tangan. Kalau kalian merasa risi di dekat gue, gue siap menjauh dari kalian. Begitu pun dengan kalian. Kalian bisa main sesuka hati kalian tanpa melibatkan gue. Gue sadar akan kesalahan gue yang merusak persahabatan kalian,” suaraku parau dan menutup wajahku rapat-rapat menyembunyikan tetesan air mataku.
“Jun, udah. Lo nggak sepenuhnya salah.” Indra menenangkanku dan mengusap bahuku pelan.
“Sen, ini biar jadi urusan kita—para cowok. Tolong jangan libatkan Juni. Gue yang akan bertanggung jawab.” Leo menatapku. “Jun, it's okay. Kamu tetap bagian dari kita. Nggak ada yang berubah. Kalau kamu butuh waktu, pakai dan tenangkan diri kamu dulu. Jika kamu bisa menetralkan semuanya, kembalilah.”
Bagaimana aku bisa bahagia jika orang yang pernah kucintai sudah memiliki pacar lagi? Aku akan kembali menjadi sahabatnya. Mendengarkan kisah cintanya yang baru sementara aku masih terus terbayang-bayang dengan sosok dirinya yang masih melekat dalam ingatanku. Aku tidak bisa Leo! Kalau pun bisa, aku tidak yakin kapan waktunya. Sudah delapan tahun lamanya aku menyukaimu lalu bagaimana caranya aku melupakanmu dalam waktu sekejap? Aku tidak seperti kamu Leo, yang bisa menggantikanku dalam waktu kurang dari dua bulan!
Aku menyeka air mataku. “Tanpa kehadiran gue, Gapreters masih bisa kembali seperti dulu. Kalian masih punya Serena dan Tisha yang bisa menemani kalian. Kalian nggak akan terbebani dengan kehadiran gue. Cara ini adalah yang terbaik untuk kita semua.” Aku berdiri dan meninggalkan kamar Jansen.
Tangisanku semakin pecah. Semua ini telah menjadi konsekuensiku yang telah merusak persahabatan yang telah kami bangun selama delapan tahun. Aku bukan lari dari permasalahan. Tapi, inilah caraku dalam menyelesaikannya—dengan tidak bertemu dengan mereka untuk sementara waktu.
Andra meraih tanganku dari belakang. Sontak aku membalikkan badan. Napasnya tersengal-sengal mengejarku. “Jun, gue juga salah. Gue minta maaf. Ini semua bukan kesalahan lo. Gue ikut andil dalam keretakan Gapreters. Andai gue nggak ungkapin semuanya kalau gue suka sama lo. Andai gue bisa lebih mengontrol perasaan gue. Andai gue nggak terlibat dalam hubungan kalian. Gapreters nggak akan seberantakan ini.” Andra menatapku lurus. “Jun, maaf kalau gue telah membuat lo kecewa karena pernah menyukai lo. Gue nggak bermaksud buat lo risi dengan gue. Gue sangat menyesal dan nggak tau harus memperbaikinya seperti apa.” Napas Andra menderu. “Gue akan berusaha buat mengembalikan persahabatan kita. Gue mencoba pelan-pelan untuk lupain lo tanpa membuat lo merasa jauh. Maaf ya, Jun.”
Aku mengangguk dan menyeka air mataku. Aku pun sama. Masih butuh waktu untuk segalanya. Termasuk tentang perasaan Andra kepadaku. Mungkin aku juga salah karena secara tidak langsung melarang Andra untuk menyukaiku. Namun sejatinya, aku merasa canggung jika ada seseorang yang telah kupercayai sebagai sahabat—mampu menaruh hatinya kepadaku—sementara aku tidak bisa membalas perasaannya lebih. Itu hanya akan menyulitkan kami ke depannya.
Hari demi hari aku menjalani rutinitas seperti biasa. Berusaha menjauhi Gapreters dan lebih meluangkan waktuku di rumah dengan keluargaku. Belajar mengendarai motor dengan Bang Januar. Masak dengan Ibu. Mengantar Dik Ta pergi les. Dan aku sangat menikmatinya. Pernah suatu hari Indra, Sere, dan Tisha mengajakku untuk bergabung dengan Gapreters yang hendak berkumpul bersama. Namun, aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Aku masih butuh waktu dan senang dengan kehidupanku sekarang. Saat sedang di taman Gardenia, tiba-tiba pandanganku berserobok dengan Jansen. Sudah sekitar sebulan lebih kami tidak saling berbicara. Sejujurnya, aku rindu sosoknya. Aku rindu kebersamaan dan gelak tawa yang selalu kami pancarkan bersama. Namun, aku berusaha bangkit dari kursi ayunan dan pergi dari sosoknya. Terdengar suara berat memanggilku. “Ijun.” Jansen memanggilku berjeda. “Mau ke mana?”
“Pulang,” sahutku ringkas.
“Jun,” ucapnya lagi dengan nada lirih. “Gue minta maaf atas ucapan gue kala itu. Gue terlalu kasar dan menghakimi lo. Gue kehilangan sosok lo. Gue kangen sama lo. Gapreters tanpa lo benar-benar hampa. Lo segalanya buat kita dan gue nggak mau kehilangan lo,” suara Jansen bergetar. Sklera matanya memerah.
Aku menggigit bibir. “Gue juga kangen kalian. Hidup gue juga hampa tanpa kalian.” Aku menangis menutup wajahku dengan telapak tanganku. “Tolong ngertiin gue. Hubungan yang udah retak akan sulit disatukan kembali, Sen. Gue begini demi kebaikan kita semua,” ucapku dengan nada bergetar.
Jansen memelukku dengan hangat. “Jun, kita semua nggak baik-baik aja tanpa ada lo. Kita semua menderita kehilangan lo. Lo udah jadi bagian hidup gue setiap harinya. Lo mewarnai hidup kita. Kebaikan mana yang mau lo tunjukin?”
“Kebaikan untuk gue, Leo, dan Andra. Gue masih sayang Leo. Sementara Leo udah punya pacar. Gue harus menghargai hubungan mereka. Lalu Andra menyukai gue dan gue nggak bisa membalas perasaannya. Walaupun Andra secara gamblang mengatakan bahwa dia akan pelan-pelan melupakan gue. Tapi apakah bisa dibuktikan? Gue yang suka Leo dari lama aja masih susah buat move on. Gue nggak mau ada pertikaian lagi di antara mereka.”
Jansen terdiam. Ia tahu betul dilema yang sedang kuhadapi. “Terus mau lo gimana? Menjauh dari kita terus?”
“Gue butuh waktu, Sen.”
“Gue paham, Jun. Tapi sampai kapan? Kita semua kangen sama lo!”
“Gue janji akan kembali ke kalian.”