Gardenia Familia

Elsinna
Chapter #39

Chapter tanpa judul #38

Aku, Leo, Sere, dan Indra mengantarkan Jansen, Tisha, dan Andra ke Bandara Soekarno Hatta. Mereka tidak bisa berlama-lama di Gardenia karena tuntutan pekerjaan. Kami berpelukan dengan erat sebelum perpisahan ini berlanjut.

“Le, gue duluan ya sama Sere,” ucap Indra mengangkat kunci mobilnya. “Jun, lo nggak apa-apa kan sama Leo? Gue sama Sere mau ke BSD.”

Aku mengangguk dan menyengir kaku. Indra dan Sere pergi begitu saja setelah berpamitan. Kini tersisalah aku dan Galileo di depan pintu masuk Bandara. Aku dan Leo terdiam cukup lama saling curi-curi pandang. “Le, gue naik taksi online aja ya.”

“Kenapa, Jun? Lo mau ke mana?” Leo menatapku serius.

“Mau pulang, sih.” Aku terdiam sejenak. “Takutnya lo mau pergi atau balik ke apartemen. Soalnya nggak searah.”

Leo terkekeh dan mengacak-acak rambutku. “Santai aja. Kayak orang baru aja lo. Gue juga mau pulang ambil baju.”

Aku langsung menaiki mobil SUV Leo yang berwarna hitam. Meletakkan tasku ke dalam jok belakang. Dan tanpa kusadari posisi Galileo tepat berhadapan begitu dekat denganku. Bahkan aku bisa merasakan deru napasnya. Bola mata kami berserobok penuh kekikukan. Aku segera menyenderkan bahuku ke belakang dan Leo langsung menarik sabuk pengamanku dan mengencangkan pengaitnya.

Hatiku berdegup kencang melihat perlakuan Galileo barusan. Rupanya rasa cinta ini masih ada. Kami tidak banyak mengobrol di sepanjang jalan.

Leo membuka obrolan. “Jun, jadi gimana tawaran gue waktu itu? Mau nggak?”

Aku terdiam sepersekian detik untuk menjawabnya. “Gue pikir-pikir dulu ya.”

Leo pernah menawariku untuk membuat sebuah platform e-commerce sportswear dengan brand namaku sendiri. Tentu saja aku tertarik. Tapi, entah mengapa aku selalu takut jika suatu saat nanti akan mengecewakannya.

“Jun, lo nggak usah pikirin soal modal. Gue bakal bantu lo semuanya. Dari website sampai gudang nanti gue bakal siapin. Yang penting lo mau mengembangkan bakat lo.” Suara Leo begitu yakin.

“Gue mesti belajar dulu soal bahan-bahan sportswear. Gue harus cari referensi dulu karena basic gue kan selama ini di dress,” ucapku.

Leo tersenyum menatapku dan mengacak-acak rambutku. “Siap!”

Setibanya di rumah Leo, aku melihat seorang wanita berambut brunette—memakai high-heels sepuluh senti—sedang lompat-lompat bahagia menanti kedatangannya. Baru kali ini aku melihat wajahnya secara nyata. Bahkan aslinya lebih cantik dibandingkan di kanal YouTube-nya. Aku sampai bengong terkesima melihat kecantikan Chelsea Soebagjo.

“Leo, we've been two hours waiting on you.” Chelsea terlihat manja di depan teras rumah Leo.

Aku memberikan senyum sapa kepadanya, tetapi yang kudapati hanyalah sebuah lirikan singkat yang tak digubris keberadaannya. Sial. Kepribadiannya berbeda sekali dengan yang ada di layar kaca. “Le, thanks ya. Gue duluan. Salam buat Bunda,” ucapku menutup pintu mobil.

Terlihat wajah Leo berubah menjadi sungkan di hadapanku. Ia langsung masuk ke dalam bersama Chelsea. Suara Bunda Lia terdengar antusias mendapati tamu seperti Chelsea. Kulihat supirnya membawakan tentengan barang-barang branded untuk diberikan ke keluarga Leo. Kalau dipikir ulang, kondisiku dengan Chelsea terlihat sangat jomplang seperti tanah dan awan. Wajar saja jika Leo mendapatkan wanita yang sepadan dengannya. Mendadak nyaliku ciut. Semua sahabat-sahabatku telah memiliki pasangan. Sudah memikirkan ke jenjang yang lebih serius. Sementara aku dicampakkan oleh pria brengsek. Hidupku selalu saja mendapatkan rute terlambat dibandingkan sahabat-sahabatku yang lebih mulus perjalanannya. I know, rumput tetangga akan terlihat lebih hijau. But, can I grumble for a day? Huh.

Bodohnya aku yang masih aja terjebak pada cinta masa lalu. Terjebak pada orang yang sudah memiliki kekasih. Terjebak pada semua perlakuan manisnya di depanku. Dasar bodoh! Niat Leo itu hanya membantu bisnisku, bukan membuatku untuk kembali bersamanya!


***


Lagi-lagi aku kesiangan ke kantor. Buru-buru aku mengeluarkan motor sambil menggigit wafer oats untuk ganjalan perut.

“Telat lagi lo?” ledek Leo dengan rambut acak-acakan dan hanya memakai boxer hitam dan kaus putih.

Aku membalas dengan sebuah anggukan. Dan tiba-tiba saja Leo berlari menghadang motorku. “Wait, biar gue yang antar. Gue bisa nyalip dibandingkan pakai motor matic lo ini,” ucap Leo menggebu-gebu.

Aku melihat jam tanganku. “Ya udah, buru! Tapi, lo ganti boxer dulu.”

Leo terkekeh dan memberikan sebuah hormat kepadaku. Butuh lima menit aku menunggunya keluar dari rumah. Secepat kilat Galileo memanaskan motornya dan mengantarku ke stasiun terdekat.

“Udah di sini aja nggak usah parkir,” ucapku yang minta diturunkan di depan pintu masuk.

“Gue mau ikut nganter lo sampai kantor,” balasnya dengan nada enteng.

“Gila lo!” Aku menepuk punggungnya. “Nggak! Lo belum mandi. Malu gue.”

“Orang nggak akan ada yang sadar kali, Jun. Gue kan pakai masker. Udah pakai parfum juga. Aman lah.”

“Awas lo ya nyusahin gue di kereta!” Aku tahu betul ini adalah pengalaman pertama Leo menaiki kereta commuter line.

Benar dugaanku. Leo terlalu banyak mengalah pada rombongan ibu-ibu yang masuk memadati kursi. Aku langsung menarik tangannya untuk segera masuk. “Di kereta ini nggak usah jadi pahlawan. Semua orang bisa jadi rival untuk rebutan kursi.”

Leo mengangguk. Tangannya bergantung pada pegangan besi yang melingkar.

“Lo ngapain sih ikut nganter gue? Terus lo pulangnya gimana? Tahu gitu gue bawa motor sendiri, deh,” gerutuku tak ada habis-habisnya.

“Gue pengin ngerasain naik KRL. Kata lo untuk menjadi tangguh harus ngerasain naik KRL. Nah, gue mau cobain rasanya kayak apa. So far, not bad, lah.”

Saat aku melepaskan hand strap, tiba-tiba kereta berhenti mendadak karena ada kereta dari lajur lain yang mau lewat. Dan betapa terkejutnya badanku terpental ke dada bidangnya Galileo. Secepat kilat Leo menahan bahuku erat agar tak terjatuh. Aku terkesiap melepaskan sentuhannya. Mendadak kami saling kikuk dan enggan bertatapan mata. Untuk mencairkan suasana, aku mulai membuka obrolan. “Cantik juga ya Chelsea Soebagjo kalau ketemu aslinya.”

Leo mengalihkan topik obrolan. “Jarak dari kantor lo ke GI jauh nggak?”

Alisku berkerut. “Nggak sih, tinggal nyebrang aja. Kenapa emang?”

“Jam istirahat lo bisa ke GI nggak? Gue tunggu ya di sana,” ucapnya mantap.

Lihat selengkapnya