Disclaimer:
Cerita ini sepenuhnya fiksi. Jika terdapat kesamaan nama, tokoh, tempat, lembaga, ataupun kejadian dengan yang nyata, hal tersebut hanyalah kebetulan semata dan tidak dimaksudkan untuk merujuk atau menyamakan dengan pihak mana pun.
Akan lumayan panjang part ini karena penting buat pengenalan karakter, selanjutnya paling aku bakal pake tiga babak seperti biasa.
----
Di Perairan Selat Karimun, Kepulauan Riau, Indonesia

Sebuah kapal ukuran sedang terlihat mengapung diatas air tanpa pergerakan sama sekali. Di samping kapal tersebut bertengger tiga speedboat bertuliskan "Polisi". Beberapa anggota kepolisian berseragam hitam lengkap terlihat berjaga mengawasi sekeliling. Terlihat juga kru-kru kapal dibekukan dan ditangkap.
Sementara itu tiga anggota kepolisian lainnya masuk ke dalam kapal itu. Tibalah mereka di depan sebuah pintu yang di kunci dengan gembok besar, salah satu dari anggota kepolisian menembak gembok itu hingga hancur dan menendang pintu tersebut dengan paksa.
Ruangan tersebut sangat gelap, tercium bau tidak sedap dari detik pertama mereka menginjakkan kaki. Bau apek dan anyir karena genangan air yang mungkin tidak pernah surut, apalagi di dalam ruangan tertutup yang tidak ada saluran air maupun udara ini.
Terdengar juga suara tetesan air dari langit-langit dek yang menambah kesan kelam ruangan tersebut. Diantara tiga anggota kepolisian khusus itu, ada satu orang yang maju paling depan menyingkirkan beberapa kotak kayu bekas yang sudah usang dan barang-barang lainnya yang menghalangi jalan mereka. Walaupun kru kapal sudah ditangkap, misi mereka belum selesai.
Tim kepolisian ini dikirim untuk menyelamatkan korban perdagangan manusia yang terdiri dari beberapa Perempuan muda berumur sekitar 20-30 tahun. Informan bilang kapalnya akan berlayar dari pelabuhan di Dumai dan akan berganti kapal di Batam. Tim ini bertugas menghentikkan mereka di perairan selat Karimun.
Ajun Komisaris Polisi Adelia Raya, atau yang lebih dikenal sebagai Adel, memimpin langsung operasi penangkapan dan penyelematan ini. Walaupun memegang jabatan Wakil Ketua Tim Divisi Khusus Perlindungan Perempuan & Anak, Adel lebih suka turun ke lapangan daripada harus menunggu hasil operasi dari balik mejanya.
Adel terus melangkah masuk ke ruangan gelap tadi berharap operasi penyelamatannya tidak berakhir jadi operasi evakuasi. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
BRUK
Adel dan anak buahnya langsung siaga menengok kebelakang dan menyinari terduga sumber suara. Tapi nihil, tidak ada apa-apa hanya hening. Tidak lama kemudian suara decitan tikus memecah keheningan tersebut, dan dua ekor tikus melewati sinar senter mereka. Tim adel kemudian menghela nafas pelan dan melanjutkan langkah mereka ke depan. Tiba-tiba terdengar suara lagi.
"Hachuhhh!" Suara bersin seorang Perempuan.
Tim adel langsung mempercepat langkah mereka ke sudut ruangan.
"Saya AKP Adelia Raya, kami dari kepolisian, Mba....ibu...siapapun kami disini untuk bantu kalian...mohon kerja samanya dan mohon bantuannya untuk kasih kami tanda lokasi keberadaan kalian" teriak Adel.
Hening.....
Beberapa saat kemudian, seseorang akhirnya memberanikan diri dan mengambil sisa tenaganya yang tersisa.
"Tolong ! Bu.... Kami disini" teriak salah seorang perempuan dari sudut ruangan yang lain. Karena hal ini, beberapa perempuan lainnya ikut menyahut dengan tenaga seadanya.
Akhirnya Tim Adel berhasil menemukan lokasi korban, dan anak buahnya segera mengirim pesan ke anggota tim lainnya diluar untuk membantu mengeluarkan korban-korban. Adel menurunkan pistolnya yang dari tadi menghunus kedepan dan segera menghampiri korban-korban yang duduk saling berdempetan. Walau dalam keadaan gelap dan lampu seadanya, Adel bisa melihat kondisi memperihatinkan perempuan-perempuan tersebut. Wajah mereka semua sudah membiru, terlambat beberapa jam saja operasi Tim Adel pasti gagal.
Namun saat matanya berhenti di suatu titik di antara korban-korban yang terduduk, adel terbelalak. Amarah menjalar di sekujur tubuhnya. Anak-anak.
Diantara korban Perempuan-perempuan itu ternyata ada dua anak laki laki yang sepertinya adik kakak berumur antara 5 sampai 10 tahun. Penampilan mereka sudah tidak layak, tubuh ditutupi noda kotor. Tulang-tulang mereka begitu mencolok, pemandangan yang benar-benar mengoyak hati.
Adel menggertakkan giginya, menahan amarahnya dalam kepalan tangannya hingga bergetar. Ia ingin berteriak melampiaskan amarah yang terbendung di dadanya. Tapi amarah itu tergantikan dengan perasaan bersalah saat akhirnya matanya bertemu dengan mata kedua anak itu. Adel punya misi lebih penting daripada hanya marah dan mendengarkan perasaannya.
Adel perlahan mendekat lagi dan jongkok menyetarakan posisi mereka.
"Adek....kalian ngapain disini ?" ucap Adel lirih setelah membuka masker penutup wajahnya.
Saat anak- anak itu melihat wajah Adel, mereka langsung berlari memeluk Adel dan menangis sejadi-jadinya.
"maaf... maaf ya dek....maaf....."ucap Adel menyambut pelukan anak-anak itu sementara anggota timnya lalu lalang membopong korban-korban lainnya.
Adel mengutuk siapapun yang bertanggung jawab atas ini di dalam hatinya. Adel juga bersumpah akan membuat orang itu bertekuk lutut dan minta maaf pada korban-korban ini termasuk kedua anak ini.
----
Di dalam sebuah mobil mewah (Alphard dan sejenisnya) yang melewati jalanan ramai kota Jakarta.
Seorang Pria terlihat terlelap di kursi belakang supir, pakaiannya sudah rapih tapi kantung matanya tidak bisa berbohong. Kemacetan jalanan di Jakarta memberikannya kesempatan untuk mencuri waktu untuk istirahat. Tidak lama kedamaian itu harus diganggu oleh supirnya, karena mereka sudah sampai tujuan.
"Pak....Pak Adit...."ucap si supir takut-takut.
Si pemilik nama, Aditya Sena Tamalate, langsung membuka matanya, matanya masih merah menunjukan lelahnya sama sekali belum berkurang.
"Iya No...udah sampe ya ?" ucap Sena setengah serak, ia bangkit dari posisi tidurnya dan perlahan membereskan penampilannya.
Tujuan Sena adalah Kementerian Sosial. Pagi itu, Sena dan temannya sekaligus Chief Operating Officer Lentera Bangsa harus bertemu salah satu Direktur Jenderal di Kemensos untuk membicarakan Program Kerja Sama mereka. Pertemuan ini harusnya menjadi ajang bagi Sena dan temannya untuk menarik perhatian Dirjen itu agar menyetujui usulan program baru Lentera Bangsa.
"Udah pak, mau saya buka pintunya sekarang ?" ucap si supir, Darmono.
"Bentar No, saya telpon Galih dulu...."
Sena kemudian celingak celinguk ke Parkiran Kemensos berharap melihat mobil temannya itu, Galih Anindito.
"Nah itu dia, tolong buka pintunya No" ucap Sena pada supirnya.
Sena segera melangkah menghampiri Galih di depan pintu masuk Kemensos. Galih memberikan cup kopi berisikan Ice Americano favorit Sena yang dari tadi ia pegang ke Sena.
"Nih, lupa kan lu beli kopi" ucap si Galih.
"Sengaja, biar lu yang beliin". Sena kemudian mengambil tabletnya dari tas dan menyerahkan tablet tersebut ke Galih menggantikan kopi di tangan satunya. Mereka barter.
Galih melihat-lihat hasil presentasi yang sudah lama Sena persiapkan, mengorbakan waktu istirahatnya. Lentera Bangsa berencana untuk membangun kerja sama dengan Kemensos untuk menghubungkan Panti Asuhan yang dikelola pemerintah dengan mereka. Selain untuk program reguler adopsi, Galih dan Sena juga berencana untuk menawarkan jasa mereka untuk mengelola dan mengembangkan kesejahteraan di panti-panti asuhan itu.
"Gimana menurut lu? aman?" tanya Sena sambil menyeruput kopinya.
"Sen, tapi lu harus inget ....Dirjen yang ini emang generasi boomer banget...lu ga perlu ngomongin hal teknis terlalu dalem sama dia...langsung ke inti aja buat sesuatu yang simpel yang bisa dia pahami" jawab Galih.