Sebelumnya:
Keduanya terbangun dengan nafas terengah-engah, mata yang melotot dan denyutan jantung yang tidak beraturan.
"SIALAN! ******" ucap mereka secara bersamaan.
-----
Otak punya cara kerjanya yang menarik. Ada hal yang mati-matian kita hafalkan malah memuai dalam sekejap saat dibutuhkan. Tapi, ada juga hal yang mati-matian kita coba lupakan malah terus muncul dalam bayangan, terutama untuk memori yang terikat pada perasaan.
Taman-taman kota di Jakarta kini jadi tempat paling diminati warganya baik hari biasa maupun hari libur. Sejumlah fasilitas dan lingkungan yang masih terawat menjadi alasan berbagai pengunjung rela datang meski hanya untuk duduk-duduk. Jika datang di waktu yang tepat, pengunjung akan disambut oleh udara pagi masih sejuk, matahari belum terlalu tinggi. Sebuah fenomena alam yang mahal di kota Jakarta.
Taman kota juga selalu punya ritmenya. Ritme bagi Anak-anak bersepeda di jalur melingkar, orang tua duduk di bangku sambil menyeruput kopi dari gelas plastik, dan beberapa pengunjung lain yang melakukan senam. Dengan suara nafas yang keluar masuk secara teratur, Adel memacu kakinya menyesuaikan dengan ritme jantungnya. Telinga Adel disumpel wireless earphone yang memutar lagu dalam playlist favoritnya untuk lari pagi.
Raga Adel masih memijak bumi tapi pikirannya kemana-mana. Ingatannya tentang Sena di gedung kantornya, di ruang interogasi yang penuh emosi terus berputar di kepalanya, lebih-lebih mimpinya tadi malam. Berkali-kali juga Adel mengingatkan dirinya bahwa mimpi adalah bunga tidur, yang lahir secara acak atau dari pikiran kuatnya sebelum tidur. Tapi untuk mengakui bahwa ia memikirkan Sena sekuat itu pun Adel tidak sudi.
Pikirannya yang kacau inilah yang membuatnya tidak fokus dan gagal melihat pijakan. Adel tersandung tapi dapat segera menyeimbangkan tubuhnya.
"ARRRGH UDAH GILA !" umpatnya sambil menendang angin mengundang perhatian pengunjung lain.
Aditya Sena Tamalate terus memenjarakan pikiran Adel. Suaranya, kacamatanya, senyumnya yang selalu tertarik ke satu sisi. Tapi, yang paling Adel benci adalah suara berat Sena penuh kemenangan ketika ia mengatakan "enak kan pergi jam 9 pulang jam 5" . Kata-kata Sena waktu itu benar benar menyentil Adel. Terlebih lagi karena pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Semakin ia berusaha memaksakan untuk menampik, semakin pikiran itu muncul dalam benaknya. Adel yang sadar ia menjadi pusat perhatian berusaha bersikap normal lagi dan mencari tempat duduk terdekat.
Ia membuka jadwalnya untuk hari minggu itu.
Jam 9.00 Laundry
Jam 10.00 Bersih Bersih Kos
Jam 1.00 Ke Cafe Teduh sama Nala
Di saat yang sama, sebuah notifikasi muncul di jam tangannya.
Nala : Del, meet upnya ganti di kos lu aja boleh ga? gw ga dibolehin ke Cafe sama tunangan gue...
Adel mengerutkan alisnya, bingung dengan alasan Nala. Tapi kemudian mengangkat bahunya karena malas berpikir terlalu jauh.
Adel kemudian menyetujui permintaan temannya itu. Ia sejenak menikmati udara pagi di taman, berharap asupan oksigen dapat menjernihkan pikirannya. Ia juga tidak ingin hari minggunya direngut oleh pekerjaannya apalagi hanya untuk memikirkan Sena. Ia bertekad esok hari ia akan mencoba fokus lagi pada pekerjaannya yang tertunda yaitu menemukan Supriadi. Ia tahu obsesinya pada Sena tidak lebih penting daripada menemukan Supriadi dan menyelesaikan pekerjaannya. Adel masih dikuasai egonya, ia berharap setelah Supriadi tertangkap, kejahatan Sena juga akan terungkap.
---
Di sebuah apartemen mewah dengan aksen dominan hitam dan merah maroon, Sena terlihat melamun selama lawan bicara virtualnya terus nyerocos.
Ruang kerjanya sengaja di desain tepat di depan kasurnya, karena tidur bagi Sena adalah penghargaan yang ia dapat jika daftar panjang pekerjaannya selesai hari itu. Alasan lain adalah Sena bisa bekerja dimana saja dan kapan saja, kasur jadi tidak terlihat begitu menggoda dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai.
Ini sudah meeting ke-5 Sena pagi itu, sudah berjam-jam Sena belum makan dan belum bergerak dari tempat duduknya. Tapi lelah dan lapar bukan alasannya melamun. Sena masih terbayang-bayang mimpinya semalam berusaha menyalahkan efek obat tidur.
"Ck" Sena tanpa sadar berdecak kesal hingga lawan bicaranya diam dan kebingungan.
"Gimana Pak Adit ? " sahut orang itu.
"Sorry, kaki Saya kepentok meja" ujar Sena ngeles.
"hmmm tadi gimana ? Kalian udah cek gedung, udah dapet sekretaris sama keuangan juga kan?" tanya Sena cepat-cepat sembari mengutuk dirinya yang tidak fokus.
Orang itu menahan kesal dalam senyumnya karena harus mengulang presentasinya. Meeting kali ini membicarakan perusahaan teknologi digital baru yang bergerak dalam aplikasi belajar bahasa asing. Orang itu yang menyiapkan konsep, kantor, sumber daya manusia dan orang itu juga yang akan tercatat sebagai pemilik saham--Sena hanya akan menyumbang dana secara anonim. Sebuah praktik yang sering disebut "perusaahan boneka" untuk orang-orang dengan uang berlebih yang ingin menghindari resiko hukum dari usaha bisnis tertentu.
Setelah mendengar penjelasan ulang dari orang itu, Sena terlihat puas. Baginya ini hanya keran lainnya yang ia perlu buka agar sumber pemasukannya tidak bergantung pada satu bisnisnya saja. Apalagi resikonya kecil mengingat ia hanya perlu menyuntikkan dana.
"Oh yaudah, nunggu apa lagi ? langsung urus ke notaris aja ya, nanti soal sahamnya kita urus di notaris sekalian.....Saya siapin cek buat modal awal" kata Sena yang sukses menghilangkan kekesalan orang itu.
Walau meeting terakhirnya akhirnya selesai, Sena masih memiliki banyak hal untuk dikerjakan hari itu. Apapun itu yang pasti tidak melibatkan kasur dan santai-santai.
Sena berdiri dari tempat duduknya meluruskan badannya dengan berdiri dan perenggangan selama beberapa menit sebelum seseorang membunyikan bel apartemennya. Sena segera beranjak membuka pintunya.
---
Di depan pintu Sena yang terbuka, terlihat seorang perempuan membawa beberapa tas belanja dan gantungan hitam khusus jas.
"Eh Nana, pagi banget" orang itu mirna, asisten pribadinya.
Mirna masuk tapi berhenti di lorong pintu. Ia tidak pernah berani melangkah lebih dari itu walaupun tuntutan pekerjaannya. Mirna merupakan salah orang kepercayaan Sena, ia memegang hampir semua urusan bisnis Sena. Orangnya tidak begitu menghamba pada Sena, tapi juga tidak kurang ajar. Semuanya tepat pada ukurannya, sesuai apa yang Sena cari.
"Ini jam setengah 11 Pak, gimana sih... udah bukan pagi" sahut Mirna seenaknya.
"ini pesenan Bapak.... coba di cek dulu Pak" sambung Mirna lagi menyerahkan semua bingkisan yang ia pegang.
Sena kemudian mengecek jas pesanannya dan beberapa kemeja yang ia suruh Nana beli. Ada kemeja hitam dengan berbagai motif dan sebuah setelan jas khusus berwarna merah maroon, warna kesukaan Sena. Satu tas belanja lainnya berisi bahan-bahan makanan.
"Udah bener semua.... sorry ya Saya ganggu weekend Kamu, udah sarapan belom?" tutur Sena benar-benar terlihat tidak enak, karena biasanya ia tidak pernah merepotkan Mirna di hari libur.
"belom Pak, Bapak pasti belom makan kan, mau dibeliin sekalian?" tawar Mirna langsung.
"Ini buat Kamu aja, Saya kan mau masak ini buat nanti siang, jadi makannya nanti siang aja"
Sena kemudian merogoh dompetnya, mengeluarkan sejumlah lembar uang dan memberikannya ke Mirna. Mirna tersenyum senang melihat uang jajan yang diberikan Sena, melunturkan lelahnya hari itu.
"Kebiasaan banget Pak...ga baik tau Pak makan ga teratur gitu"
"yaudah Kamu cabut sana, atau mau saya tambahin kerjaannya?" Ancam Sena
Mirna buru-buru pake sepatunya lagi, dan melangkah keluar pintu. Tapi Sena teringat sesuatu yang harus ia urus.
"Oh iya saya lupa bilang, tadi saya meeting sama si Umar dia udah presentasi dan saya udah okein, senin kamu urus ceknya sama bank ya"
"Yang start up les bahasa itu ya Pak ?"