Sore ini, Rara menyusuri jalan yang memang selalu dilalui saat berangkat maupun pulang sekolah. Kakinya berjinjit kecil, memperingan beban tubuh kurusnya. Dengan rambut dikucir yang sedikit terkibas akibat terpaan angin, ia masih berjalan lurus. Bersenandung pelan, mengikuti irama alam.
Pandangan gadis itu mendapati orang tak dikenal. Dengan celana panjang berwarna abu-abu serta kemeja putih, sosok itu masih celingukan di perempatan jalan. Rara mendekat dengan ragu, memastikan bahwa objek pandangnya bukanlah hantu.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Rara hati-hati, menampilkan senyum terbaik yang ia miliki.
Cowok di hadapannya menoleh. Menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Menilai, lebih tepatnya. Lalu tersenyum manis. "Bisa nganterin sampai Jalan Jati, nggak? Soalnya gue baru aja pindah ke sana. Gue juga belum hafal jalanan di sekitar sini."
"Jalan Jati? Emm... agak jauh, ya?"
"Gimana? Mau apa nggak? Soalnya dari tadi belum ada yang lewat sini. Ada sih, kendaraan. Tapi mereka nggak mau berhenti."
Rara bimbang. "Gimana, ya?"
Cewek itu sudah sering mendengar berita kejahatan dalam berbagai kedok, termasuk dari berita yang ia saksikan di televisi. Bisa saja, ini salah satunya. Apalagi, rambut lawan bicaranya tersebut dibiarkan acak-acakan begitu saja, belum memberi kesan baik-baik. Ditambah lagi, satu anting hitam bertengger di telinga kiri. Dasi juga tak berada tepat pada tempatnya.
Namun, ia tak boleh berpikiran negatif. Apalagi, cowok di hadapannya itu masih mengenakan seragam SMA. Tidak mungkin orang tersebut hanya menyamar. Akhirnya Rara memutuskan untuk mengangguk, meski masih ragu.
"Iya, mau. Cuma sampai rumah kamu aja, kan?" tanyanya, memastikan bahwa keputusannya tak salah. Gaya bicaranya pun mendadak formal, karena ia sedang berhadapan dengan orang asing. Jika salah bicara sedikit saja, entah bagaimana nasibnya ke depan.
"Iya. Cuma ngasih petunjuk jalan ke rumah gue," jawab cowok itu. "Sekarang, naik!" pintanya.
Rara masih menatap motor matic di depannya, ngeri. Ia tak mungkin ikut naik. Mereka saja baru –bahkan belum kenal. Bukannya berpikiran negatif, meski gelagatnya menunjukkan demikian. Hanya saja, ia memang masih ragu akan keputusan yang diambil.
"Boleh nggak, kalau saya jalan kaki aja? Terus, kamu aja yang naik motor."
"Kenapa?"
Rara pun tak mengerti, dan harus berpikir lebih keras untuk melontarkan kalimat yang sekiranya tak menyakiti. Lalu meringis, saat tak memiliki cara menolak yang tepat.