Empat perempuan kecil Ranting, Tawangsri, Zhang Mey, Gendhing berada di pelataran kebun. Kebun itu luas, berpagar perdu dan semak pada segala sisinya yang tumbuh liar tak beraturan menjalar ke segala arah. Ada banyak pohon besar menjulang tinggi dengan masing-masing daun rimbunnya menadahkan keteduhan, menyaring sinar garang panas matahari. Pohon mangga, rambutan sawo, juga pepaya dan akasia. Sesekali sesuai musimnya masing-masing pohon memunculkan hasil buahnya. Yang khas adalah ketika pohon mangga mulai berbunga, karena itu berarti pula bersamaan dengan musim bediding, istilah untuk masa peralihan, awal musim panas tapi dengan udara pagi yang sangat dingin. Kadang-kadang putik bunga mangga gugur, tak berhasil dalam proses peralihan dari bunga menjadi buah, maka rontoklah kelopak bunga, bertabur jatuh dan terbawa hembus angin.
Paling memikat mata adalah ketika tiba musim buah rambutan. Gerumbul buahnya yang berwarna hijau dan merah, sangat mencerahkan pemandangan kebun. Gerumbul buah berserabut yang membulat itu sangat menggemaskan untuk dipetik. Walau daging buahnya tidak selalu menyuguhkan rasa manis yang nikmat. Seringkali rasa masam yang muncul, membuat wajah menyeringai, meringis menahan asam yang tak tertahankan menyentuh lidah.
Empat perempuan kecil menatap berkeliling. Belum saatnya musim mangga atau rambutan saat ini, sehingga tidak ada yang bisa diharapkan dari kedua pohon itu. Yang selalu berbuah tanpa musim adalah pepaya, pohonnya selalu penuh dengan tonjolan buah yang menggantung. Tapi semuanya masih begitu mengkal, sangat hijau, menampakkan daging buah yang sangat keras.
“Bermain apa kita sekarang?” Ranting menyeka peluh yang mengalir di dahi, keringat hasil dari menuntaskan permainan delikan (petak umpet).
“Gobak sodor?” Tawangsri mengajukan alternatif.
Gobak sodor adalah sejenis permainan melintas garis, menerobos pertahanan lawan. Sebuah bidang persegi dibagi oleh garis menjadi beberapa bagian wilayah. Setiap garis pembatas dijaga oleh peserta penjaga, lalu peserta lawan harus berusaha melintas garis itu untuk menembus bidang wilayah selanjutnya, satu persatu hingga wilayah di batas akhir. Bila berhasil tiba di wilayah akhir tanpa tersentuh penjaga artinya dia menang, bila tersentuh ketika melintas batas, artinya dia gugur, gagal. Tentu itu permainan yang memerlukan energi, kegesitan, taktik dan keberanian memperdaya lawan. Untuk menjadi peserta yang tangguh diperlukan kelincahan gerak yang menipu.
“Itu melelahkan” Zhang Mey menolak pelan, bulir keringat mengalir lembut di pelipisnya. Membasah pula di alisnya yang menaungi sepasang mata sipit menggaris panjang.
“Ya, masih gembrobyos ngene (keringat bercucuran).” Gendhing menyusut keringat yang membasah dilehernya. Namun cucuran keringat begitu deras sehingga beberapa lelehan cairan tubuh itu tak terseka dan membasah di punggung, melekat pada lembar baju katunnya.
“Pasaran wae (saja)” usul Ranting.
“Aku bakulnya.” Zhang Mey langsung mengajukan diri.
“Aku saja, kamu menjadi anakku,” bantah Tawangsri “Gendhing dan Ranting pembelinya.”
“Sak karepe, ora masalah (terserah, tidak masalah),” Gendhing manggut “Pakai uang kreweng (pecahan genting )seperti biasa ?”
“Ayo cari bahannya, kemarin banyak kulihat bunga di kebon mbok Tumirah.”
“Pak Sadi juga barusan maprasi (menebang sebagian) pohon warunya, nanti daunnya bisa kita pakai sebagai pembungkus.”
“Atau dilumat dengan air, bisa jadi minyak-minyakan.”
“Yo wis, ayo berangkat.”
Berjalan bersama empat perempuan kecil itu mengitari kebun, mencari bunga-bunga dan dedaunan untuk bahan-bahan dagangan dalam permainan pasaran mereka. Bunga-bunga dan dedaunan itu akan diibaratkan sebagai sayuran dan buah-buahan atau apa saja.
Dalam permainan segala sesuatu bisa diimajinasikan. Kreweng, keping pecahan sisa genteng sah-sah saja dianggap sebagai keping uang. Cairan air yang mengental karena perasan daun waru bisa diibaratkan sebagai minyak goreng. Pasir atau gumpalan tanah bisa diandaikan sebagai tepung atau nasi. Atau imajinasi apa saja. Imajinasi adalah sebuah kemerdekaan, dimiliki setiap orang, dengan atau tanpa realisasi. Karena mampukah imajinasi dibatasi dan angan dihadang ?
Pada dedaunan liar yang tumbuh mengelilingi kebun, Tawangsri menemukan tanaman Tali Putri. Tanaman berupa sulur-sulur kuning menjalar pada ranting dan dedaunan. Ditariknya sulur-sulur kunin Dalam permainan segala sesuatu bisa diimajinasikan. Kreweng, keping pecahan sisa genteng sah-sah saja dianggap sebagai keping uang. Cairan air yang mengental karena perasan daun waru bisa diibaratkan sebagai minyak goreng. Pasir atau gumpalan tanah bisa diandaikan sebagai tepung atau nasi. Atau imajinasi apa saja. Imajinasi adalah sebuah kemerdekaan, dimiliki setiap orang, dengan atau tanpa realisasi. Karena mampukah imajinasi dibatasi dan angan dihadang ?g itu, memisahkannya dari daun dan ranting yang dijeratnya.
“Ambil yang banyak” seru Zhang Mey senang, “Bisa dipakai sebagai mie.”