GARIS PEREMPUAN

Maysanie
Chapter #2

SELASAR AWAL 2 : Karena Setiap Perempuan adalah Perawan

Karena Setiap Perempuan adalah Perawan

“Apa artinya menjadi perawan?” tanya Ranting sembari mencuci beras di tenggok (wadah dari anyaman bambu). Satu kilogram beras itu dicucinya untuk persiapan pembuatan karak (kerupuk beras) dagangan simbok.

  Simbok menatapnya sesaat, lalu kembali cedik geni (membuat api) pada tumpukan kayu bakar di tungku tradisional sederhana, berupa beberapa bata yang disusun pada tiga sisi berbentuk huruf U. Pada sisi yang terbuka, dimasukkannya bilah-bilah kayu bakar itu. Sesaat kayu terbakar menyala memunculkan api yang cukup panas untuk dipakai menanak nasi, sebagai proses awal pembuatan karak.

“Artinya kau bukan anak-anak lagi,” kata simbok kemudian, “Tapi telah menjadi perempuan muda. Siap dilamar, lalu kawin, punya anak.”

“Seperti simbok? Dulu simbok juga begitu?” Ranting meniriskan air sisa pembilasan terakhir pencucian beras.

Yo ngono kui (ya, begitulah),” simbok mengiakan “Semua perempuan akan seperti itu. Wis dalane wong wedok (sudah jalannya orang perempuan). Mengapa menanyakan hal itu?”

“Tadi Ajeng dibancaki, kata bulik Kasni karena Ajeng sudah jadi perawan.”

O, ngono (Oh, begitu),” simbok manggut seraya menuangkan beras yang telah dicuci pada panci berisi air mendidih di atas tungku “Kau mendapat sego (nasi) bancaannya?”

Ranting mengangguk “Satu pincuk.”

“Enak ?”

Ranting mengangguk lagi.

Simbok mengaduk beras di panci dengan sebilah sendok kayu panjang, butir-butir beras mulai melunak dan mengembang oleh panasnya air mendidih.

“Kau nanti ingin dibancaki juga?” tanya simbok dengan nada suara mengambang, menyimpan keraguan. Keraguan yang muncul karena tahu bahwa pertanyaan itu sesungguhnya tak perlu diungkapkan. Realita jawaban sudah tersedia sejak awal, bahwa dia tidak akan sanggup mewujudkannya.

Ranting termangu. Mata kecilnya mengerjap, memendarkan harapan yang berkilat samar, lalu meredup seketika itu juga. Ranting, dengan segala kemudaan dan kebeliaannya, sangat tahu bahwa simbok hanya memiliki karak. Hanya karak harta terbesar di dalam rumah ini. Dan karak bukanlah piranti bancaan yang memadai. Sangat tidak mungkin simbok membagikan karaknya, meski menggunakan pincuk sekali pun pada mereka anak-anak penerima bancaan sembari menerangkan bahwa itu adalah bancaan untuk Ranting. Sangat tidak memenuhi syarat tata cara bancaan. Lebih dari itu, bila karak dibagikan percuma, lalu darimana simbok akan mendapatkan uang pembeli beras guna membuat karak esok hari ?

“Tidak mbok.” Ranting menggeleng tanpa menampakkan pendar harapannya.

Lalu diraihnya kipas bambu untuk memunculkan angin ke arah tungku, sehingga nyala api pembakar kayu tetap terjaga. Beras telah masak setengah matang, lalu dipindahkan pada dandang pengukus. Sekitar setengah jam kemudian akan matang menjadi nasi, yang kemudian harus dibumbui dengan garam, bawang dan bleng secukupnya, ditumbuk halus hingga menjadi adonan yang bisa dibentuk lalu diiris-iris tipis menjadi potongan karak. Irisan karak harus dilakukan dengan segera, sebelum adonan menjadi keras. Esok hari irisan itu dijemur pada panas matahari sehari penuh, lalu digoreng dan siap dijajakan pada para bakul pelanggan.

Yo wis (ya sudah),” simbok mengusap peluh di dahi dengan punggung tangan, menyisakan bercak abu kehitaman di dahinya. “Biyen (dulu), simbok juga tidak bancaan. Ora opo-opo (tidak apa-apa). Nyatane, aku yo tetep perawan ketika menikah dengan bapakmu”

“Keperawanan ora tergantung bancaan. Dengan atau tanpa bancaan semua perempuan tetaplah perawan. Dibancaki puluhan tampah pun, kalau tidak bisa menjaga keperawanannya dengan baik, ya percuma. Nasi bancaan, seberapa kekuatannya ? Lha wong cuma sego ( itu hanya sekedar nasi). Zaman sudah sesulit ini, tidak bisa dihadang atau diatasi segala kegilaan zaman itu cuma dengan nasi bancaan.”

“Ya mbok ” Ranting mengangguk.

Wis, ora usah dikipasi (sudah, tidak perlu dikipas), nanti kebesaran api, nasinya bisa hangus, mandilah, lalu belajar dan mengerjakan tugas sekolahmu, kalau sudah selesai bantu lagi menata karak untuk dijemur besok.”

           Ranting mengangguk patuh. Diraihnya handuk dan ember. Sesaat kemudian dia telah sampai di sumur, tangan-tangan kecilnya menggerakkan tali penimba air, menimba ember di ujung tali yang telah terisi air sumur untuk keperluan mandinya.

           Senja mulai merayap, memunculkan langit magrib. Suara azan terdengar dari masjid di tengah kampung. Bergema suara itu, menaburkan panggilan pada setiap hati penganutnya untuk datang mendekatkan hati pada Sang Pencipta.

*

“Bagaimana rasanya menjadi perawan?” tanya Gendhing ketika membantu ibunya mencuci pakaian di sumur kampung. Tangan kecilnya bergerak membasuh baju-baju pada air bilasan penghilang sabun. Air berbuih putih berkilat-kilat, menampakkan sisa-sisa sabun yang larut dalam air. Baju yang telah dibilas lalu dipuntir, diperas sekuat tenaga belianya.

“Hati-hati memeras baju putih itu,” ibu memperingatkan, “Itu rok cik Ming, bahannya renda halus, kalau terlalu keras kau peras bisa sobek.”

    Seketika Gendhing menghentikan cengkeramannya. Gulungan rok putih itu terkulai basah dalam genggamannya. Dengan perlahan diremasnya lembut gumpalan putih itu, meniriskan air yang tersisa, lalu dengan hati-hati diletakkannya di atas tumbukan baju-baju yang telah terperas pada bakul pakaian. Perlahan diliriknya gumpalan putih itu. Kainnya begitu lembut, bercorak renda bunga berlubang-lubang, lembut dan putih, serupa bunga melati. Rendanya yang berlubang nampak rapuh serupa kelopak mawar mekar, yang begitu mudah gugur ketika tersentuh. Baju yang indah, Gendhing bergumam sendirian, lalu diliriknya baju yang dipakainya. Alangkah jauh bedanya. Bajunya daster usang yang tak lagi jelas warna awalnya. Entah merah, oranye atau kuning. Warna yang nampak sekarang adalah pudar.

   Begitulah, terhadap baju-baju yang indah dan halus itu, Gendhing hanya berkenan menyentuhnya ketika membantu Ibunya. Ibunya adalah buruh cuci yang bertugas mencuci baju-baju kotor dari beberapa pelanggannya. Cik Ming adalah salah satu dari pelanggan itu.

Kowe takon opo (kau tanya apa)?” tanya ibu sembari menimba air dari sumur untuk menambah air bilasan yang mulai habis.

“Bagaimana rasanya menjadi perawan?” Gendhing mengulang pertanyaannya.

Walah, takon kok aneh-aneh, ono opo (astaga, pertanyaan kok aneh-aneh, ada apa)?” ibu terkejut.

“Ingin tah,.” Gendhing mempertahankan pertanyaannya, “Piye rasane?”

Piye yo, yo ngono kui (bagaimana ya, ya begitulah).” jawab ibu mengambang.

Isih cilik kok takon koyo ngono, durung wayahe (masih kecil bertanya seperti itu, belum masanya).”

“Tapi kata bu Kasni, nanti suatu hari aku akan jadi perawan,” Gendhing tetap bertahan, “Maka aku harus tahu bagaimana rasanya berubah menjadi perawan itu.”

“Alah, tidak usah tahu, nanti juga akan merasa sendiri.” ibunya berkelit.

“Tapi aku ingin tahunya sekarang.”

Wis mbuh, dasar ngeyel, koyo bapake(sudah, entahlah, dasar bandel seperti ayahnya).”

“Mengapa Ibu tidak mau menjawab? Bukankah dulu Ibu juga menjadi perawan?”

“Memang, semua perempuan adalah perawan.”

“Jadi Ibu pasti tahu rasanya menjadi perawan.”

“Ya tahu, tapi itu sesuatu yang tidak mudah dijelaskan.”

“Mengapa tidak mudah?”

“Ya pokoke angel (pokoknya sulit)!”

“Apa sulitnya?” Gendhing terus mengejar.

Aduh tobat tenan (sungguh minta ampun), sudah, tanya Bapakmu saja.”

“Tapi bapak kan laki-laki, tidak pernah menjadi perawan ….”

“Tapi bapakmu yang menjadikan dirimu secerewet ini.” sergah ibu habis kesabaran.

“Kok Bapak?”

“Lha piye, sampai umur dua tahun kau belum bisa bicara, cuma au, au saja, lalu tiap hari bapakmu mencari tempe di pasar, ditamparkannya pada pipi dan mulutmu, berulang-ulang setiap hari. Sudah kukatakan, cukup beberapa kali saja tamparan tempe itu, tapi bapakmu ngeyel, tiap hari dilakukannya berulang-ulang, lha tenan kakean tempe(terlalu banyak tempe), jadi kau secerewet ini.”

    Gendhing cemberut, bibirnya manyun menyimpan kemarahan. Ibunya selalu berargumentasi seperti itu bila kesal padanya. Senantiasa menyalahkan dan menimpakan kekesalan pada ayahnya dengan mengulang-ulang kasus tamparan tempe. Sehingga seolah menjadi nyata bahwa kemampuan Gendhing berbicara, khususnya segala bantahan yang mengalir dari bibirnya adalah karena sugesti pengaruh tamparan tempe.

“Ibu mesti ngono (selalu begitu),” sungut Gendhing, “Selalu tempe-tempe terus…..”

Ono opo tho (ada apa sih), Ndhing? Ibumu masak lauk tempe terus? Kemarin tempe goreng, hari ini oseng-oseng tempe, sesuk (besok) tempe gembus, sukben (lain hari) tempe bacem” sambung Warsilah yang mendadak muncul dan menyela pembicaraan tentang tempe, tanpa tahu bahwa yang dilakukannya lebih merupakan salah sambung.

Lha piye nduk (habis bagaimana nak), jaman sekarang serba mahal, yang murah dan mampu terbeli cuma tempe, jadi apa boleh buat, kau bersabarlah menerima keadaan.”

 Gendhing terdiam, bibirnya makin manyun menyimpan kemarahan.

“Aku punya semur tahu, mau?” Warsilah menawarkan lauk alternatif, berusaha menghibur hati gadis kecil itu.

“Walah ora kacek (tak berbeda) tahu dan tempe kan saudara Yu, tidak beda jauh, podo wae (sama saja)” sergah mbak Narti dari pinggir sumur sembari menahan tawa, “Gendhing maunya bakso atau mie ayam, iya Ndhing?”

  Gendhing tetap diam. Tanpa suara segera diselesaikannya memeras baju-baju yang telah dibilas, belah tangan kecilnya bergerak dengan sigap.

“Sudahlah, biarkan saja,” gumam Ibu melihat kemarahan Gendhing “Beginilah kalau punya anak perempuan, memusingkan kepala.”

“Masih piyik (anak ayam) saja sudah memusingkan, apalagi nanti kalau sudah perawan.”

     Mata Gendhing membulat penuh mendengar komentar mbak Narti.

“Iya Ndhing, sebentar lagi kamu jadi perawan ”

“Nah itu yang dia mau tahu, menjadi perawan,” seru Ibu “Masih piyik kok sudah mau jadi perawan, opo tumon (apa wajar)?”

“Oalah, begitu tho? Pasti karena mendapat bancaan Ajeng siang tadi.”

“Ajeng bancaan apa?”

“Kemarin dia mendapat haid pertama, jadi hari ini dibancaki oleh Ibunya.”

Ibu Gendhing menghela napas, sesaat ujung matanya menangkap gerak kaki Gendhing melangkah menuju rumah, meninggalkan bakul berisi pakaian basah yang telah terperas. Baru disadarinya bahwa dia selalu terlambat memahami anak perempuannya. Bahwa baginya anak perempuannya selalu menyimpan pertanyaan dan polah kelakuan yang senantiasa melewati jalur-jalur yang terbentang di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu tidak sanggup dijawabnya. Apalagi menjawab, bahkan hanya sekedar memahami pertanyaan itu pun, seringkali jauh dari jangkauan kemampuan otaknya. Pada akhirnya semua akan ia lemparkan pada suaminya, bapaknya Gendhing.

Lihat selengkapnya