Sebuah pohon selalu memiliki cabang-cabang pada setiap batangnya. Cabang-cabang itu adalah penumbuh tunas-tunas baru dengan daun-daun, putik bunga dan bakal buah yang merupakan penanda bahwa pohon itu bertumbuh dengan baik.
Pada situasi atau musim tertentu, ketika zat-zat penumbuh yang diperlukan tumbuhan tersedia secara terbatas, maka sebatang pohon akan melakukan proses alaminya untuk mempertahankan kesinambungan hidup supaya bertahan melewati musim.
Pada tahap awal, akan digugurkannya daun-daun. Satu persatu helai daun melepaskan diri dari tangkai penumbuhnya, barangkali tanpa sempat menggumamkan salam selamat tinggal atau tak pula mendengar salam selamat jalan yang terdengar samar-samar dari rumpun daun lain yang kebetulan masih menyimpan kemampuan bertahan entah untuk berapa lama lagi.
Helai yang gugur itu kemudian melayang, tanpa jejak membekas, mengarah pada sesuatu entah apa. Agaknya harus menyerah pada tarikan angin yang akan mengantar mereka menjelajah sebuah perjalanan.
Ketika semua helai daun telah selesai dilepaskan dan musim belum juga berganti sementara asupan makanan belum juga tersedia sehingga zat penumbuh yang tersimpan pada sebatang pohon makin tak tersisa, maka dahan-dahan mulai mendapatkan gilirannya. Ujung-ujung tangkai akan mulai mengering, lalu merapuh dan kemudian beberapa di antaranya tak akan mampu lagi bertahan. Lalu tangkai itu patah, jatuh dan kering sebagai ranting…..
Serupa itulah aku, pikir Ranting sambil lalu, mengayuh sepedanya menyusuri jalan raya dengan jajaran batang-batang pohon tak bernama.
Ranting namaku. Dahan yang patah tak berdaya dari pohon penumbuhnya lalu mengering sia-sia. Mengapa sesuatu yang tak berdaya dan sia-sia itu terpilih menjadi namaku?
“Mengapa aku dinamakan Ranting, mbok?” tanya Ranting suatu ketika.
Tidak bernada gugatan pertanyaan itu, namun tak pelak menyiratkan keraguan akan sesuatu yang terpilih untuknya. Pesimis yang samar namun terus mengikuti serupa bayang-bayang.
“Karena cuma itu yang dimiliki Bapakmu untuk membujuk hatiku” jawab simbok.
Lalu matanya menerawang seakan menjelajah sebuah kenangan. Kenangan yang indah agaknya karena mata itu begitu bercahaya. Sungguh bercahaya dan mengabaikan tipisnya harapan yang membungkus sang penanya.
“Bapakmu sejak muda menjadi pemelihara kuda di kandang besar itu. Ada banyak pohon di sana. Setiap hari diambilnya ranting kering dari pohon-pohon itu untuk kayu bakar penggoreng karakku. Ranting-ranting itu selalu ada setiap hari….”
Begitulah. Sebuah kesetiaan yang sederhana. Ketika tak ada apa pun yang dimiliki, yang dianggap layak dari penilaian ekonomi, tak menghadang niat untuk menyatakan sebuah kesetiaan. Maka terpilihlah sesuatu yang dianggap tak berharga untuk mewujudkan sebuah nilai besar kesetiaan. Ranting, sebatang dahan kering tak berdaya maka kemudian beralih sebagai ranting kesetiaan ketika dibawa dengan sebuah ketulusan.
Begitulah aku bermula dan dinamakan karenanya, Ranting menyimpan berkas-berkas kenangan itu dalam benaknya. Maka akan kujaga kesetiaan itu, meski begitu kering jalan yang harus dilalui.
Lalu Ranting menguatkan tekad itu dalam benaknya. Sekuat itu pula kakinya terus mengayuh sepeda, melanjutkan perjalanan menuju pasar, membawa serta beronjong (keranjang bambu besar) berisi kepingan karak-karak yang siap dijajakan pada para bakul.
*
“Ya ampun Ran, suwe tenan preimu, tak kiro bablas (lama betul liburnya, dikira menghilang)” sambut para sesama bakul (pedagang) ketika Ranting menyandarkan sepedanya di pelataran pasar. Lokasi yang biasa dipakainya untuk menjajakan karaknya.