Dingin Alltar Pendopo
Suatu pagi.
Ranting baru saja selesai membantu Simbok mandi dan berganti pakaian. Dengan kondisi perut sebesar itu, sementara badan makin mengurus, bukan hal mudah bagi perempuan pesakitan untuk melakukan sendiri aktifitas hariannya, meskipun itu hanya sekedar melangkahkan kaki. Maka Ranting harus memapah setiap langkah dengan perlahan, membantu menyangga beban berat yang menggantung di perut simbok.
Terdengar ketukan pada pintu depan yang daun pintunya terbuka sebagian.
“Kulo nuwun,” seseorang mengucapkan salam.
Ranting segera mendudukkan simbok di amben, lalu bergegas membuka belah pintu lebih lebar. Pak RT berdiri di ambang pintu.
“Oh, pak RT, monggo pinarak (silahkan duduk),” sambutnya.
Sesaat pak RT melangkah masuk bilik yang kecil itu, dan terkejut melihat simbok terduduk di amben dengan kondisi perut yang sedemikian rupa.
“Mbok Warsi, saya dengar belum jadi dioperasi, kenapa?”
“Ya beginilah, biaya operasi yang kami punya belum mencukupi” jawab simbok apa adanya, dengan segala kepasrahannya.
“Oh, begitu,” pak RT manggut, termangu.
“Tumben pak RT, sepagi ini berkunjung ke rumah kami,” sambung Ranting.
“Begini, ada sesuatu yang penting,” kata pak RT kemudian “Kemarin ada acara selamatan pak Basudewo. Warga di wilayah kita mendapatkan pembagian sejumlah bahan pangan, ya biasalah beras, gula dan sebagainya. Nah, jatah itu harus diambil sendiri per keluarga, tidak boleh diwakilkan.”
“Selamatan dalam rangka apa ? Dermawan betul pak Basudewo itu,” seru simbok.
“Katanya untuk selamatan proyek barunya, entah proyek apa, tak pentinglah itu, yang penting bagi kita, ya pembagian berkatnya itu.” pak RT tersenyum sembari mengeluarkan sesuatu dari map yang dibawanya. “ Ini kupon untuk dik Ranting kalau akan mengambil jatah itu, di pendopo rumah pak Basudewo.”
“Mulai kapan pembagiannya bisa diambil?” Ranting menerima kuponnya.
“Seharusnya kemarin, tapi dik Ranting terlanjur ider karak sebelum saya datang.”
“Tapi hari ini masihkah berlaku kupon ini?”
“Masih. Saya malah sempat cerita tentang sakit mbok War pada pak Basudewo, nah siapa tahu ada perhatian khusus dari beliau.”
“Begitukah? Yo wis Ran, segeralah pergi ke sana, selak kentekan (keburu kehabisan),” simbok memburu Ranting untuk segera berangkat, sama sekali tak sanggup menutupi ketergesaannya untuk segera mendapatkan jatah bantuan, yang meskipun jumlahnya tak seberapa, akan selalu terasa berarti dalam kondisi keterbatasannya saat ini.
“Tenang mbok, kalau sudah jatahnya pasti kebagian,” Ranting menenangkan.
“Iya mbok War, jangan kuatir,” pak RT mendukung. “Baiklah saya pamit, permisi.”
“Monggo pak, matur nuwun.”
*
Ranting menyandarkan sepedanya pada pintu pagar. Tumpukan karaknya menggunung penuh memenuhi kedua rongga beronjong pada roda belakang sepedanya. Karak-karak itu bertumpuk rapi menanti Ranting mengantarkan mereka pada para bakul, seakan ikut bersabar membiarkan Ranting terlebih dahulu mengambil jatah bantuan bahan pangan dari pak Basudewo.
Ranting melangkah memasuki pendopo, bertelanjang kaki. Sandal jepitnya dilepas di undakan (anak tangga kecil) teras. Pendopo yang luas itu sepi. Seperangkat meja kursi yang terletak di tengah ruangan, di bawah lampu gantung berukir, nampak kosong, tak terduduki seorang tamu pun. Pot-pot besar berisi tanaman berdaun hijau rimbun masing-masing terletak di sudut-sudut ruang berbentuk segi empat, warna hijaunya menebarkan kesejukan yang tenang.
Ranting menatap berkeliling, mencari seseorang yang sekiranya bisa membantu menukarkan kupon dalam genggaman tangannya dengan sejumlah bahan pangan seperti yang dijanjikan pak RT. Tapi tak ada seorangpun yang muncul. Pendopo besar itu begitu kosong, tak menampakkan siapa pun, juga suara, tak ada yang terdengar menandakan kehadiran seseorang. Suara yang ada hanya kicau beberapa burung yang berada dalam kurungan yang tergantung di teritisan atap pendopo.
Untuk melangkah lebih jauh melewati pendopo, Ranting tidak berani. Belum pernah satu kalipun dia memasuki pendopo ini. Pada masa anak-anak dulu, yang dilakukannya bila melintas di depan rumah besar itu, hanyalah memetik bunga pada pagar depan, sembari mencuri lihat koleksi tanaman yang ada di balik pagar. Itu pun tidak dilakukannya sendirian, melainkan beramai-ramai dengan teman-temannya.
Dan sekarang? Ranting termangu. Dia sendirian di tempat itu, tidak ada teman bersamanya saat ini. Keraguan menyergap Ranting, sangat tidak nyaman berada dalam kesendirian di tempat yang asing. Ingin diakhirinya ketidaknyamanan itu dengan segera. Tapi bayangan beberapa bahan pangan yang seharusnya bisa diterimanya dan dibawa pulang, menghentikan keinginan untuk pulang. Terbayang rupiah-rupiah yang bisa dihematnya bila berhasil membawa pulang jatah pembagian bahan pangan. Tapi keasingan ini sungguh tidak nyaman, maka dilangkahkannya kaki berbalik. Tapi mendadak terdengar sebuah suara ….
“Sopo kowe (Siapa kamu )?”
Langkah Ranting terhenti, digerakkannya kepala mencari arah suara. Bariton nada suara itu, menandakan bahwa pemiliknya pastilah laki-laki. Ada nada yang khas, yang menyiratkan kekuasaan pada suara itu, menandakan bahwa pemiliknya pastilah seseorang yang berpengaruh di rumah itu.
Ranting berdebar, nyaris gemetar. Pemilik suara itu, berdiri di depannya. Laki-laki paruh baya, tinggi, dengan rambut beruban sebagian, yang anehnya, tidak menampakkan ketuaannya, tapi justru menambah wibawanya. Matanya menyorot tajam, menenggelamkan sekujur tubuh kurus Ranting dalam tatapannya yang sangat lekat, menguasai, dengan pengaruh yang kuat tak tergoyahkan.
“Saya Ranting, anaknya mbok War,” Ranting menjawab tanpa mampu menutupi nada gemetar dalam suaranya. Gemetar itu nampak makin jelas pada lembar kupon yang bergetar dalam genggaman tangannya.
“Mbok War karak?” Basudewo berusaha mengingat sesuatu.
Ranting mengangguk.
“Kowe bocah cilik yang dulu ikut mbok War ider (menjajakan) karak?”